Selasa, 06 Oktober 2015

Makalah Bahasa Arab : Tamyiz



TAMYIZ
oleh : Hamsiati
BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa yang diakui secara internasional, mempunyai keunikan tersendiri, sebab ia menjadi bahasa Al-Qur’an[1]; sebuah kitab suci yang menjadi pedoman semua umat Islam sedunia. Dengan demikian, bahasa Arab tidak hanya dipakai oleh bangsa Arab sendiri, tetapi dipergunakan juga oleh bangsa – bangsa lain yang memeluk agama Islam. Bahkan non Islam pun (Islamolog) banyak yang mempelajari bahasa Arab sebagai alat bantu untuk mengkaji bidang studi ke-Islaman.
Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa mayor di dunia yang dituturkan oleh lebih dari 200.000.000 umat manusia. Bahasa ini digunakan secara resmi oleh kurang lebih 20 negara. Dan karena ia merupakan bahasa kitab suci dan tuntunan agama umat Islam sedunia, maka tentu saja ia merupakan bahasa yang paling besar signifikansinya bagi ratusan juta muslim sedunia, baik yang berkebangsaan Arab maupun bukan. Akhir-akhir ini, bahasa Arab merupakan bahasa yang peminatnya cukup besar di Barat. Di Amerika misalnya, hampir tidak ada suatu perguruan tinggi yang tidak menjadikan bahasa Arab sebagai salah satu mata kuliah, termasuk perguruan tinggi Katolik atau Kristen. Sebagai contoh, Harvard University, sebuah perguruan tinggi swasta paling terpandang di dunia yang didirikan oleh para ‘alim ulama’ protestan, dan Georgetown University, sebuah universitas swasta katolik, keduanya mempunyai pusat studi Arab yang kurang lebih merupakan Center for Contemporary Arab Studies.
Di Afrika, bahasa Arab ini dituturkan dan menjadi bahasa pertama di negara-negara semacam Mauritania, Maroko, Al Jazair, Libya, Mesir, dan Sudan. Di semenanjung Arabia, bahasa ini merupakan bahasa resmi di Oman, Yaman, Bahrain, Kuwait, Arab Saudi, Qatar, Emirat Arab, dan jauh ke Utara, Jordan, Irak, Syria, Libanon, dan Palestina.[2]

Namun demikian, harus diakui bahwa bangsa non-Arab tidak mudah mempelajari bahasa Arab dengan baik, sebab bukan bahasanya sendiri. Karenanya terdapatlah kesalahan- kesalahan dalam membaca dan mengucapakan bahasa itu. Dengan kesalahan- kesalahan itulah menyebabkan para pemimipin, ulama dan kaum muslimin menetapkan kaidah – kaidah bahasa Arab dalam suatu ilmu, yang dalam perkembangannya dikenal dengan ilmu nahwu.
Ilmu nahwu sebagai tata bahasa Arab, didalamnya membahas beberapa kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan bahasa Arab. Salah satu pembahasan di dalamnya dikenal dengan istilah tamyiz. Tamyiz adalah bentuk isim al-Nakirah yang merupakan pelengakap untuk kesempurnaan struktur dan kejelasan makna suatu kalimat, sehingga bagi pembacanya dapat memahami dengan jelas.


B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian Tamyiz ?
2.      Berapa pembagian Tamyiz ?

















BAB II
PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN TAMYIZ
Secara etimologi kata tamyiz berasal dari kata ميّز, ia merupakan bentuk masdhar dari fi’il tersebut. Dalam kamus disebutkan bahwa mayyaza berarti   “ memisahkan sesuatu dari yang lain atau mengutamakan sesuatu daripada yang lain. Tamyiz berfungsi untuk menjelaskan atau menghilangkan kekaburan atau ketidak jelasan dari apa yang dimaksud kata atau kalimat sebelumnya, misalnya إشْتّرّيْتُ عِشْريْنَ كتابًا  ( saya membeli dua puluh buku). Kata– kata ini masih sifatnya umum, bisa berarti dua puluh buku, dua puluh majallah, dua puluh pulpen dan lain-lain, namun setelah ada kata-kata كتابًا, maka sudah jelaslah yang dimaksud buku dan keluarlah yang lain. Inilah yang dimaksud tamyiz dalam bahasa Arab.
