AL- FARABI dan IBNU SINA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Filsafat Islam memecahkan
problematika-problematika besar tradisional –yakni, problematika Tuhan, alam
dan manusia. Ia memberikan pandangan detail tentang semua ini dengan
terpengaruh oleh lingkungan dan kondisi yang melingkupinya. Di samping
memanfaatkan kajian-kajian filosofis sebelumnya yang sampai kepadanya, baik itu
dari Timur maupun dari Barat. Ia sampai pada sekelompok pendapat yang jika
berbeda dalam rinciannya disebabkan oleh perbedaan tokoh-tokohnya, karena ia
bertemu dalam aliran universal dan teori-teori milik bersama.[1]
Sejalan dengan perkembangan sejarah agama Islam,
pemikir-pemikir atau tokoh dalam Sejarah Islam mulai muncul antara lain
al-Farabi, al-Kindi,. Pembahasan kedua tokoh tersebut mengenai riwayat hidup
dan pandangan-pandangannya tentang emanasi, jiwa, nabi, wujud dan lain
sebagainya.
Berbicara tentang sejarah, Ibn Miskawaih mengatakan
bahwa sejarah bersifat filosofis, ilmiah dan kritis. Sejarah bukanlah sekedar
narasi yang hanya mengungkapkan keberadaan raja-raja dan menghiburnya, tetapi
lebih jauh merupakan pencerminan struktur politik, ekonomi masyarakat pada masa
tertentu. Atau dapat di katakana bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa
atau nrgara-negara tentang pasang surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya
mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kesatuan
organik, tetapi juga menentukan sesuatu yang akan datang[2].
Pemikiran-pemikiran Filsafat pada kaum muslimin
lebih tepat disebut filsafat Islam, mengingat Islam bukan hanya sekedar agama
tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat sudah barang tentu terpengaruh
dengan kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah Islam,
baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya. Karena
Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu
kesatuan[3].
Untuk
memahami realitas di balik filsafat, manusia seharusnya menggunakan potensi
akal pikirannya untuk memecahkan apa-apa yang ada dalam filsafat, dengan
mengaitkan sebuah realitas dengan realitas lainnya, berdasar sebuah prinsip
fundamental tentang kesatuan dan keseluruhan yang merupakan kunci dari setiap
pemikiran dan tindakan dalam Islam. Dalam hal ini pemikiran merupakan
keniscayaan dan suatu kewajiban[4].
Berdasarkan pendapat Ibn Miskawaih di atas,
al-Farabi, al-Kindi maupun Ibn Sina termasuk tokoh-tokoh Filsafat Islam yang
memiliki beraneka ragam pemikiran tentang kejadian-kejadian atau objek berbagai
ilmu pengetahuan.
Al-Farabi menjadi besar di mata dunia, terutama di dunia Eropa. Bukan
saja lantaran kemampuan di bidang filsafat, akan tetapi karena ilmu logika (
mantik ) dan metafisika, selain dari
itu, ia pun mempuyai aliran sendiri dalam ilmu filsafat politik.
Karangan “Tendensi Filsafat Plato dan
Aristoteles” uraiannya tentang etika berjudul “al-Sirah al-Fasilah” yang
merupakan sebagian dari hasil karyanya dan yang lebih luas dan lebih besar
berjudul “Mabadi’ al-Maujudad”, memperlihatkan sifat inteleknya yang
serba segi.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan,
sosok Ibnu Sina dalam banyak hal begitu unik. Sedangkan di antara para filosof
muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang tinggi hingga
masa modern. Ia adalah satu- satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah
mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.[5]
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia
memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu, menampakkan
keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan
metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali
pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan
lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.[6]
Pemikiran – pemikiran al- Farabi dan Ibn Sina
tentang emanasi/ al-faydh, filsafat jiwa, filsafat kenabian, dan teori
politik bagi al-Farabi dan teori wujud bagi Ibn Sina menarik kita kaji untuk
menambah wawasan cakrawala berfikiran kita dalam pemikiran filsafat.
A. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah
tersebut, maka yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam makalah ini, adalah:
1. Bagaimana biografi al-Farabi, pemikiran, dan
apa saja karya-karyanya?
2. Bagaimana biografi Ibn Sina, pemikiran, dan apa saja karya-karyanya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AL-FARABI
1. Riwayat Hidup dan Karya-karya Al-Farabi
Nama lengkapnya ialah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan al-Uzdag
ibn Awzalagh al-Farabi. Ia dilahirkan di desa Wasij, suatu distrik kota Farab,
yang termasuk wilayah kekuasaan Turki, namun terletak di dekat perbatasan
dengan Persi (Khurasan). Ayahnya menikah dengan wanita Turki dan merupakan
seorang jendral komando tentara Mesir dan pernah menjadi seorang hakim dan
ibunya berkebangsaan Turki. Kepribadian al-Farabi, sejak kecil ia tekun dan
rajin belajar dalam berolah kata, tutur bahasa, ia mempuyai kecakapan luar
biasa.
