BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nabi
Muhammad saw. Tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan sepeninggalnya dalam
memimpin umat yang baru terbentuk. Memang wafat beliau mengejutkan, tetapi
sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir ketika beliau mengalami gangguang
kesehatan sekurang – kurangnya selama tiga bulan, Muhammad telah merasakan
bahwa ajalnya akan segera tiba.[1]
Masalah perebutan kepemimpinan
mengakibatkkan suasana politik umat Islam menjadi sangat tegang. Padahal semasa
hidupnya, Nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan sejati yang
kokoh diantara sesama pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Dilambatkannya pemakaman jenazah beliau menggambarkan betapa gawatnya masalh
itu. Ada tiga golongan yang bersaing keras dalam perebutan kepemimpinan ini,
yaitu kaum Anshar, Muhajirin dan keluarga Hasyim.[2]
Dalam
pertemuan dibalai pertemuan Bani Saidah di Madinah kaum Anshar mencalonkan
Sa’ad bin Ubaidah, pemuka Khazraj sebagai pemimpin umat. Sedangkan Muhajirin
mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang yang paling layak
untuk menggantikan Nabi Di pihak lain terdapat sekelompok orang yang
menghendaki Ali ibn Abi Thalib, karena Nabi telah menunjuk secara terang-
terangan sebagai penggantinya, di samping Ali adalah menantu dan kerabat Nabi.[3]
Situasi
itu demikian kritis, pedang hampir saja terhunus dari sarungnya, masing –
masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus Nabi. Namun berkat
tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar Ibn Khattab dan Abu
Ubaidah Ibn Jarrah yang dengan semacam penengah terhadap kelompok, memaksa Abu
Bakar sendiri sebagai pengganti Nabi. Besar kemungkinan, tanpa intervensi
mereka persatuan umat yang menjadi modal utama bagi hari kedepan komunitas
Muslim yang masih muda itu berada dalam tanda tanya besar. Dengan semangat
Islamiyah terpilihlah Abu Bakar. Dia adalah orang Quraisy yang merupakan
pilihan ideal, karena sejak mula pertama menjadi pendamping Nabi, dialah
sahabat yang paling memahami risalah Muhammad.[4]
Sebagai
pemimpin umat Islam setelah Nabi, Abu Bakr bergelar “Khalifah Rasulillah” atau
khalifah saja ( secara harfiah artinya; orang yang mengikuti, pengganti
kehidupan Rsaul). Meskipun dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa kedudukan Nabi
sesungguhnya tidak akan pernah tergantikan, karena tidak ada seorang pun yang
menerima ajaran Tuhan sesudah Muhammad, sebagai saluran wahyu – wahyu yang
diturunkan dan sebgai utusan Tuhan tidak dapat diambil alih seseorang.
Menggantikan Rasul (Khalifah) hanyalah bereti memiliki kekuasaan yang
diperlukan untuk meneruskan perjuangan Nabi.
Ketika
Abu Bakr sakit ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat untuk mengangkat
Umar bin Khattab sebagai penggantinya setelah ia meninggal. Di zaman Umar
gelombang ekspansi ( perluasan daerah kekuasaan) yang petama dilakukan. Umar memerintah
selama sepuluh tahun, masa jabatannya berakhir dengan kematian. Umar tidak
menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan
meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah.
Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas,
dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan
berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat
dengan Ali ibn Abi Thalib.
Pemerintahan
Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya
muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam terhadapnya.
Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin
karena umurnya yaqng lanjut dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada tahun
655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang – orang yang
kecewa itu.
Setelah
Usman wafat, masyarakat beramai – ramai membaiat Ali Ibn Abi Thalib sebagai
khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia
menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil.[5]
Dalam
sejarah Islam, empat orang pengganti Nabi yang pertama adalah para pemimipin
yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar- dasar tradisi dari sang Guru Agung bagi
kemajuan Islam dan Umatnya. Karena itu gelar “ Yang mendapat bimbingan di jalan
lurus” (al-khulafa ar-rasyidin) diberikan kepada mereka.
Dan
insya Allah pada makalah ini, penyusun akan memfokuskan pembahasan pada
Khalifah Ali ibn Abi Thalib.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah
dalam makalah ini, dapat dibatasi sebagai berikut:
1. Siapa Ali bin Abi Thalib itu?
2. Bagaimana sistem pemerintahan dan kebijakan
politiknya?