Sedangkan tamyiz dari segi terminologi ialah :
التمييز : اسم نكرة يذكر تفسيرا للمبهم من ذات أو نسبة.[3]
“ isim nakirah yang dituturkan untuk memperjelas kesamaran suatu zat atau suatu nisbah.”
Sedangkan Ali Ridha dalam bukunya اللغة العربية mengatakan bahwa:
التمييز هو اسم نكرة جامد متضمن معنى من يفسّر و يبين ما قبله من إسم ذات أو جملةٍ.
“ Tamyiz adalah isim nakirah yang mengandung arti menjelaskan kata- kata sebelumnya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tamyiz adalah isim nakirah yang disebutkan dengan tujuan menghilangkan kesamaran isim yang terletak sebelumnya. Atau dengan kata lain bahwa tamyiz merupakan keterangan pembeda, terhadap pengertian yang belum jelas pada kata-kata yang sebelumnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Isim nakirah itu mengandung pengertian مِنْ ( berarti dari).[4]
B.   PEMBAGIAN TAMYIZ
Tamyiz sebagai penjelasan dari sesuatu yang kabur atau belum jelas terbagi dalam dua jenis:
1.    Tamyiz al- Mufrad.
Tamyiz mufrad yaitu tamyiz yang menjelaskan sesuatu kekaburan yang timbul dari kosa kata (المفرد ). Tamyiz ini terbagi dua:
a.       Tamyiz yang bukan bilangan
b.      Tamyiz yang termasuk bilangan.
a.    Tamyiz yang bukan bilangan
Tamyiz bukan bilangan terbagi pula dalam:
1)      Yang menunjukkan pada takaran (الكيل), seperti :
“Saya mempunyai satu liter beras”         عندي لترٌ ارزًّا
2)      Yang menunjukkan pada timbangan ( الوزن), seperti:
“ saya mempunyai satu kilo gram apel.عندي كيلو جرام تفّاحا
3)      Yang menunjukkan kepada luas (المساحة), seperti:
“saya mempunyai satu hektar tanah” عندي هكتار أرضا
4)      Yang menunjukkan pada ukuran panjang (الطول ), seperti:
“Dia mempunyai satu meter dari kain” عنده متر قماشا
5)      Tamyiz adalah asal dari kata sebelumnya, seperti:
“ Dia mempunyai cincin perak” عنده خاتم فضة
 Susunan kalimat dan struktur diatas dapat diungkapkan dalam bentuk lain, yaitu bahwa semua isim yang berbentuk tamyiz yang manshub dapat dijadikan:
1)      Majrur, dengan huruf jar “من” , seperti :
عندي لتر من ارزٍ : saya mempunyai beras satu liter
عندي خاتم من فضّةٍ : saya mempunyai cincin perak
Atau majrur sebagai “المضاف إليه”, seperti:
عندي لترُ ارزّ : saya mempunyai beras satu liter
عندي خاتمُ فضةٍ: saya mempunyai cincin perak
2)      Atau sebagai badal ( البدل ), atau pengganti dari isim sebelumnya. Karena itu,
 Badal bisa berasal dari isim marfu’ (المرفوع ), seperti :
عندها ساعةٌ ذهبٌ : dia mempunyai jam emas
عندكَ ثوبٌ صوفٌ: kamu mempunyai pakaian wol
Badal dari isim manshub, seperti :
اشترينا هكتارًا ارضًا : kami membeli satu hektar tanah
صنعنا كرسيًّا خشبًا : kami membuat kursi kayu
Badal dari isim majrur, seperti:
زرعْنا على هكتارٍ ارضٍ : kami menggarap satu hektar tanah
جلسنا على كرسيٍّ خشبٍ : kami duduk diatas kursi kayu
b.    Tamyiz Bilangan ( تمييز عدد ).
