Minggu, 15 November 2015

Makalah Ali Bin Abu Thalib

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang

Nabi Muhammad saw. Tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan sepeninggalnya dalam memimpin umat yang baru terbentuk. Memang wafat beliau mengejutkan, tetapi sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir ketika beliau mengalami gangguang kesehatan sekurang – kurangnya selama tiga bulan, Muhammad telah merasakan bahwa ajalnya akan segera tiba.[1]
Masalah perebutan kepemimpinan mengakibatkkan suasana politik umat Islam menjadi sangat tegang. Padahal semasa hidupnya, Nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh diantara sesama pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Dilambatkannya pemakaman jenazah beliau menggambarkan betapa gawatnya masalh itu. Ada tiga golongan yang bersaing keras dalam perebutan kepemimpinan ini, yaitu kaum Anshar, Muhajirin dan keluarga Hasyim.[2]
Dalam pertemuan dibalai pertemuan Bani Saidah di Madinah kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah, pemuka Khazraj sebagai pemimpin umat. Sedangkan Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang yang paling layak untuk menggantikan Nabi Di pihak lain terdapat sekelompok orang yang menghendaki Ali ibn Abi Thalib, karena Nabi telah menunjuk secara terang- terangan sebagai penggantinya, di samping Ali adalah menantu dan kerabat Nabi.[3]
Situasi itu demikian kritis, pedang hampir saja terhunus dari sarungnya, masing – masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus Nabi. Namun berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar Ibn Khattab dan Abu Ubaidah Ibn Jarrah yang dengan semacam penengah terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai pengganti Nabi. Besar kemungkinan, tanpa intervensi mereka persatuan umat yang menjadi modal utama bagi hari kedepan komunitas Muslim yang masih muda itu berada dalam tanda tanya besar. Dengan semangat Islamiyah terpilihlah Abu Bakar. Dia adalah orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal, karena sejak mula pertama menjadi pendamping Nabi, dialah sahabat yang paling memahami risalah Muhammad.[4]
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Nabi, Abu Bakr bergelar “Khalifah Rasulillah” atau khalifah saja ( secara harfiah artinya; orang yang mengikuti, pengganti kehidupan Rsaul). Meskipun dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa kedudukan Nabi sesungguhnya tidak akan pernah tergantikan, karena tidak ada seorang pun yang menerima ajaran Tuhan sesudah Muhammad, sebagai saluran wahyu – wahyu yang diturunkan dan sebgai utusan Tuhan tidak dapat diambil alih seseorang. Menggantikan Rasul (Khalifah) hanyalah bereti memiliki kekuasaan yang diperlukan untuk meneruskan perjuangan Nabi.
Ketika Abu Bakr sakit ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat untuk mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya setelah ia meninggal. Di zaman Umar gelombang ekspansi ( perluasan daerah kekuasaan) yang petama dilakukan. Umar memerintah selama sepuluh tahun, masa jabatannya berakhir dengan kematian. Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurnya yaqng lanjut dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada tahun 655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang – orang yang kecewa itu.
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai – ramai membaiat Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil.[5]
Dalam sejarah Islam, empat orang pengganti Nabi yang pertama adalah para pemimipin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-  dasar tradisi dari sang Guru Agung bagi kemajuan Islam dan Umatnya. Karena itu gelar “ Yang mendapat bimbingan di jalan lurus” (­al-khulafa ar-rasyidin) diberikan kepada mereka.
Dan insya Allah pada makalah ini, penyusun akan memfokuskan pembahasan pada Khalifah Ali ibn Abi Thalib.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam makalah ini, dapat dibatasi sebagai berikut:
1.      Siapa Ali bin Abi Thalib itu?
2.      Bagaimana sistem pemerintahan dan kebijakan politiknya?
3.      Peristiwa – peristiwa penting apa yang terjadi pada masanya?
C.   Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk ;
1.      Menjelaskan tentang biografi Ali bin Abi Thalib.
2.      Menjelaskan tentang sistem pemerintahan dan kebijakan politik yang ditempuhnya.
3.      Menjelaskan peristiwa – peristiwa penting yang terjadi pada masanya.