Al-Farabi dilahirkan pada tahun 257 H (870 M) dan meninggal dalam usia
80 tahun, yaitu pada bulan Desember 950 M ketika dalam perjalanannya menuju
Damaskus. Dalam bahasa latin ia dikenal dengan: Alfarabius atau Avennasar,
seorang filosof Islam terbesar. Ia dijuluki sebagai “The Second Master”
(Guru Kedua=al-Mu’allimus al-sani), sedangkan “The First Master”
disandang oleh Aristoteles. Ibn Khaldun menempatkannya diatas Ibn Sina dan Ibn
Rusyd. Disebut Farabi karena kelahirannya di Farrab, yang juga di sebut kampung
Utrar. Dahulu masuk daerah Iran, akan tetapi sekarang menjadi bagian dari
Republik Uzbekistan, dalam daerah Turkistan, Rusia.[7]
Al-Farabi waktu masih mudanya, telah berjalan meninggalkan kampung
halaman tercintanya yaitu Farrab demi mencari ilmu pengetahuan. Kemudian ia
sampai di Baghdad. Di sana ia belajar tentang ilmu bahasa Arab, dan kemudian ia
meneruskan pelajaran tentang ilmu logika pada Abu Basyar Matta, putra Yunus.
Untuk memperoleh ilmu filsafat, ia pergi ke Harran, dan di sana ia menjadi
murid Yuhahhan Ibn Khailan, ia juga sangat tertarik akan ilmu – ilmu
Aristoteles, yang di berikan oleh Yuhanna, buku Anima dibacanya sampai dua ratus
kali, berulang ulang dan buku Phisica, dibacanya sampai empat puluh kali.
Kemudian ia mengembara di sepanjang jalan raya Suria, Mesir dan akhirnya
ia sampai ke Damaskus, dalam keadaan miskin. Di Damaskus, ia mendapatkan
pekerjaan sebagai tukang jaga kebun, pada malam hari. Kemudia kesungguhan dan
ketekunanya dalam belajar terdengar oleh pangeran Saiful Daulah. Sebagai
pangeran Damaskus dikala itu, ia memberikan bantuan kepada al-Farabi empat
dirham sehari. Al-Farabi merasa puas dengan bantuan yang sedikit ini dan dengan
inilah ia belajar, mengajar, mengarang, dan lain–lain. Dalam dunia kesusastraan
al-Farabi memperdalam semua ilmu yang telah di selidiki al–Kindi, Sehinga
tidaklah heran jika paham filsafatnya tidak jauh berbeda dengan filsafatnya
al-Kindi. Perbedaannya hanyalah, bila al-Farabi cenderung kepada sufi (
tasawwuf ) sedangkan Al-Kindi tidak. Al-Farabi menjadi besar di mata dunia,
terutama di dunia Eropa. Bukan saja lantaran kemampuan di bidang filsafat, akan
tetapi karena ilmu logika ( mantik ) dan metafisika, selain dari itu, ia pun mempuyai aliran sendiri dalam
ilmu filsafat politik.
Karangan “Tendensi Filsafat Plato dan Aristoteles” uraiannya
tentang etika berjudul “al-Sirah al-Fasilah” yang merupakan sebagian dari hasil
karyanya dan yang lebih luas dan lebih besar berjudul “Mabadi’ al-Maujudad”,
memperlihatkan sifat inteleknya yang serba segi. Dan al-Farabi meninggal dunia
dengan meninggalkan beberapa karya–karyanya yang agung pada usia 80 tahun di
damaskus pada bulan Desember 950 M.
Karya al-Farabi
dituangkan dalam 60 karangan utuh, 17 komentar dan 25 risalah. Masalah yang
dibahas menyangkut macam-macam cabang ilmu. 14 buah ilmu politik, 43 buah
tentang ilmu logika, 11 buah tentang ilmu musik. 10 buah membicarakan ilmu
fisika meliputi kimia dan kedokteran. Sedangkan 11 buah mengungkapkan tentang
rahasia-rahasia ketuhanan/teologi. Menurut Ensiklopedia Britanica keahliannya
dalam bidang matematika, fisika, kedokteran, filsafat dan tasawuf sama kuatnya
dengan bidang ilmu budaya termasuk musik. Dalam hal ini penganutnya antara
lain, Vincent of Beauvais (1190-1264 M), Jerome of Moravvia dan Raymond Lull,
sebagaimana tersirat dalam bukunya Specu1um Doktrinal.
Beberapa karya
Al-Farabi yang terkenal antara lain:
1. Maqalah fi
Agradi ma Ba’da al-Tabi’ah
3. Kitab Ara’
Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab
Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun
al-Masa’il
6. Risalah fi
al-‘Aql
7. Kitab
al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi
Masa’il al-Mutafarriqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi
Itsbah al-Mufarraqat
2.
Pemikiran – Pemikiran
Al- Farabi
a.
Teori Emanasi
(al-Faydh)
Emanasi adalah teori tentang keluarnya
sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub
(Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori emanasi disebut juga teori “urut-urutan
wujud”[8].
Menurut teori emanasi al-Farabi disebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali.