Tamyiz bilangan dibagi ke dalam Sembilan bentuk:
a.       Bilangan (angka) satu dan dua tidak mempunyai tamyiz, karena masing – masing bentuk telah menunjukkan kepada jumlahnya, seperti:
مجلّةٌ ( sebuah majalah)
مجلّتانِ ( dua buah majalah)
Tetapi dapat juga ditulis bersamaan dengan angkanya, namun ia berstatus sebagai taukid (التوكيد) yang berarti penguat.
b.      Bilangan angka 3 ( tiga) sampai dengan sepuluh, dalam menentukan tamyiznya, mempunyai 3 ciri:
1)      Berbentuk jamak
2)      Majrur, sebagai mudhaf ilaih (مضاف إليه )
3)      Bilangan (العدد )dengan yang dibilang (المعدود ) dalam hal ini adalah tamyiz selalu berlawanan antara muzakkar  dan muannats, coba perhatikan contoh: ثلاثُ كُتُبٍ
Kata “كتب” adalh yang dibilang atau yang dihitung, sekaligus berperang sebagai tamyiz berbentuk jamak majrur, karena ia adalah mudaf ilaih, yang berasal dari kata “كِتَابٌ” yang berbentuk mufrad muzakkar, oleh karena ia muzakkar, maka bilangannya (العدد) harus muannats, yaitu “ثلاثة”. Akan tetapi sebaliknya, apabila yang dihitung muannats, maka bilangnnya harus muzakkar, seperti : ثلاثُ مجلّاتٍ.
c.       Bilangan (angka) sebelas dan dua belas, ketentuannya sebagai berikut :
1)      Tamyiznya atau al- ma’dudnya berbentuk mufrad dan manshub.
2)      Tidak berlawanan antara al-‘adad dan al- ma’dud atau tamyiznya dari segi muzakkar dan muannats.
3)      Bilangan satuan dan puluhannya selalu mabni, kecuali kata “اثنان” (ia marfu’ dengan alif dan manshub dan majrur dengan ya). Hubungan antara “اثنان” dengan puluhannya yaitu “عشر”, adalah hubungan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih. Jadi huruf nun pada kata “اثنان” dibuang dan menjadi “اثنا عشر  atau “اثنى عشر” kalau mansub atau majrur.
Sebagai contoh :
حَضَرَ أحدُ عشرُ طالبًا : telah hadir sebelas mahasiswa
رَأيْتُ أحدَ عشرَ طالبا : saya melihat sebelas mahasiswa
نَظَرْتُ إلَى احْدَى عَشرة طَالبةً : saya melihat sebelas mahasiswi
حَضَرَ اثنا عشرُ طالبًا : telah hadir dua belas mahasiswa
رَأيْتُ اثنىَ عشرَ طالبا : saya melihat dua belas mahasiswa
نَظَرْتُ إلَى اثنتى عَشرة طَالبةً. : saya melihat dua belas mahasiswi
d.      Bilangan (angka) tiga belas sampai dengan Sembilan belas (kecuali) angka puluhan yang bersamaan dengan angka satu dan dua, ketentuannya sebagai berikut:
1)      Tamyiz (al-ma’dud)nya: mufarad dan manshub dengan fathah.
2)      Al-‘adad bersama dengan al-ma’dud, atau tamyiznya berlawanan dengan mudzakkar dan muannats pada bilangan satuannya.
3)      Angka puluhan dan satuannya mabni. Contoh: untuk yang dihitung mudzakkar, maka satuan bilangannya harus mu’annats.
ثلاثة عشر طالبا : tiga belas mahasiswa
Yang dihitung, yaitu: "طالب", ia adalah muzakkar, maka satuan bilangannya yaitu “ثلاثة” harus berbentuk muannats. Dan kedua, puluhan dan satuan tetap mabni. Demikian pula sebaliknya, apabila yang dihitung muannats, maka bilangannya harus mudzakkar. Seperti: ثلاث عشرة طالبة         : tiga belas mahasiswi
Perhatikan contoh – contoh berikut :
خمسة عشر يوما   : lima belas hari
خمس عشرة مجلة : lima belas majallah
ستة عشر قلما  : enam belas polpen
 ست عشرة جريدة: enam belas koran
e.       Untuk angka puluhan genap dari dua puluh, tiga puluh, dan seterusnya, tetap terbentuk mufrad dan manshub, dan tidak berlawanan antara muannats dengan mudzakkar, seperti:
حضر عشرون طالبا او طالبة : telah hadir dua puluh mahasiswa atau mahsiswi
رأيت عشرين طالبا أو طالبة: saya melihat dua puluh mahasiswa
نظرت الى ثلاثين طالبا او طالبة : saya melihat tiga puluh mahasiswa
f.        Untuk angka (bilangan) satu dan dua bersamaan dengan angka puluhan genap dari dua puluh, tiga puluh, dan seterusnya, maka angka satu dan dua tidak berlawanan antara al-‘adad dengan al-ma’dud, seperti:
حضر واحد وعشرون طالبا                  حضرت احدى و عشرون طالبة
حضر اثنان و عشرون طالبا                   حضرت اثنتان و عشرون طالبة
g.      Untuk angka (bilangan) satuan tiga sampai dengan Sembilan, apabila bersamaan dengan angka puluhan, dan sampai ke angka Sembilan puluh, maka angka satuannya sebagai al-’adad  berlawanan dengan al-ma’dud dan tamyiznya berbentuk mufrad dan manshub.