BAB II
ALI BIN ABI THALIB
A.  Biografi Ali Bin Abi Thalib
Nama lengkapnya ialah Ali bin Abi Thalib bin Abd. Al-Mutthalib bin Hasyim bin Abd. Al-Mabaf al-Hasyimi al-Quraisyiy. Dilahirkan sepuluh tahun sebelum Nabi menjadi Rasul.[6] Ia lahir di Mekah pada tahun 603 M, dan  wafat di Kufah pada 17 Ramadahan 40 H/ 24 Januari 661 M. Beliau merupakan khalifah keempat ( terakhir) dari khulafa ar- rasyidin ( empat khalifah besar); beliaulah yang pertama masuk Islam dari kalangan anak- anak, disamping itu, ia adalah sepupu dari Nabi saw. yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abd. Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abd. Mutthalib. Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abd. Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali.[7] Para sejarawan berpendapat bahwa kulit beliau berwarna hitam manis, berjenggot tebal, lelaki kekar, berbadan besar,berwajah tampan, dan kunniyahnya adalah Abu Al-Hasan atau Abu Turob.[8]
Ketika beruasia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw., sebagaimana Nabi pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. Diangkat menjadi rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah saw. Taat kepadanya, dan banyak menyaksikan  Rasulullah  saw. menerima wahyu. Sebagai anak asuh Rasulullah saw, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis.
Sewaktu Nabi saw. Hijrah ke Madinah bersama Abu Bakr as-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah saw. Dan tidur di tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi saw masih berada di rumahnya. Ketika itu kaum Quraisy merencanakan untuk mmebunuh Nabi saw. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang titipan kepada pemilik masing – masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik – baiknya tanpa sedikitpun merasa takut. Dengan cara itu Rasulullah saw. Dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar Rasulullah saw. Dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia dinikahkan dengan Fatimah az- Zahrah, putri Rasulullah saw. Yang ketika itu (2 H) berusia 15 tahun.
Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra- putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari Fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan dan Husein, Zainab dan Ummu Kulsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah wafat, Ali menikah lagi berturut- turut dengan: 1) Ummu Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra, yaitu Abbas, Ja’far, Abdullah, dan Usman; 2) Laila binti Mas’ud at-Tamimiah, yang melahirkan dua putera, yaitu Abdullah dan Abu Bakar; 3) Asma binti Umair al-Kuimiah, yang melahirkan dua putera, yaitu Yahya dan Muhammad; 4) As- Sahba binti Rabi’ah dari Bani Jasym bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah; 5) Umamah bin Abi Ass bin ar- Rabb, putri Zaenab binti Rasulullah saw. Yang melahirkan satu anak, yaitu Muhammad; 6) Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah); 7) Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al- Husain dan Ramlah; dan 8) Mahya binti Imri’ al-Qais al- Kalbiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.[9]
Ali dikenal sangat sederhana dan Zahid dalam kehidupan sehari – hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan kepada dirinya, melainkan juga kepada putra- putrinya.
Ali  terkenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan- lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi saw.) bernama “Zul Faqar”. Ia turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi saw. Dan selalu menjadi andalan pada barisan terdepan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi saw. “ Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya” karena itu, nasihat dan fatwanya selalu di dengar para khalifah sebelumnya. Ia selalu ditempatkan pada jabatan qadi atau muftih.[10]
Sepanjang masa kenabian Muhammad saw. Ali selalu terlibat dalam setiap permasalahan pribadi dan sosial Rasulullah saw. Selama itu pula keselamatannya selalu terancam. Tapi, imannya tidak pernah goyah, apalagi merosot meski sekejap mata. Salah satu keistimewaanya, Ali memiliki pemahaman multi dimensional yang luas dan mendetail. Setelah Rasulullah belum ada yang mengungguli Ali dalm kecerdasan dan kecemerlangan berfikir. Demikian juga penguasaan terhadap sastra al-Qur’an. Urusan kemanusiaan, belum ada orang yang sepadan dengan Ali, apalagi dalam hal kepahlawanan atau keberanian, niscaya tiada orang yang mampu menandinginya. Ali adalah singa podium dan gelanggang. Ali adalah pembela umat manusia, tokoh persatuan dan politik. Ali adalah musuh paling gigih bagi segala bentuk anti kemanusiaan.[11]
B.   Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a
Segera setelah terbunuhnya Usman, Kaum Muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi kalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak adalagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh – tokoh ahl asy- syura bersama para pejuang perang Badar”.
Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat, pembaiatan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijjah 33 H. Baiat berlangsung di Mesjid Nabawi. Zubair Ibn Awwam dan Thalhah Ibn Ubaidillah mengangkat baiat denga terpaksa, dan justru keduanya mengajukan syarat di dalam bai’at itu, bahwa khalifah Ali akan menegakkan keadilan terhadap para pembunuh khalifah Utsman. [12]
Meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un, Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’ Khadij, Abu Sa’id al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Keempat, kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.[13]
Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya, ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[14]
Segera setelah dibaiat, Ali mengambil langkah- langkah politik, yaitu:
1.      Memecat para pejabat yang diangkat Utsman, termasuk didalamnya beberapa gubernur, dan menunjuk penggantinya.
2.      Mengambil tanah yang telah dibagikan Usman kepada keluarga dan kaum kerabatnya tanpa alasan yang benar.
3.      Memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari baitul mal, seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar; pemebrian dilakukan secara merata tanpa membedakan sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dan yang msuk belakangan.