Karena itu yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja. Emanasi itu timbul
karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Dzat-Nya satu, kalau apa yang keluar
itu pun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam
pemikiran Tuhan dan pemikiran akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.
Dalam alam manusia sendiri apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah
kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.[9]
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal
Pertama, mengandung dua segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (al-tabi’ah
al-wahiyyah) yaitu wujud yang mumkin. Kedua segi lain yaitu wujudnya
yang nyata yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang menjadikan.
Sekalipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat
bagian-bagian yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya.
Dengan adanya segi-segi ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam
sejak dari Akal Pertama. Dari pemikiran Akal pertama dalam kedudukannya sebagai
wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui
dirinya maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam
kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit
pertama atau benda lanjut terjauh (al-sama’ al-ula ‘ala al-a’la) dengan
jiwanya sama sekali jiwa langit tersebut. Jadi dari dua obyek pengetahuan yaitu
dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu
bendanya benda langit dan jiwanya
Dari Akal Kedua timbullah Akal
Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-Kawakib al-tsabitah)
beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama.
Dari Akal Ketiga keluarlah Akal
Keempat dan planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal
Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara)
beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan
planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal
Ketujuh dan matahari (al-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuh
keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (al-Zuharah) juga beserta
jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet
Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah
Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal
keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya. Dari Akal Kesepuluh
sesuai dengan dua seginya yaitu wajib al-wujud, karena Tuhan maka keluarlah
manusia beserta jiwanya. Dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang
mumkin, maka keluarlah empat unsur dengan perantaraan benda-benda langit. Dan
di akal ke X ini dayanya sudah lemah sehingga sudah tidak bisa menghasilkan
akal yang sejenisnya.
Jumlah akal dibataskan kepada bilangan
sepuluh, hal ini sesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan di mana untuk
tiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak
disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan.
Struktur Emanasi al-Faraby saat itu
dipengaruhi oleh temuan saintis yang pada saat itu jumlah bintang adalah
sembilan, karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh.
Kemudian al-Farabi menambah dua lagi yaitu benda yang terjauh (al-falak
al-aqsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah), yang diambil dari
Ptolomey (atau Caldius Ptolomaeus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir,
yang hidup pada pertengahan abad ke dua Masehi.
Demikianlah, maka jumlah akal ada sepuluh,
sembilan di antaranya mengurus benda-benda langit yang sembilan, dan akal
kesepuluh yaitu Bulan mengawasi dan mengurangi kehidupan di bumi. Akal-akal
tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan yaitu wujud
yang pertama, hanya terdapat satu obyek pemikiran yaitu Dzat-Nya, maka pada
akal-akal tersebut terdapat dua obyek pemikiran, yaitu Dzat yang wajibul-wujud
dan diri akal-akal itu senditi.[10]
Namun menurut hemat penulis, sekiranya
al-Faraby hidup di jaman ini maka tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali
akal, sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang.
Untuk lebih jelasnya penulis membuatkan tabel
Teori Emanasi oleh al-Farabi:
Tabel Teori Emanasi oleh Al Faraby
(Subyek)
Akal yang ke-
|
Sifat
|
Berpikir Tentang
|
Keterangan
|
|
Allah Sebagai Wajib Al Wujud,
Menghasilkan
|
Dirinya sendiri sebagai Mumkin Al Wujud,
Menghasilkan
|
|||
I
|
Mumkin Wujud
|
Akal II
|
Langit Pertama
|
Masing-Masing akan mengurusi Satu Planet
|
II
|
Sda
|
Akal III
|
Bintang-bintang
|
|
III
|
Sda
|
Akal IV
|
Saturnus
|
|
IV
|
Sda
|
Akal V
|
Yupiter
|
|
V
|
Sda
|
Akal VI
|
Mars
|
|
VI
|
Sda
|
Akal VII
|
Matahari
|
|
VII
|
Sda
|
Akal VIII
|
Venus
|
|
VIII
|
Sda
|
Akal IX
|
Merkurius
|
|
IX
|
Sda
|
Akal X
|
Bulan
|
|
X
|
Sda
|
|
Bumi, Roh, Materi pertama yang menjadi
keempat unsur: Udara, Air, Api, Tanah.
|
Akal ke X tidak lagi memancarkan akal-akal
berikutnya, Karena kekuatannya sudah lemah
|
b. Filsafat Jiwa
Adapun tentang jiwa, al-Farabi dipengaruhi oleh filsafat Plato,
Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah
adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan kebadan yang
lain.
Jiwa manusia sebagaimana halnya materi asal memancar dari akal kesepuluh. kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda, dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang beruap, berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Jiwa manusia sebagaimana halnya materi asal memancar dari akal kesepuluh. kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda, dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang beruap, berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Jiwa–jiwa manusia mempuyai daya, sebagai berikut:
1. Daya gerak
seperti makan, memelihara dan berkembang.
2. Daya
mengetahui yaitu merasa, imaginasi.
3. Daya
berfikir yakni: Akal praktis dan teoritis
Daya teoritis terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
• Akal Potensial; baru mempuyai
potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk–bentuk dari meterinya.