3. Peristiwa – peristiwa penting apa yang terjadi pada
masanya?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk ;
1. Menjelaskan tentang biografi Ali bin Abi Thalib.
2. Menjelaskan tentang sistem pemerintahan dan kebijakan
politik yang ditempuhnya.
3. Menjelaskan peristiwa – peristiwa penting yang terjadi
pada masanya.
BAB II
ALI BIN
ABI THALIB
A. Biografi Ali Bin Abi Thalib
Nama
lengkapnya ialah Ali bin Abi Thalib bin Abd. Al-Mutthalib bin Hasyim bin Abd.
Al-Mabaf al-Hasyimi al-Quraisyiy. Dilahirkan sepuluh tahun sebelum Nabi menjadi
Rasul.[6] Ia
lahir di
Mekah pada tahun 603 M, dan wafat di
Kufah pada 17 Ramadahan 40 H/ 24 Januari 661 M. Beliau merupakan khalifah
keempat ( terakhir) dari khulafa ar- rasyidin ( empat khalifah besar);
beliaulah yang pertama masuk Islam dari kalangan anak- anak, disamping itu, ia
adalah sepupu dari Nabi saw. yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu
Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abd. Manaf, adalah kakak kandung ayah
Nabi saw. Abdullah bin Abd. Mutthalib. Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin
Hasyim bin Abd. Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama
itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali.[7] Para sejarawan berpendapat bahwa kulit beliau
berwarna hitam manis, berjenggot tebal, lelaki kekar, berbadan besar,berwajah
tampan, dan kunniyahnya adalah Abu Al-Hasan atau Abu Turob.[8]
Ketika
beruasia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw., sebagaimana Nabi
pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. Diangkat menjadi rasul,
Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah
Islam setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu
bersama Rasulullah saw. Taat kepadanya, dan banyak menyaksikan Rasulullah saw. menerima wahyu. Sebagai anak asuh
Rasulullah saw, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala
persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis.
Sewaktu
Nabi saw. Hijrah ke Madinah bersama Abu Bakr as-Siddiq, Ali diperintahkan untuk
tetap tinggal di rumah Rasulullah saw. Dan tidur di tempat tidurnya. Ini
dimaksudkan untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi
saw masih berada di rumahnya. Ketika itu kaum Quraisy merencanakan untuk
mmebunuh Nabi saw. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang
titipan kepada pemilik masing – masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh
resiko itu dengan sebaik – baiknya tanpa sedikitpun merasa takut. Dengan cara
itu Rasulullah saw. Dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui
oleh kaum Quraisy.
Setelah
mendengar Rasulullah saw. Dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, ali pun
menyusul ke sana. Di Madinah, ia dinikahkan dengan Fatimah az- Zahrah, putri
Rasulullah saw. Yang ketika
itu (2 H) berusia 15 tahun.
Ali
menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra- putri. Fatimah adalah
istri pertama. Dari Fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan
dan Husein, Zainab dan Ummu Kulsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin
Khattab. Setelah Fatimah wafat, Ali menikah lagi berturut- turut dengan: 1)
Ummu Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra,
yaitu Abbas, Ja’far, Abdullah, dan Usman; 2) Laila binti Mas’ud at-Tamimiah,
yang melahirkan dua putera, yaitu Abdullah dan Abu Bakar; 3) Asma binti Umair
al-Kuimiah, yang melahirkan dua putera, yaitu Yahya dan Muhammad; 4) As- Sahba
binti Rabi’ah dari Bani Jasym bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang
melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah; 5) Umamah bin Abi Ass bin ar- Rabb,
putri Zaenab binti Rasulullah saw. Yang melahirkan satu anak, yaitu Muhammad;
6) Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu
Muhammad (al-Hanafiah); 7) Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan
dua anak, yaitu Ummu al- Husain dan Ramlah; dan 8) Mahya binti Imri’ al-Qais
al- Kalbiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.[9]
Ali
dikenal sangat sederhana dan Zahid dalam kehidupan sehari – hari. Tidak tampak
perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat
sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan kepada
dirinya, melainkan juga kepada putra- putrinya.
Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah
perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan- lawannya. Ia mempunyai sebilah
pedang (warisan dari Nabi saw.) bernama “Zul Faqar”. Ia turut serta pada hampir
semua peperangan yang terjadi di masa Nabi saw. Dan selalu menjadi andalan pada
barisan terdepan.
Ia juga
dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana
tergambar dari sabda Nabi saw. “ Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu
gerbangnya” karena itu, nasihat dan fatwanya selalu di dengar para khalifah
sebelumnya. Ia selalu ditempatkan pada jabatan qadi atau muftih.[10]
Sepanjang masa kenabian Muhammad saw. Ali selalu
terlibat dalam setiap permasalahan pribadi dan sosial Rasulullah saw. Selama itu
pula keselamatannya selalu terancam. Tapi, imannya tidak pernah goyah, apalagi merosot meski sekejap
mata. Salah satu keistimewaanya, Ali memiliki pemahaman multi dimensional yang
luas dan mendetail. Setelah Rasulullah belum ada yang mengungguli Ali dalm
kecerdasan dan kecemerlangan berfikir. Demikian juga penguasaan terhadap sastra
al-Qur’an. Urusan kemanusiaan, belum ada orang yang sepadan dengan Ali, apalagi dalam hal kepahlawanan atau keberanian, niscaya
tiada orang yang mampu menandinginya. Ali adalah singa podium dan gelanggang.
Ali adalah pembela umat manusia, tokoh persatuan dan politik. Ali adalah musuh
paling gigih bagi segala bentuk anti kemanusiaan.[11]
B.
Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a
Segera
setelah terbunuhnya Usman, Kaum Muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat
menjadi kalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak adalagi orang yang
patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat
banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara
yang teramat penting, urusan tokoh – tokoh ahl asy- syura bersama para pejuang
perang Badar”.
Dalam
suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat, pembaiatan dilakukan pada
tanggal 25 Zulhijjah 33 H. Baiat berlangsung di Mesjid Nabawi. Zubair Ibn Awwam
dan Thalhah Ibn Ubaidillah mengangkat baiat denga terpaksa, dan justru keduanya
mengajukan syarat di dalam bai’at itu, bahwa khalifah Ali akan menegakkan
keadilan terhadap para pembunuh khalifah Utsman. [12]
Meskipun pembai’atan
Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan
kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok yang melarikan
diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari
ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu
Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani
Umayah adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari
tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah Qudamah
bin Madh’un, Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok yang
menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan
situasi. Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad
bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang
sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib
meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah
Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’ Khadij, Abu Sa’id
al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad. Mereka
disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Keempat, kelompok
sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum
pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil
mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari
Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.[13]
Setelah dilantik menjadi
khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya.
Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya, ada lima visi politik Ali dari
pidatonya itu. Pertama,
sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan
oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan
mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat
jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling
memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan
nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam
masyarakat. Ketiga, tulus
ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa
dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan
masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan
ketaatan kepada Allah swt.[14]
Segera
setelah dibaiat, Ali mengambil langkah- langkah politik, yaitu:
1.
Memecat
para pejabat yang diangkat Utsman, termasuk didalamnya beberapa gubernur, dan
menunjuk penggantinya.
2.
Mengambil
tanah yang telah dibagikan Usman kepada keluarga dan kaum kerabatnya tanpa
alasan yang benar.
3.
Memberikan
kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari baitul mal, seperti yang
pernah dilakukan Abu Bakar; pemebrian dilakukan secara merata tanpa membedakan
sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dan yang msuk belakangan.
4.
Mengatur
tatalaksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat, dan
5.
Meninggalkan
kota Madinah dan menjadikan Kufah sebagai pusat pemerintahan.[15]
C.
Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi
Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk
dibahas. Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.
1.
Perang
Jamal
Tahun 35
H/ 656 M telah bergantikan tahun 36 H/
657 M. akan tetapi khalifah Ali belum juga memperlihatkan sikap yang pasti yang
menegakkan hukum sepanjang syariat Islam terhadap para pembunuh khalifah
Utsman.