Perhatikan contoh – contoh berikut:
نجح ثلاثة و عشرون طالبا                              نجحت ثلاث و عشرون طالبة 
رأيت أربعة و ثلاثين طالبا                                 رأيت أربعا و عشرون طالبة
نظرت الى سبعة و اربعين طالبا                              نظرت إلى سبع و أربعين طالبة
h.      Untuk angka (bilangan) seratus, seribu, jutaan, maka tamyiznya adalah mufrad majrur dan tidak berlawanan antara al-‘adad dan al-ma’dud, contoh:
مائة طالب او طالبة : seratus mahasiswa
الف طالب او طالبة : seribu mahasiswa
مليون طالب او طالبة : satu juta mahasiswa
2.    Tamyiz Nisbah atau Jumlah (تمييز النسبة او الجملة)
Tamyiz nisbah atau jumlah adalah tamyiz yang menjelaskan atau menentukan maksud dari suatu jumlah yang belum jelas bagi si pendengar, seperti kalau kita mengatakan:
Tamu itu segar………..                                              طاب الضيف...........
Susunan kalimat tersbut dalam bahasa Arab masih menimbulkan pertanyaan, yaitu apa yang segar? Apakah jiwanya, hingga kita harus mengatakan: طاب الضيف نفسا, apakah dari segi mentalnya, hingga kita harus mengatakan    طاب الضيف عقلا, ataukah dari segi budi pekertinya, hingga kita seharusnya mengatakan: طاب الضيف خلقا .
Jadi kata “ نفسا, عقلا,  خلقا , dalam contoh tersebut berfungsi sebagai tamyiz, karena menjelaskan aspek yang mana yang dimaksud dengan ungkapan “طاب الضيف  itu. Oleh karena itu, ia disebut “تمييز الجملة”, karena menjelaskan maksud dari satu jumlah, yang juga dikenal dengan “تمييز النسبة .
Kata نفسا, عقلا,dan  خلقا ,tidak berfungsi sebagai maf’ul bihi (مفعول به), karena kata kerja “طاب” termasuk kata kerja lazim “الفعل اللازم” yaitu fi’il yang tidak memerlukan maf’ul bih (مفعول به).
Tamyiz nisbah atau jumlah ini, terbagi dua:
1.      Tamyiz yang berasal dari fungsi yang lain, selain ia sebagai tamyiz, juga biasa dikenal dengan istilah “التمييز المحوّل “ atau “التمييز المنقول  ". kata المحوّل dan المنقول (yang berarti dialihkan atau dipindahkan), apakah pengalihan dan pemindahan berasal dari fa’il, maf’ul bih ataupun berasal dari mubtada’.
Contoh:  
·         استعل الرأس شيبا  : menyala kepala itu ke uban ( diliputi oleh warna putih) seakan- akan ia menyala.
Kata “الرأس” marfu’ sebagai fail dan “شيبا  “ manshub, sebagai tamyiz, dan contoh tersebut berasal dari : اشتعل شيب الرأسِ
·         وفجّرنا الأرض عيونا  : kami memancarkan bumi itu penuh mata air.
Kata “الأرض” adalah maf’ul bih, karena itu ia mansub, sedang kata “عيونا” adalah tamyiz, juga manshub. Contoh tersebut berasal dari : وفجّرنا عيون الأرض
·         الأستاذ اكثر منك علما  : guru itu lebih banyak ilmu dari pada anda.