• Akal Aktual; telah dapat
melepaskan arti–arti dari materinya, dan arti–arti itu telah mempuyai wujud
akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk
aktua.
• Akal Mustafad; telah dapat
menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan dengan materi dan mempunyai
kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal.
c.
Filsafat
Kenabian
Dalam suasana penuh perdebatan tentang
kenabian muncullah al-Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian,
apalagi ia hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai
hasil penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi
filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang
membahas tentang kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain
hampir tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting
dalam filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat
hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak. Pada waktu membicarakan negeri
utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al-‘aql
al-fa’āl, meskipun
terbatas hanya pada orang tertentu.
Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua
jalan, yaitu: jalan fikiran dan jalan imajinasi (penghayalan), atau dengan
perkataan lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Sudah barang
tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al-‘aql al-fa’āl. Melainkan
hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam
gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran
yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan
orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri
utama yang dikonsepsikannya itu, akan tetapi di samping melalui pemikiran
hubungan dengan al-‘aql al-fa’āl bisa terjadi
dengan jalan imajinasi, dan keadaan ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan
wahyu yang disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh
imajinasi tersebut.
Dengan demikian maka al-Farabi telah
menyebutkan dua macam imajinasi, seperti yang disebutkan oleh sarjana-sarjana
psikologi modern, yaitu imagination creatrice (imajinasi pencipta), dan imagination
conservatrice (imajinasi penyimpang). Yang penting dalam hubungannya dengan
soal kenabian ialah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan
pembentukannya sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah,
maka soal kenabian dan kelanjutan-kelanjutannya bisa ditafsirkan pula
sebagaimana dimaklumi.[11]
Orang yang melihat hal sedemikian itu
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kebesaran yang agung dan mengagumkan, dan ia
melihat perkara-perkara ajaib yang tidak mungkin sama sekali terdapat pada alam
maujud. Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah mencapai akhir kesempurnaan,
maka tidak ada kalangannya pada waktu jaga untuk menerima dari al-‘aql
al-fa’āl
peristiwa-peristiwa sekarang atau peristiwa-peristiwa mendatang, atau
obyek-obyek inderawi yang merupakan salinannya. Ia dapat pula menerima
salinan-salinan dan obyek-obyek fikiran dan wujud-wujud lain yang mulia dan,
melihatnya pula. Dengan adanya penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut
mempunyai ramalan (Nubuwwah) terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah
tingkatan yang paling sempurna yang basa dicapai oleh kekuatan imajianasi dan
dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut Jadi ciri khas pertama seorang
nabi menurut al-Farabi, ialah bahwa ia mempunyai daya imajinasi yang kuat dan
memungkingkan dia dapat berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl, baik pada
waktu ia tidur maupun pada waktu ia jaga.
Dengan
imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan
kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu
tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al-‘aql al-fa’āl. Selain nabi
nabi-nabi ada orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan
nabi-nabi, dan oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl, kecuali pada
waktu tidur, dan kadang-kadang mereka sukar untuk dapat mengutarakan apa yang
diketahuinya. Adapun orang awam, maka imajinsinya lemah sekali dan tidak
sampai berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl baik di waktu
malam maupun di waktu siang.[12]
Demikianlah teori kenabian-kenabian dari
al-Farabi yang dipertalikan dengan soal-soal kemasyarakatan, dan kejiwaan,
seperti yang dikemukakannya dalam bukunya ‘Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
Menurut al-Farabi, nabi dan filosof adalah orang-orang yang pantas mengepalai
negeri utamanya, dimana kedua-duanya dapat berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl, yang menjadi
sumber syariat dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan tersebut. Perbedaan
antara kedua orang tersebut ialah hubungan nabi melalui imajinasi maka hubungan
filosof melalui pembahasan dan pemikiran.
d. Teori Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim
dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi
mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik.
Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara
yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang
pemikiran itu disentuh dengan nilai – nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini,
filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu
Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk
yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan
manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau
kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk
menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah
kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang
fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.[13]
Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di
masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke
dalam dua golongan masyarakat, yakni:
1.
Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah).
Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang
mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau
unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar,
maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh
pusatanya.[14]
Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian,
pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk
bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan
bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas
suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara
nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para
penghuni satu kota (negarakota). [15]
2.
Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’
laisa Kamilah).
Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah
masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan
sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini,
yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama
adalah, kategori yang pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’
al-Hikmah), yang mana jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap,
diibaratkan seperti satu anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu
organ tubuh sakit, maka tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula
anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda
kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib
dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai
dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama dalam filsafat politik atau
pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan
fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara dalam filsafat
politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa
dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan
sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta
pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi
dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.[16]
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai
warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di
antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya
mendekati martabat kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk
melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah
jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok
masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut, ada
sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan
begitu seterusnya sampai golongan terendah.[17]
Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah
memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran
filsafat yang ia kemukakan ini bersifat khayalan semata. Perlu dipahami bahwa
seorang filosof belum akan merasa puas dalam membicarakan sesuatu sebelum
sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya dengan
filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat atau teori
untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar manusia hidup dalam satu
pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga akhirat. Atas dasar ini
pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat pemerintahan al-Farabi
adalah untuk kebahagiaan hidup manusia. [18]
Al-Farbi juga berpandangan, yang paling ideal
sebagai Kepala Negara adalah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya
mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat
yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah
pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat
dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat
dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri
beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara
bersama harus bersatu memimpin masyarakat.[19]
Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan
bagaikan orang yang sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di
antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah
ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang
teratur di Negara itu. Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya
Negera yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini,
al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi
lima macam: pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya
memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat
tinggal. Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya
mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama),
yaitub Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja. Ketiga, Negeri
Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan
kekejian dan berfoya-foya. Keempat, Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara
yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.[20]
B.
IBN SINA
1. Riwayat Hidup
Ibnu Sina
Ibnu Sina memiliki nama lengkap: Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan
bin Ali bin Sina atau Avicenna. Pemakaian nama Avicenna berasal dari bahasa
Latin dan diadopsi oleh Barat.[21]
Ia dilahirkan dalam masa kekacauan, di mana khilafat al-Abbasiyah
mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan
khilafat tersebut, mulai melepaskan diri satu persatu. Kota Bagdad sendiri
sebagai pusat pemerintahan khilafat al-Abbasiyah dikuasai oleh golongan Bani
Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447
H.[22]
Menurut penjelasannya sendiri, Ibnu Sina dilahirkan di desa Afsyanah,
tidak jauh dari Bukhara, di Transoxiana (Persia Utara), di mana ayahnya yang
hidup dalam berbagai kebudayaan, tinggal bersama keluarganya. Beberapa saat
kemudian keluarga itu pindah ke Bukhara, tempat si pemuda Husain (Ibnu Sina)
menerima pengajaran pribadi dalam hal membaca, menulis, aritmatika,
yurisprudensi, dan logika. Di antara guru-gurunya Abu Abdullah al-Natili dan
Ismail seorang zahid yang disebut namanya. Minat Ibnu Sina terhadap filsafat
tampaknya telah berkembang sejak ia menyimak dan berdialog dengan guru mereka
itu. Tetapi, studi sistematikanya tentang logika dan kedokteran dimulai
beberapa saat kemudian.[23]
Ibnu Sina juga mahir dalam ilmu kedokteran. Ketika ia mencapai usia
tujuh belas tahun. Nuh bin Mansur, pengusaha daerah Bukhara menderita sakit
yang tidak bisa diobati oleh dokter-dokter pada masanya. Akan tetapi, setelah
Ibnu Sina mengobatinya maka ia sembuh. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan
yang baik sekali dari raja tersebut dan diberikan kesempatan mengunjungi
perpustakaannya yang dipenuhi dengan buku-buku yang sukar untuk ditemukan.
Pernah perpustakaan itu terbakar, dan orang-orang menuduh Ibnu Sina lah yang
telah sengaja membakarnya agar orang lain tidak dapat mengambil manfaat dari
sana.
Menjelang usia delapan belas tahun, ia telah menguasai logika, fisika,
dan matematika, sehingga tidak ada lagi yang tersisa baginya kecuali
metafisika. Setelah membaca metafisika Aristoteles sebanyak empat puluh kali,
ia masih belum dapat memahami apa yang dimaksud pengarang. Sampai secara
kebetulan ia menemukan sebuah salinan dari buku “Maksud-Maksud Metafisika
Aristoteles”, yang seketika itu juga memberi petunjuk padanya apa yang dimaksud
Aristoteles.
Dalam usia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia. Musibah ini menjadi
pukulan berat baginya, sehingga dengan berat hati meniggalkan Bukhara. Sejak
itu, dia sering melakukan perjalan ke beberapa daerah seperti Jurjan, Hamdzan,
dan Ishfahan.[24]
Ibnu Sina telah banyak mengarang buku antara lain: Al-Syifa’; al-Najat;
al-Isyarat wat Tanbihat; al-H}ikmat al-Syirgiyyah; dan al-Qanun
atau Canon of Mediciul.[25]
Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan.
Ia hidup penuh dengan kesibukan bekerja
dan mengarang, hingga kesenangan dan kepahitan hidup ia telah alami. Boleh jadi
keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak diobati lagi.
Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.[26]
2. Pemikiran-Pemikiran
Ibnu Sina
a. Tentang
Emanasi
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan
tauhid berangkat ke peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dan kaum sufi ke peniadaan
wujud selain dari wujud Allah swt., maka kaum filosof Islam yang dipelopori
al-Farabi, berangkat melalui paham
emanasi atau al-faid}. Lebih dari Mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi
berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan
berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur, maka dalam
pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat
paham tauhid tidak murni lagi.[27]
Menurut al-Farabi, Allah swt. menciptakan
alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam
semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang
zat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan
kata lain, berpikirnya Allah swt. tentang zat-Nya adalah sebab dari adanya alam
ini. Dalam arti bahwa Ia-lah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada.[28]
Berfikirnya Allah swt. tentang zat-Nya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah
ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-qudrah) yang
menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahui-Nya.