Sehubungan
dengan itu maka Aisyah binti Abi Bakar, Janda Nabi Besar Muhammad saw., yang
dipanggilkan Ummul Mukminin, segera berangkat meninggalkan ibukota
Madinah menuju kota Mekkah. Tindakkannya itu disusuli oleh Zubair ibn Awwam dan
Thalhah ibn Ubaidillah. Ketiga tokoh itu sudah mempunyai harapan yang tipis
bahwa hukum akan ditegakkan, karena menurut tilikan ketiga tokoh itu, bahwa
khalifah ali itu sudah terikat di dalam menetapkan kebijaksanaannya karena
didukung oleh pasukan- pasukan kaum pesuruh. Karena sebab itu, mereka tidak
merasakan terikat lagi kepada kewajiban bai’at, karena pihak khalifah sendiri,
sudah tidak memenuhi syarat baiat yang mereka ajukan sebelumnya. [16]
Untuk
melawan khalifah Ali, ketiga orang itu meminta bantuan tentara dari Basra dan
Kufah, di kedua kota ini terdapat banyak pendukung Utsman.
Ada
pendapat, pemberontakan itu dilatar belakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair
untuk merebut jabatan khalifah. Masing- masing mengharapkan rakyat memilihnya
menjadi khalifah, tetapi ternyata Ali yang terpilih. Sementara itu Aisyah ikut
terlibat karena diminta oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri,
yaitu Abdullah bin Zubair, yang juga berambisi menjadi khalifah.
Menurut
Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan
Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah. adalah bualan-bualan
kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata, tidak data yang akurat
untuk djadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah
tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman dilatarbelakangi sentimen pribadi.
Memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan
adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum
peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara Abu
Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan
untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta
pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja
kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah
kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen
pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali
sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai
pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara tercela
hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat dukungan yang
cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis yang lebih kuat
dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam kesumat pribadi yang
tidak berdasar.[17]
Dengan
demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari pemahaannya
terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi
para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di sini
juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah,
termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut pengusutan tuntas
terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen itu, dapat
dilihat dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zuber dan Ali yang
tidak pernah menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato
Aisyah dalam rangka mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali[18]
Mendengar
rencana Thalhah, Zubair dan Aisyah, Ali segera mempersiapkan pasukannya dan
menyusul mereka ke Basrah. Sesampai di sana Ali tidak segera menyerang, tetapi
berupaya untuk berdamai dengan mereka. Dia mengrim surat kepada Thalhah dan
Zubair agar mereka mau berunding, tapi ajakannya itu menemui kegagalan dan
pertempuran dahsyat tidak dapat dielakkan.[19]
Peperangan
antara kedua belah pihak itu pada akhirnya pecah, yang di dalam literatur
sejarah Islam dikenal peristiwa itu dengan Harb al-Jamal, dan di dalam
literatur Barat dikenal dengan Battle of Camel. Kedua- duanya sebutan
itu bermakna “perang unta”. Pertempuran itu dikenal dengan perang jamal (unta)
karena Ummul Mukmini Aisyah, semenjak berangkat dari Mekkah sampai
kepada saat pertempuran pecah, berada di dalam sekedup (al- Hawdaj) yang
dipikul unta. Sedangkan pasukan besar dipimpinnya mengendarai kuda dan
sebagiannya mengandarai unta.[20]
Pertempuran
itu berjalan dengan cepat. Hujan panah disertai pedang yang saling bersilang,
buru memburu dan kejar mengejar. Tempik sorak dan jerit pekik, korban
berjatuhan pada kedua belah pihak, pasukan ummul mukminin hancur dan
porak- poranda.
Sejarah
mencatat bahwa korban pertempuran itu, pada kedua belah pihak, berjumlah
semuanya 10.000 jiwa. Thalhah ibn Ubaidillah kena panah kakinya, lalu
meluputkan diri ke Bashrah, dan akibat lukanya itu iapun meninggal di Bashrah
pada tahun 36 H/ 657 M itu. Zubair ibn Awwam meluputkan diri menuju Waha
al-Sibak, dikejar oleh Amri ibn Hormuzan, lalu membunuhnya disitu.
Dinding
sekedup yang ditempati ummul mukminin telah penuh oleh anak panah,
hingga seperti duri landak. Khalifah Ali segera mengejar ke arah sekedup yang
ditempati Ummul Mukmini Aisyah, guna melindungi, dari anggota pasukannya
yang ingin merebut tali kekang unta tersebut. Dengan merebut tali kekang itu,
sepanjang adat- istiadat perang pada masa itu, maka para penghuninya langsung
menjadi tawanan perang. Khalifah Ali tidak ingin pristiwa yang tragis itu
sampai terjadi pada diri Ummul Mukminin Aisyah.