4.      Mengatur tatalaksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat, dan
5.      Meninggalkan kota Madinah dan menjadikan Kufah sebagai pusat pemerintahan.[15]
C.     Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi
Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk dibahas. Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.
1.    Perang Jamal
Tahun 35 H/ 656 M  telah bergantikan tahun 36 H/ 657 M. akan tetapi khalifah Ali belum juga memperlihatkan sikap yang pasti yang menegakkan hukum sepanjang syariat Islam terhadap para pembunuh khalifah Utsman.
Sehubungan dengan itu maka Aisyah binti Abi Bakar, Janda Nabi Besar Muhammad saw., yang dipanggilkan Ummul Mukminin, segera berangkat meninggalkan ibukota Madinah menuju kota Mekkah. Tindakkannya itu disusuli oleh Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah. Ketiga tokoh itu sudah mempunyai harapan yang tipis bahwa hukum akan ditegakkan, karena menurut tilikan ketiga tokoh itu, bahwa khalifah ali itu sudah terikat di dalam menetapkan kebijaksanaannya karena didukung oleh pasukan- pasukan kaum pesuruh. Karena sebab itu, mereka tidak merasakan terikat lagi kepada kewajiban bai’at, karena pihak khalifah sendiri, sudah tidak memenuhi syarat baiat yang mereka ajukan sebelumnya. [16]
Untuk melawan khalifah Ali, ketiga orang itu meminta bantuan tentara dari Basra dan Kufah, di kedua kota ini terdapat banyak pendukung Utsman.
Ada pendapat, pemberontakan itu dilatar belakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Masing- masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah, tetapi ternyata Ali yang terpilih. Sementara itu Aisyah ikut terlibat karena diminta oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, yaitu Abdullah bin Zubair, yang juga berambisi menjadi khalifah.
Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah.  adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata, tidak data yang akurat untuk djadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman dilatarbelakangi sentimen pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar.[17]
Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah, termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut pengusutan tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zuber dan Ali yang tidak pernah menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam rangka mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali[18]
Mendengar rencana Thalhah, Zubair dan Aisyah, Ali segera mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke Basrah. Sesampai di sana Ali tidak segera menyerang, tetapi berupaya untuk berdamai dengan mereka. Dia mengrim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding, tapi ajakannya itu menemui kegagalan dan pertempuran dahsyat tidak dapat dielakkan.[19]
Peperangan antara kedua belah pihak itu pada akhirnya pecah, yang di dalam literatur sejarah Islam dikenal peristiwa itu dengan Harb al-Jamal, dan di dalam literatur Barat dikenal dengan Battle of Camel. Kedua- duanya sebutan itu bermakna “perang unta”. Pertempuran itu dikenal dengan perang jamal (unta) karena Ummul Mukmini Aisyah, semenjak berangkat dari Mekkah sampai kepada saat pertempuran pecah, berada di dalam sekedup (al- Hawdaj) yang dipikul unta. Sedangkan pasukan besar dipimpinnya mengendarai kuda dan sebagiannya mengandarai unta.[20]
Pertempuran itu berjalan dengan cepat. Hujan panah disertai pedang yang saling bersilang, buru memburu dan kejar mengejar. Tempik sorak dan jerit pekik, korban berjatuhan pada kedua belah pihak, pasukan ummul mukminin hancur dan porak- poranda.
Sejarah mencatat bahwa korban pertempuran itu, pada kedua belah pihak, berjumlah semuanya 10.000 jiwa. Thalhah ibn Ubaidillah kena panah kakinya, lalu meluputkan diri ke Bashrah, dan akibat lukanya itu iapun meninggal di Bashrah pada tahun 36 H/ 657 M itu. Zubair ibn Awwam meluputkan diri menuju Waha al-Sibak, dikejar oleh Amri ibn Hormuzan, lalu membunuhnya disitu.
Dinding sekedup yang ditempati ummul mukminin telah penuh oleh anak panah, hingga seperti duri landak. Khalifah Ali segera mengejar ke arah sekedup yang ditempati Ummul Mukmini Aisyah, guna melindungi, dari anggota pasukannya yang ingin merebut tali kekang unta tersebut. Dengan merebut tali kekang itu, sepanjang adat- istiadat perang pada masa itu, maka para penghuninya langsung menjadi tawanan perang. Khalifah Ali tidak ingin pristiwa yang tragis itu sampai terjadi pada diri Ummul Mukminin Aisyah.
Pada saat pasukan Ummul Mukminin itu telah porak –poranda maka pada saat itulah khalifah Ali meneriakkan perintahnya yang amat tercatat oleh sejarah, berbunyi “la Tattabi’u Farran ! wala tajhazuu ‘ala Jarihin ! wala tastahillu salban !”, yang bermakna: “jangan kejar mana yang lari! Jangan usik mana yang luka ! jangn lakukan rebut- rampas!”.
Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Ummul Mukminin Aisyah setelah perang usai. Keesokannya ia mempersilahkannya pulang kembali ke Madinah, diiringkan oleh pasukan pengawal yang dipimpin oleh saudaranya sendiri, Muhammad Ibn Abi Bakr.
Semenjak peristiwa itu Ummul Mukminin membebaskan dirinya dari segala catur politik, lalu mengambil sikap non-aktif seperti tokoh- tokoh utama lainnya dari kalangan al-Shahabi.
2.    Perang Shiffin
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong.[21] Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala dating utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan –bukan menolak- pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya.
Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir. [22]
Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya mengangkat  Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang –katanya- dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.[23] Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu tersangka.
Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”? Nailah menjawab: “Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain, Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”. Saat itu pula Ali langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk dan setelah ia [Utsman] mengingatkan saya kepada ayah [Abu Bakar], saya meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.
Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu, yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu bersi tegang.
Ali sendiri ketika menghadapi penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.
Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu.  Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar.[24] Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.[25]
Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria (atas dasar inilah kemudian peperangan ini disebut perang Shiffin. Perang pun terjadi.  Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran pertama kali terjadi, korban meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka korban fisik tidak terhitung.[26]
Selang beberapa hari pertempuran berlangsung, kemenangan tampaknya akan diraih ali dengan pasukannya. Menyadari dirinya akan kalah, Muawiyah dan Amru bin Ash mempergunakan siasat tipu daya. Di tengah- tengah teriakan Amru bin Ash: “Siapa diantara kalian yang membawa Mushaf (al-Qur’an) agar diangkat keatas dengan tombaknya”. Beberapa orang tentara Mua’wiyah mengikuti perintah itu, sambil berkata : kitabullah ini yang akan mejadi hakim antara kami dan kamu. Mendengar semua itu, sebahagian tentara Ali menghentikan pertempuran karena ingin berdamai. Ali yang mengetahui siasat Muawiyah dan merasa kemengangan sudah hamper diraih, berusaha untuk mengorbankan semangat tempur pasukannya. Tetapi rupanya usaha itu sia- sia belaka. Sebahagian dari tentaranya malah memaksanya untuk memerintahkan penghentian pertempuran, maka ia tidak dapat berbuat lain.[27]
Setelah pertempuran dihentikan, kedua belah pihak bersepakat untuk berunding menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Perundingan ini terkenal dengan nama “majlis tahkim”, dilangsungkan pada bulan Januari 659 (Ramdhan 34 H.), di Daumat al- Jandal (Adhruh) suatu tempat antara Madinah dan Damaskus. Delegasi Mua’wiyah dipimpin oleh Amru bin Ash, seorang politikus ulung di kalangan bangsa Arab didampingi seorang sekretaris. Delegasi Ali dipimpin oleh Abu Musa al-Asy’ari, seorang tua jujur dan lemah lembut. Tiap delegasi disertai 400 orang saksi.[28]
Sesungguhnya apa yang menjdi keputusan tidak dapat ditentukan dengan pasti. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan. Yang umum diketahui, kedua belah pihak sepakat untuk memberhentikan kedua pemimpin, Ali dan Muawiyah, dan terserah kepada kaum muslimin untuk menunjuk siapa dikehendaki menjadi khalifah. Abu Musa al-asy’ari karena lebih tua mendapat giliran terlebih dahulu untuk mengemukakan kesepakatan itu. Ia menegaskan, memberhentikan Ali sebagai khalifah. Setelah itu Amru bin Ash tampil dan mengemukakan bahwa ia menyetujui pemberhentian Ali dan mengokohkan Mu’awiyah sebagai khalifah.
Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat di hadapannya.
Pada waktu itu kekhalihahan dijabat oleh Ali sedangkan Mu’awiyah hanya sebagai gubernur di Syria. Jadi ia bukan Khalifah yang akan diberhentiakn. Sesudah itu umat Islam masih mengakui Ali sebagai Khalifah. Dua tahun sesudah majlis tahkim barulah Mua’wiyah dilantik menjadi khalifah.[29]
3.    Gerakan Kaum Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir dan kemengangan berada di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.[30]
Ketika Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij meneriakinya denga kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya milik Allah.”[31]
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari mereka  tetap bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah.
Kaum Khawarij melihat bahwa sumber kekacauan adalah Ali, Mu’awiyah dan Amru bin Ash. Oleh Karena itu mereka bersepakat untuk menghabisi nyawa ketiga pemimpin tersebut. Tiga orng pembunuh dikirim masing – masing Abd. Al-Rahman bin Muljam ke Kufah untuk membunuh ali, Barak bin Abdillah al-Tamimi pergi ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan Amru bin Bakar al-Tamimi pergi ke Mesir untuk membunuh Amru bin ‘Ash. Pada hari yang telah ditentukan, 24 Januari 661 ( 15 Ramadhan 40 H). ketiga algojo itu beraksi tetapi hanya Ibnu Muljam saja yang berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang menuju ke mesjid untuk memanggil dan mengimami shalat subuh. Muawiyah berhasil ditikam oleh Ibn Abdillah tetapi tidak sampai membawa ajalnya. Sementara itu di Mesir Amru bin Ash terganggu kesehatannya sehingga tidak keluar mengimami shalat shubuh. Kharijah bin Habib al-Suhami yang menggantikannya ditikam oleh Ibnu Bakar.[32]
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia. Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya.
Ali mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas menjawab dengan beberapa argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai Imam kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa mencantumkan atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan. Karena nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan merubah kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul Allah” dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak keras menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama Muhammad. Sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad Rasul Allah”. Kemudian Ali membaca ayat, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.[33]
Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah dibidang hukum karena menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus ada orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar bermusyawarah  dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran.[34] Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru runding untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir, dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir juga”.[35]
Dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib berakhirlah suatu episode dari sejarah Islam, masa khulafa al-Rasyidin. Akan halnya keturunan Ali dan pengikut – pengikutnya terus berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri baik dalam politik maupun dalam teologi. Mereka masih tetap memainkan peranan penting dalam sejarah yang menarik untuk diikuti.