Kata “الأستاذ  “ adalah mubtada’, kata “اكثر” adalah khabar dan ia marfu’, kata “علما” adalah tamyiz dan ia manshub. Contoh tersebut berasal dari : علم الأستاذ اكثر من علمك
2.      Tamyiz yang tidak dialihkan dari posisi yang lain menjadi tamyiz (التمييز غير المنقول)  atau ( غير المنقول ), seperti kalam seseorang ingin mengungkapkan rasa kekagumannya terhadap keistimewaan orang lain, maka ia mengatakan :
لله دَرُّهُ شاعرا : alangkah bagusnya ia sebagai seorang penyair
لله دره كاتبا: alangkah bagusnya ia sebagai seorang penulis
Dan contoh- contoh yang lain seperti:
وكفى بالله ناصرا  Cukuplah Allah menjadi penolong :                                       





















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Tamyiz adalah isim nakirah yang disebutkan dengan tujuan menghilangkan kesamaran isim yang terletak sebelumnya. Atau dengan kata lain bahwa tamyiz merupakan keterangan pembeda, terhadap pengertian yang belum jelas pada kata-kata yang sebelumnya.
Tamyiz terbagi dua yaitu tamyiz mufrad dan tamyiz nisbah atau tamyiz jumlah. Dan tamyiz mufrad terbagi menjadi dua lagi yaitu tamyiz bilangan dan tamyiz bukan bilangan. Tamyiz bukan bilangan itu yang menunjukkan kepada takaran, timbangan, luas, panjang, dan tamyiz yang berasal dari kata sebelumnya. Begitupun dengan tamyiz nisbah terbagi dua, yaitu: tamyiz  yang berasal dari fungsi yang lain, selain ia sebagai tamyiz, juga biasa dikenal dengan istilah tamyiz manqul, dan tamyiz yang tidak dialihkan dari posisi yang lain menjadi tamyiz atau dikenal dengan istilah tamyiz ghairu manqul.
B.   Implikasi
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya diharapkan dapat berimplikasi positif dan membangun terhadap para pembaca dalam memahami tentang tamyiz. Terkhusus bagi para mahasiswa, penggiat, penuntut ilmu yang sedang mengkaji tentang bahasa Arab. Dan lebih khusus lagi bagi para pendidik yang mengajarkan Bahasa Arab, sehingga bisa mengenalkan keunikan bahasa Arab itu.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Azhar, Bahasa Arab dan metode Pengajarannya Cet.II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Fahmi, Akrom, Ilmu Nahwu dan Saraf (Tata Bahasa Arab) Prakis dan Aplikatif. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Gulayani, Mustafa, Jami’ al- Durus al- Arabiyyah, Semarang: al- syifa. 1991
Hafid, Abd. Karim, Pedoman & Petunjuk Pengajaran dalam Membaca Kitab Kuning. Makassar: Alauddin Press. 2009
Hasyimi, Ahmad, al-Qawaid al- Asasiyah li al- Lughah al- Arabiyah, Bairut: Dar al-Qutub al-‘Ilmiah, 1354 H.
Jasim, Ali & Mustafa Amin, Nahwu al- Wadi fi Qawaid al- Lughah al-‘Arabiy.
Khoironi, A. Shohib, Audhahu al- Manahij fi Mu’jam Qawaid al- Lughah al- ‘Arabiyyah (baina al-Qa’idah wa al- tathbiq) juz I.Mesir: WCM Press. 2008
Moh. Nuri, H. Mustafa. Tuntunan Praktis Memahami Bahasa Arab II, Makassar: Fakultas Adab dan Humaniora, IAIN Alauddin Makassar. 1993.
Moh. Nuri, H. Mustafa & Hafsah Intang, al- ‘Arabiyyah al- Muyassarah.
Ni’mah, Fuad, Mulakhkhas –Qawaid al- Lughah al-‘Arabiyyah, Cet. IX. Damaskus: Darul Hikmah.




[1] Bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an dan hadis, dimana keduanya adalah sumber primer (pokok) ajaran Islam dan kandungan kedua sumber ajaran Islam itu harus diamalkan. Untuk bias mengamalkan kandungan keduanya, bahasa Arab harus dipelajari dengan baik. Lihat A.H. Akrom Fahmi, Ilmu Nahwu dan Saraf (Tata Bahasa Arab) Prakis dan Aplikatif (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h.ix-x.
[2] Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan metode Pengajarannya(Cet.II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.1-2.
[3]  Mustafa Moh. Nori dan Hafsah Intan, Al- ‘Arabiyyah al- Muyassarah ( Ciputat: Pustaka Arif, 2008), hal. 201.
[4]  Abd. Karim Hafid, Pedoman dan Petunjuk Pengajaran dalam Membaca Kitab Kuning (Makassar : Alauddin Press, 2009) hal. 217.