Pada
saat pasukan Ummul Mukminin itu telah porak –poranda maka pada saat
itulah khalifah Ali meneriakkan perintahnya yang amat tercatat oleh sejarah,
berbunyi “la Tattabi’u Farran ! wala tajhazuu ‘ala Jarihin ! wala tastahillu
salban !”, yang bermakna: “jangan kejar mana yang lari! Jangan usik mana
yang luka ! jangn lakukan rebut- rampas!”.
Khalifah
Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Ummul Mukminin Aisyah setelah
perang usai. Keesokannya ia mempersilahkannya pulang kembali ke Madinah,
diiringkan oleh pasukan pengawal yang dipimpin oleh saudaranya sendiri,
Muhammad Ibn Abi Bakr.
Semenjak
peristiwa itu Ummul Mukminin membebaskan dirinya dari segala catur
politik, lalu mengambil sikap non-aktif seperti tokoh- tokoh utama lainnya dari
kalangan al-Shahabi.
2. Perang Shiffin
Saat
Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri
Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan
para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang
mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis
pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa
pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang
terpotong.[21] Barang bukti ini kemudian
digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat
menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para
pelaku pembunuhan dihukum qishash.
Keadaan semakin memanas, tatkala dating utusan khalifah Ali bin Abi
Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi,
keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria
menangguhkan –bukan menolak- pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman
dikupas tuntas. Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak
membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama,
bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap
dihukum. Kedua, tak ada
suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu
Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak
berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak
ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya.
Dengan
mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa
salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan
kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi
Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras terhadap
pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi
Gubernur Mesir. [22]
Memang,
Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas
beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya
mengangkat Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara sepersusuan Utsman,
sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi
ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran,
Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu
menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan
mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan
delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi
Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi
Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan
kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir,
Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang –katanya- dibawa oleh seorang
budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut
adalah perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh
Muhammad bin Abi Bakar. Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang
menjadi salah satu target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke
Madinah menuntut Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.[23] Mungkin
karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk
salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu
tersangka.
Tetapi,
Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman, ketika ditanya Ali
bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”? Nailah menjawab: “Saya tidak tahu,
tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya kenal. Muhammad bin
Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain, Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin
Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar meninggalkan rumah itu
sebelum terjadi pembunuhan”. Saat itu pula Ali langsung bertanya kepada
Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar
membenarkan statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut
masuk dan setelah ia [Utsman] mengingatkan saya kepada ayah [Abu Bakar], saya
meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak
membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.
Kesaksian
Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan bahwa Muhammad bin
Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang
tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai
gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak
menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali.
Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya
situasi politik saat itu, yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba
dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk
menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika
Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa
yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya
tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu
bersi tegang.
Ali
sendiri ketika menghadapi penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara.
Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi
baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan,
pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang
bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa
menyebut gelar Amirul Mukminin.
Surat
tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan
rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil.
Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah.
Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para
sahabat yang ada di Madinah waktu itu. Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok;
ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu
Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu
dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir
dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin
Maslamah dan Abdullah bin Umar.[24] Ibnu
Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak
tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama
sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat
dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan
memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat
karena pengaruh Muawiyah.[25]
Singkatnya,
peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi
akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan
untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga
seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan
segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan
puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut
akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi
perbatasan Irak dan Syiria (atas dasar inilah
kemudian peperangan ini disebut perang Shiffin. Perang
pun terjadi. Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun
36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37
H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya
kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang
sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran pertama kali terjadi, korban
meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka
korban fisik tidak terhitung.[26]
Selang beberapa hari pertempuran berlangsung,
kemenangan tampaknya akan diraih ali dengan pasukannya. Menyadari dirinya akan
kalah, Muawiyah dan Amru bin Ash mempergunakan siasat tipu daya. Di tengah-
tengah teriakan Amru bin Ash: “Siapa diantara kalian yang membawa Mushaf
(al-Qur’an) agar diangkat keatas dengan tombaknya”. Beberapa orang tentara
Mua’wiyah mengikuti perintah itu, sambil berkata : kitabullah ini yang akan
mejadi hakim antara kami dan kamu. Mendengar semua itu, sebahagian tentara Ali
menghentikan pertempuran karena ingin berdamai. Ali yang mengetahui siasat
Muawiyah dan merasa kemengangan sudah hamper diraih, berusaha untuk
mengorbankan semangat tempur pasukannya. Tetapi rupanya usaha itu sia- sia
belaka. Sebahagian dari tentaranya malah memaksanya untuk memerintahkan
penghentian pertempuran, maka ia tidak dapat berbuat lain.[27]
Setelah pertempuran dihentikan, kedua belah pihak
bersepakat untuk berunding menyelesaikan perselisihan diantara mereka.