                                                                          BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Ali Bin Abi Thalib,adalah  khalifah yang keempat itu, nama lengkapnya ialah Ali bin Abi Thalib bin Abd. Al-Mutthalib bin Hasyim bin Abd. Al-Mabaf al-Hasyimi al-Quraisyiy. Dilahirkan sepuluh tahun sebelum Nabi menjadi Rasul. Ia lahir di Mekah pada tahun 603 M, dan  wafat di Kufah pada 17 Ramadahan 40 H/ 24 Januari 661 M. Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra- putri. Sepanjang masa kenabian Muhammad saw. Ali selalu terlibat dalam setiap permaslahan pribadi dan sosial Rasulullah saw. Selama itu pula keselamatannya selalu terancam. Tapi, imannya tidak pernah goyah, apalagi merosot meski sekejap mata. Salah satu keistimewaanya, Ali memiliki pemahaman multi dimensional yang luas dan mendetail. Setelah Rasulullah belum ada yang mengungguli Ali dalm kecerdasan dan kecemerlangan berfikir. Demikian juga penguasaan terhadap sastra al-Qur’an. Urusan kemanusiaan, belum ada orang yang sepadan dengan Ali, apalgi dalam hal kepahlawanan atau keberanian, niscaya tiada orang yang mampu menandinginya. Ali adalah singa podium dan gelanggang. Ali adalah pembela umat manusia, tokoh persatuan dan politik. Ali adalah musuh paling gigih bagi segala bentuk anti kemanusiaan.
Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya, ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.
Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang sangat penting untuk dibahas, yaitu Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.