Perundingan ini terkenal dengan nama “majlis tahkim”, dilangsungkan pada bulan
Januari 659 (Ramdhan 34 H.), di Daumat al- Jandal (Adhruh) suatu tempat antara
Madinah dan Damaskus. Delegasi Mua’wiyah dipimpin oleh Amru bin Ash, seorang
politikus ulung di kalangan bangsa Arab didampingi seorang sekretaris. Delegasi
Ali dipimpin oleh Abu Musa al-Asy’ari, seorang tua jujur dan lemah lembut. Tiap
delegasi disertai 400 orang saksi.[28]
Sesungguhnya apa yang menjdi keputusan tidak dapat
ditentukan dengan pasti. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan.
Yang umum diketahui, kedua belah pihak sepakat untuk memberhentikan kedua
pemimpin, Ali dan Muawiyah, dan terserah kepada kaum muslimin untuk menunjuk
siapa dikehendaki menjadi khalifah. Abu Musa al-asy’ari karena lebih tua
mendapat giliran terlebih dahulu untuk mengemukakan kesepakatan itu. Ia
menegaskan, memberhentikan Ali sebagai khalifah. Setelah itu Amru bin Ash
tampil dan mengemukakan bahwa ia menyetujui pemberhentian Ali dan mengokohkan
Mu’awiyah sebagai khalifah.
Banyak
riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu Musa dan Amr saat itu
sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari Muawiyah dan
mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan keputusan
Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan menetapkan
Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu Musa. Maka
terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah
khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa
dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi
perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali.
Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat
di hadapannya.
Pada waktu itu kekhalihahan dijabat oleh Ali sedangkan
Mu’awiyah hanya sebagai gubernur di Syria. Jadi ia bukan Khalifah yang akan
diberhentiakn. Sesudah itu umat Islam masih mengakui Ali sebagai Khalifah. Dua
tahun sesudah majlis tahkim barulah Mua’wiyah dilantik menjadi khalifah.[29]
3. Gerakan Kaum Khawarij
Setelah
proses tahkim berakhir dan kemengangan berada di pihak Muawiyah,
kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia.
Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut
sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima
tahkim.
Setelah
proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju
Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali
dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan
hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah.
Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah
seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari
Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.[30]
Ketika
Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij meneriakinya denga
kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka, “Aku
tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian
selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka
semakin agresif menyudutkan Ali dan mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya milik Allah.”[31]
Ali
mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair
dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat
kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah
menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar.
Tetapi sebagin dari mereka tetap bersikukuh pada pendiriannya dan
membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai
panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan
pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan
kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun
baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga
putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil
menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan
Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan
sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompoak
Ali maupun Muawiyah.
Kaum Khawarij melihat bahwa sumber kekacauan adalah
Ali, Mu’awiyah dan Amru bin Ash. Oleh Karena itu mereka bersepakat untuk
menghabisi nyawa ketiga pemimpin tersebut. Tiga orng pembunuh dikirim masing –
masing Abd. Al-Rahman bin Muljam ke Kufah untuk membunuh ali, Barak
bin Abdillah al-Tamimi pergi ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan Amru bin Bakar
al-Tamimi pergi ke Mesir untuk membunuh Amru bin ‘Ash. Pada hari yang telah ditentukan, 24 Januari 661 ( 15
Ramadhan 40 H). ketiga algojo itu beraksi tetapi hanya Ibnu Muljam saja yang
berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang menuju ke mesjid untuk memanggil dan
mengimami shalat subuh. Muawiyah berhasil ditikam oleh Ibn Abdillah tetapi
tidak sampai membawa ajalnya. Sementara itu di Mesir Amru bin Ash terganggu
kesehatannya sehingga tidak keluar mengimami shalat shubuh. Kharijah bin Habib
al-Suhami yang menggantikannya ditikam oleh Ibnu Bakar.[32]
Ada tiga
hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian
menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama,
mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua
kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah
menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al
Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai.
Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas
nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. Kedua,
Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum.
Sebab ia menyerahkan keputusan politiknya dalam persengketaannya dengan
Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak. Padahal keputusan hukum itu
hanya milik Allah bukan milik manusia. Sedang Muawiyah jelas sebagai
pembangkang yang harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum
Khawarij berargumen dengan ayat, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah
berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu
ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal
memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan
anak-anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar
karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta
bendanya.
Ali
mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping ia
sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali ke jalan
yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas menjawab dengan
beberapa argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot
diri dari
kedudukannya sebagai Imam kaum
Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa mencantumkan atribut
“Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan. Karena nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak
akan merubah kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula
ada dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian
damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum Musyrik
agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul Allah” dalam naskah perjanjian.
Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak keras menghapus kata “Rasul
Allah” dari belakang nama Muhammad. Sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya
serta memaksa Ali agar menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti
“Muhammad Rasul Allah”. Kemudian Ali membaca ayat, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.[33]
Kedua, tuduhan bahwa Ali telah
menyekutukan Allah dibidang hukum karena menyerahkan hukum kepada para delegasi
untuk bermusyawarah dan mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah
tuduhan yang salah kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya,
melainkan harus ada orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua
utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar
bermusyawarah dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah
Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua.
Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga
yang bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran.[34] Jika
dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga yang
sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru runding untuk mencari
penyelesaian perkara yang diperselisihkan keduanya, maka lebih-lebih lagi jika
yang dipertengkarkan itu menyangkut darah dan kehormatan umat Nabi Muhammad
SAW.
Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali
bersikap ambigu dalam kasus harta rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan
menghalalkan darahnya tapi mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab
singkat, “Di antara tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti
Aisyah). Kalau kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian
telah kafir, dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian
telah kafir juga”.[35]
Dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib berakhirlah suatu
episode dari sejarah Islam, masa khulafa al-Rasyidin. Akan halnya keturunan Ali
dan pengikut – pengikutnya terus berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri
baik dalam politik maupun dalam teologi. Mereka masih tetap memainkan peranan
penting dalam sejarah yang menarik untuk diikuti.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ali Bin
Abi Thalib,adalah
khalifah yang keempat itu, nama lengkapnya ialah Ali bin Abi Thalib bin
Abd. Al-Mutthalib bin Hasyim bin Abd. Al-Mabaf al-Hasyimi al-Quraisyiy.
Dilahirkan sepuluh tahun sebelum Nabi menjadi Rasul. Ia lahir di
Mekah pada tahun 603 M, dan wafat di Kufah
pada 17 Ramadahan 40 H/ 24 Januari 661 M. Ali menikah dengan 9 wanita dan
mempunyai 19 orang putra- putri. Sepanjang masa
kenabian Muhammad saw. Ali selalu terlibat dalam setiap permaslahan pribadi dan
sosial Rasulullah saw. Selama itu pula keselamatannya selalu terancam. Tapi, imannya tidak pernah goyah, apalagi merosot meski sekejap
mata. Salah satu keistimewaanya, Ali memiliki pemahaman multi dimensional yang
luas dan mendetail. Setelah Rasulullah belum ada yang mengungguli Ali dalm
kecerdasan dan kecemerlangan berfikir. Demikian juga penguasaan terhadap sastra
al-Qur’an. Urusan kemanusiaan, belum ada orang yang sepadan dengan Ali, apalgi
dalam hal kepahlawanan atau keberanian, niscaya tiada orang yang mampu
menandinginya. Ali adalah singa podium dan gelanggang. Ali adalah pembela umat
manusia, tokoh persatuan dan politik. Ali adalah musuh paling gigih bagi segala
bentuk anti kemanusiaan.
Setelah dilantik menjadi
khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya.
Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya, ada lima visi politik Ali dari
pidatonya itu. Pertama,
sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan
oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Kedua, mewujudkan
nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam
masyarakat. Ketiga, tulus
ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa
dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan
masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan
ketaatan kepada Allah swt.
Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang sangat penting untuk dibahas, yaitu
Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.
B. Implikasi
Pembahasan
dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya diharapkan dapat berimplikasi
positif dan membangun terhadap para pembaca dalam memahami sosok Ali yang
sebenarnya. Terkhusus bagi para mahasiswa, penggiat, penuntut ilmu yang sedang
mengkaji tentang sejarah peradaban Islam. Dan lebih khusus lagi bagi para
pendidik yang mengajarkan sejarah peradaban Islam, sehingga bisa mengenalkan
Islam secara kaffah lewat peradaban Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Ali
al-Musawi, Abu Hasan, Najhul Balagah, Lampung: Yapi, 1990.
Amhazun, Muhammad, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam
Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI al-Haramain, Jakarta: 1994).
Amin, Muhammad, The True Story of
Muhammad and Khadijah’s Beloved Daughter Fathimah, Jakarta: Arifa Publishing, 2013.
Anshari,
Hafidz, dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
1993
Atsir,
Ibn, al-Kamil fi Tarikh II, Darus Sadir, Bairut. 1965.
Ismail bin Katsir, Abu al-Fida, al-Bidayah wa
al-Nihayah, (Beirut: Dar
al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV.
Mahmud al-Aqqad, Abbas, Kejeniusan Ali
bin Abi Thalib, terj. Gazirah
Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002).
Mufrodi,
Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan
Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Nasution, Harun, Teologi Islam;
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002).
Patuhena, M. Saleh, dkk. Sejarah Islam Klsik, Makassar: Alauddin
Press. 2009.
Syalabi, Ahmad, Sejarah
Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr.
H. Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000).
Sou’yb, Joeseof, Sejarah
Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang,
Jakarta: 1986).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2007).
,Sejarah
Peradaban Islam edisi 1 cet.2, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994.
Zainudin Abu Himam, Jeje. Akar Konflik
Umat Islam, (Bandung:
Persis Press, 2008), cetakan pertama.
[1] Ibn Atsir, al-Kamil fi
Tarikh II, Darus Sadir, Bairut. 1965. Hal. 319.
[2] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta:
Logos, 1997. Hal. 45
[3] Abu Hasan Ali
al-Musawi, Najhul Balagah, Yapi, Lampung, 1990, hal. 34.
[4] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta:
Logos, 1997. Hal. 46
[5] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Hal. 39
[7] Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 111
[9] Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 111
[10] Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 112
[11] Dikutip dari Ali Syariati, oleh Muhammad amin, The True Story of Muhammad
and Khadijah’s Beloved Daughter Fathimah, Jakarta: Arifa Publishing, 2013.
Hal. 117- 118
[12] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat
Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal. 462
[13] ihat Abu al-Fida Ismail bin
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut:
Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV, hal. 248.
[14] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166,
sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu
Himam, hal. 74.
[15] Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi Islam,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 113
[16] Joesoef Sou’yb, Sejarah
Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal. 471
[17] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166,
sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu
Himam, hal. 113.
[18] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166,
sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu
Himam, hal. 119 - 120.
[19] Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 113
[20] Joesoef Sou’yb, Sejarah
Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal. 478
[21] Utusan yang membawa surat
tersebut adalah Sahabat Nabi bernama Nukman bin Basyir. Lihat Jeje Zainudin Abu
Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan
pertama, hal. 98.
[22] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002). Hal.7
[23] Joesef Soy’b, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan
Bintang, Jakarta: 1986),, hal.
444-454
[24] dikutip dari Thabari oleh
Jeje Zaenudin Abu
Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama., hal.91
[25] Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj.
Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hal. 70
[26] Jeje Zaenudin Abu Himam, Akar Konflik Umat
Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama., hal.100 -101
[30] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (UI-Press, Jakarta: 2002). Hal. 8 dan 13
[31] Jeje Zaenudin Abu Himam, Akar Konflik Umat
Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama., hal.107
[33] Qs. Al-Ahzab: 21
[34] lihat Qs. Al-Nisa: 35
[35] Jeje Zaenudin Abu Himam, Akar Konflik
Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama., hal. 142-144