B.   Implikasi
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya diharapkan dapat berimplikasi positif dan membangun terhadap para pembaca dalam memahami sosok Ali yang sebenarnya. Terkhusus bagi para mahasiswa, penggiat, penuntut ilmu yang sedang mengkaji tentang sejarah peradaban Islam. Dan lebih khusus lagi bagi para pendidik yang mengajarkan sejarah peradaban Islam, sehingga bisa mengenalkan Islam secara kaffah lewat peradaban Islam.

 

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Ali al-Musawi, Abu Hasan, Najhul Balagah, Lampung: Yapi, 1990.
Amhazun, Muhammad, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI al-Haramain, Jakarta: 1994).
Amin, Muhammad, The True Story of Muhammad and Khadijah’s Beloved Daughter Fathimah, Jakarta: Arifa Publishing, 2013.
Anshari, Hafidz, dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993
Atsir, Ibn, al-Kamil fi Tarikh II, Darus Sadir, Bairut. 1965.
Ismail bin Katsir, Abu al-Fida, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV.
Mahmud al-Aqqad, Abbas, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002).
Mufrodi, Ali,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002).
Patuhena, M. Saleh, dkk. Sejarah Islam Klsik, Makassar: Alauddin Press. 2009.
Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000).
Sou’yb, Joeseof, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007).
                        ,Sejarah Peradaban Islam edisi 1 cet.2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Zainudin Abu Himam, Jeje. Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama.




[1] Ibn Atsir, al-Kamil fi Tarikh II, Darus Sadir, Bairut. 1965. Hal. 319.
[2] Ali Mufrodi,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997. Hal. 45
[3] Abu Hasan Ali al-Musawi, Najhul Balagah, Yapi, Lampung, 1990, hal. 34.
[4] Ali Mufrodi,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997. Hal. 46
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Hal. 39
[6] H.M. Saleh Patuhena, dkk. Sejarah Islam Klsik, Makassar: Alauddin Press. 2009. Hal.60
[7] Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 111

[9] Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 111

[10] Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 112

[11]  Dikutip dari Ali Syariati, oleh  Muhammad amin, The True Story of Muhammad and Khadijah’s Beloved Daughter Fathimah, Jakarta: Arifa Publishing, 2013. Hal. 117- 118
[12]  Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal. 462
[13] ihat Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV, hal. 248.
[14] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 74.
[15]  Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 113

[16] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal. 471

[17] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 113.
[18] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 119 - 120.
[19] Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 113

[20] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal. 478

[21] Utusan yang membawa surat tersebut adalah Sahabat Nabi bernama Nukman bin Basyir. Lihat Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama, hal. 98.
[22] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002). Hal.7
[23] Joesef Soy’b, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986),, hal. 444-454
[24] dikutip dari Thabari oleh Jeje Zaenudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama., hal.91
[25] Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hal. 70
[26] Jeje Zaenudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama., hal.100 -101

[27] H.M. Saleh Patuhena, dkk. Sejarah Islam Klsik, Makassar: Alauddin Press. 2009. Hal.63
[28] H.M. Saleh Patuhena, dkk. Sejarah Islam Klsik, Makassar: Alauddin Press. 2009. Hal.63
[29]  H.M. Saleh Patuhena, dkk. Sejarah Islam Klsik, Makassar: Alauddin Press. 2009. Hal.62
[30] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002). Hal. 8 dan 13
[31] Jeje Zaenudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama., hal.107
[32]  H.M. Saleh Patuhena, dkk. Sejarah Islam Klsik, Makassar: Alauddin Press. 2009. Hal.64
[33] Qs. Al-Ahzab: 21
[34] lihat Qs. Al-Nisa: 35
[35] Jeje Zaenudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama., hal. 142-144