Untuk menjauhkan Tuhan dari arti banyak,
al-Farabi sebagai Plotinus, berpendapat bahwa alam ini memancar dari Tuhan
dengan melalui akal-akal yang jumlahnya sepuluh. Antara alam materi dan Tuhan
terdapat pengantara. Sedikit berbeda dengan al-Farabi, Ibnu Sina juga memiliki
filsafat Emanasi yang sama, namun bagi Ibnu Sina akal-akal itu melekat, dan
akal Kesepuluh yang mengatur bumi adalah Jibril.[29]
Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan
dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang
immateri dan dari-Nya-lah memancar segala yang ada. Ia berpendapat bahwa akal
pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujud-nya sebagai pancaran dari
Allah swt., dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya
atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence.
Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, diri-Nya sebagai wajib
wujud-Nya, dan diri-Nya sebagai mumkin wujud-Nya.[30]
Dari pemkiran tentang Tuhan, timbul akal-akal. Dari pemikiran tentang diri-Nya
sebagai wajib wujud-Nya, timbul jiwa-jiwa. Dari pemikiran tentang
diri-Nya sebagai mumkin wujud-Nya timbul lagit-langit.[31]
Dari Akal Pertama memancar Akal Kedua, jiwa,
dan Langit Pertama; dst. hingga Akal Kesepuluh, jiwa, dan bumi. Dari akal
kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan,
termasuk jiwa manusia. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal
Kesepuluh adalah Jibril.[32]
b. Filsafat Jiwa
Untuk membuktikan
adanya jiwa, Ibnu Sina mengajukan beberapa argumen, yakni (1) argumen
psikofsik, (2) argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis, (3) argumen
kontinuitas, dan (4) argumen manusia terbang di udara.[33]
Untuk
pembuktian pertama, Ibnu Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada gerak
terpaksa, yaitu gerak yang didorong unsur luar, dan gerak tidak terpaksa.
Gerak tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti
jatuhnya batu dari atas ke bawah, ada juga yang menentang hukum alam, seperti
manusia berjalan di kulit bumi ini. Menurut hukum alam manusia harus diam di
tempat karena mempunyai berat badan sama benda padat. Gerak yang menetang hukum
alam ini tentu ada penggerak tertentu di luar unsur tubuh itu sendiri. Inilah
yang dinamakan jiwa oleh Ibnu Sina.[34]
Untuk
pembuktian yang kedua, Ibnu Sina membedakan aku sebagai jiwa, badan sebagai
alat. Ketika seorang berkata, dia akan tidur, bukan ia pergi ke tempat tidur
atau memejamkan mata dan tidak menggerakkan anggota badan, tetapi adalah
seluruh pribadi yang merupakan aku. Aku dalam pandangan Ibnu Sina bukanlah
fenomena fisik, tetapi adalah jiwa dan kekuatannya. Kekuatan jiwa itu
menimbulkan fenomena yang berbeda-beda, seperti benci-cinta, susah-gembira,
menolak-menerima. Semua fenomena itu merupakan satu kesatuan, sebab kalau
saling bermusuhan tidak akan timbul keharmonisan. Karena itu, perlu jiwa untuk
mempersatukan fenomena jiwa yang berbeda tersebut supaya tinggal keserasian.
Kalau kesatuan itu lemah, lemah juga kehidupan, dan begitu juga sebaliknya.
Bila kesatuan fenomena psikologis mengharuskan adanya asal sebagai sumbernya,
tentu tidak bisa dielakkan bahwa jiwa itua ada.[35]
Dalam
pembuktian ketiga, Ibnu Sina mengatakan bahwa hidup rohaniah kita hari ini
berkaitan dengan hidup kita kemarin tanpa ada tidur atau kekosongan. Jadi,
hidup itu adalah berubah dalam satu untaian yang tidak putus-putus. Untuk
membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan daya ingat manusia tentang
masa-masa yang telah lewat, baik merupakan tingkah laku maupun merupakan
hal-ihwal sekelilingnya. Sebagai contoh Ibnu Sina membandingkan antara jiwa dan
badan. Badan kalau tidak diberi makan dalam waktu tertentu akan berkurang
beratnya karena badan mengalami penyusutan, sedangkan jiwa tetap berubah.
Dengan demikian jiwa berbeda dengan badan.[36]
Adapun
pembuktian keempat, Ibnu Sina mengatakan: andaikata ada seorang lahir dibekali
dengan kekuatan akal dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matanya
sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa yang ada disekelilingnya. Kemudian ia
diletakkan di udara dan diatur supaya tidak terjadi benturan dengan apa yang
ada disekelilingnya. Tanpa ragu-ragu orang tersebut akan mengatakan dirinya
ada. Pada saat itu boleh jadi ia tidak bisa menetapkan adanya badan dan anggota
badan, maka wujud yang digambarkan itu tidak mempunyai tempat. Kalau dia saat
melayang ia memperkirakan ada tangan atau kakinya, dia tidak mengira apakah itu
tangan atau kakinya. Dengan demikian penetapan tentang wujud dirinya tidak
timbul dari indera melainkan dari sumber yang berbeda sama sekali dengan badan,
yaitu jiwa.[37]
Ibnu Sina
membagi jiwa dalam tiga bagian, yaitu :
1.
Jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nabatiyah)
dengan daya-daya :
a.
Makan (nutrition).
b.
Tumbuh (growth).
c.
Berkembang biak (reproduction).
2.
Jiwa binatang (al-hayawaniyah) dengan
daya-daya :
a.
Gerak (locomotion).
b.
Menangkap (perception), dengan dua
bagian :
1)
Menangkap dari luar dengan panca indera.
2)
Menangkap dari dalam dengan indera-indera
dalam.
a) Indera bersama
yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
b) Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
c) Imaginasi yang
dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi.
d) Estimasi yang
dapat menangkap hal-hal abstraks yang terlepas dari materi, umpamanya keharusan
lari bagi kambing dari anjing serigala.
e) Rekoleksi yang
menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3.
Jiwa manusia, dengan dua daya :
a)
Praktis yang hubungannya dengan badan dan
materi.
b)
Teoritis yang hubungannya adalah dengan
hal-hal yang abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
1)
Akal materil yang semata-mata mempunyai
potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
2)
Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berpikir
tentang hal-hal abstrak.
3)
Akal actuil, yang telah dapat berpikir
tentang hal-hal abstrak.
4)
Akal mustafad} yaitu akal yang telah
sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[38]
Sifat
seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan,
binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan
kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan
satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia
timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa,
lahir di dunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi
fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya
sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada
permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir.[39]
c. Filsafat
Kenabian
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi
merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam
empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio-politis.
Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang
motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.[40]
Akal manusia
terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal
mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah
akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil
yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi.
Daya yang ada pada akal materiil begitu besar, sehingga tanpa melalui latihan,
dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya
pada nabi dan rasul.[41]
Nabi Muhammad
memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi, yaitu memiliki
imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga
ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh
materi pada umumnya. Nabi juga harus mampu melontarkan suatu sistem
sosial-politik. Dengan kualitas imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran
nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah
kebenaran-kebanaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan
simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau
membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga mendorong untuk berbuat
sesuatu.[42]
d. Teori Wujud
Bagi Ibnu Sina
sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas segala
sifat lain, walaupun dengan essensi sendiri. Essensi, dalam paham Ibnu Sina
terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat
tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud,
essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu, wujud lebih penting dari essensi.
Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu
menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisme dari filosof-filosof
lain.[43]
Kalau
dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1. Essensi yang
tak dapat mempunyai wujud. Hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’
yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2. Essensi yang
boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini
disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula
tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian
ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3. Essensi yang
tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini essensi tidak bisa dipisahkan
dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak
dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan
essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud
selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib
al-wujud inilah yang mewujudkan mumkin al-wujud.[44]
Dalam
pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina
terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadis|)
dan qadim. Karena dalil mereka tentang wujud Allah swt. didasarkan pada
pembedaan-pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang
berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh
zaman, di mana Allah swt. tidak berbuat apa-apa. Pendirian ini mengakibatkan
lumpuhnya kemurahan Allah swt. pada zaman yang mendahului alam mahluk ini,
sehingga Allah swt. tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak qadim dan tidak mesti wajib.[45]
Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak
mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin,
bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah
swt. sejak qadim, sebelum zaman.[46]
Dari pendapat
tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran
Ibnu Sina. Sebagaimana yang disebutkan para mutakallimin antara qadim
dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam
menurut kehendak-Nya. Sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung
pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk di bawah “kemestian”, sehingga
perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim. “Perbuatan Ilahi” dalam
pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam empat (4) catatan sebagai berikut :[47]
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (gairu
mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada
lagi yang baharu. Dalam kitab Al-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata, “yang wajib
wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak
terdapat wujud lain (wujud muntazar) dari wujud-Nya, bahkan semua yang mumkin
menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak
ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru, dan tidak ada suatu sifat
zat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah swt. telah selesai dan sempurna
sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina,
seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah swt. sesudah diciptakan.[48]
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan
apapun. Seakan-akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh
Ibnu Sina sebagai hakikat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena
tidak ada tujuan sama sekali. Ketiga, manakala perbuatan Allah swt.
telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan
“hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan
kehendak bebas.[49]
Yang
dimaksudkan dalam catatan ketiga ini, yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang
paling rendah kepada Allah swt. karena sejak semula ia menggambarkan
“kemestian” pada Allah swt. dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah
Allah swt. sesudah itu menjadi sia-sia, karena iradah itu tidak lagi
bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian
dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi
kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih-lebih lagi pada
zat-Nya. Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk
tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama,
seperti: sudur (keluar), atau faid (melimpah), atau luzum
(mesti), atau wujub ‘anhu (wajib darinya). Nama-nama ini dipakai oleh
Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia
berada di persimpangan jalan antara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab
pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama, dengan konsep Tuhan
sebagai sebab tujuan (Illah gaiyyah) yang berperan sebagai pemberi
kepada materi, sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh
kesempurnaan.[50]
Dalam empat
catatan tersebut, para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami
bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab
pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemungkinan Ibnu Sina menggunakan konsep
kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan”
semata. Semua makhluk merindukan Tuhan dan bergerak ke arah-Nya seperti yang
terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam
dengan Tuhan.[51]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Al- Farabi Nama lengkapnya ialah Abu Nasr
Muhammad bin Muhammad Tarkhan al-Uzdag ibn Awzalagh al-Farabi. Ia dilahirkan di
desa Wasij, suatu distrik kota Farab, yang termasuk wilayah kekuasaan Turki,
namun terletak di dekat perbatasan dengan Persi (Khurasan). Ayahnya menikah
dengan wanita Turki dan merupakan seorang jendral komando tentara Mesir dan
pernah menjadi seorang hakim dan ibunya berkebangsaan Turki. Kepribadian
al-Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar dalam berolah kata, tutur
bahasa, ia mempuyai kecakapan luar biasa.ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M)
dan meninggal dalam usia 80 tahun. Al-Farabi dengan teori
emanasinya mengemukakan bahwa alam ini terjadi karena limpahan yang esa dan
wujud pertama, akal pertama pun melimpah sehingga muncul akal kedua, begitu
seterusnya sampai pada akal kesepuluh. Al-Farabi
memandang setiap spesies tumbuhan, binatang dan manusia memiliki jiwa dan dapat
mengaktual menjadi daya-daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan melalui
alat-alat tubuh dan jiwa manusia memiliki kelebihan yaitu potensi yang dapat
mengaktual menjadi daya untuk berbuat tapi tidak dengan alat tubuh dan itulah
akal.bila akal potensial telah ada secara aktual pada jiwa seseorang maka ia
berarti sudah memiliki kesempurnaan pertama sebagai manusia. Teori
kenabian al-farabi mengemukakan bahwa pengetahuan filosof tidak bertentangan
dengan pengetahuan nabi karena keduanya bersumber dari akal fa’al yang sama
berbeda dengan caranya. Kalau nabi berkomunikasi dengan akal fa’al dengan
menggunakan kekuatan imajinasi sedangkan filosof dengan akal mustafad.
Al-Madhinah al-fadhilah bagi al-farabi ibarat tubuh manusia yang sehat semua
anggota badannya bekerja sama sesuai dengan tugasnya masng-masing yang
berkordinasi secara rapi demi kesempurnaan hidup tubuh.
2. Ibnu Sina
memiliki nama lengkap: Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina
atau Avicenna. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, tidak jauh dari Bukhara, di
Transoxiana (Persia Utara), di mana ayahnya yang hidup dalam berbagai
kebudayaan, tinggal bersama keluarganya. Beberapa saat kemudian keluarga itu
pindah ke Bukhara, tempat si pemuda Husain (Ibnu Sina) menerima pengajaran
pribadi dalam hal membaca, menulis, aritmatika, yurisprudensi, dan logika. Di
antara guru-gurunya Abu Abdullah al-Natili dan Ismail seorang zahid yang
disebut namanya. Minat Ibnu Sina terhadap filsafat tampaknya telah berkembang
sejak ia menyimak dan berdialog dengan guru mereka itu. Tetapi, studi
sistematikanya tentang logika dan kedokteran dimulai beberapa saat kemudian. Ibnu Sina sebagai filosof berkesimpulan
bahwa alam semesta ini diciptakan Allah melalui dengan jalan emanasi
(pancaran). Adapun proses penciptaan tersebut, ketika Allah wujud (bukan dari
tiada) sebagai akal langsung memikirkan (bertaaqqul) terhadap zat-Nya yang
menjadi objek pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama
ini, memancar akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama. Demikian seterusnya
samapai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan
akal sejenisnya, dan hanya dapat menghasilkan jiwa ke sepuluh, bumi, roh,
materi pertama yang menjadi dasar bagi ke empat unsur pokok yaitu, air, udara,
api, dan tanah. Akal ke sepuluh ini dinamakan juga dengan aktif
intelligence, yang langsung berkaitan dengan kejadian di bumi. Ia
memproduksi materi pertama (bayula) yang pasif dan tidak berbentuk,
tetapi ia menjadi basis dari empat elemen dari mana semua mahluk diciptakan.
Sehingga Ibnu Sina berkesimpulan bahwa alam ini qadim dari segi zaman, namun
baharu dari segi esensi. Menurut Ibnu Sina, antara jiwa/roh berbeda dengan
jasad dan masing-masing mempunyai unit yang berdiri sendiri. Namun demikian,
keduanya saling membutuhkan. Jiwa/roh berhajat kepada jasad dalam rangka
mencapai kesempurnaannya, sementara jasad membutuhkan jiwa/roh untuk
kelangsungan hidupnya. Jiwa menurut Ibnu Sina, terdiri atas tiga bagian yaitu
jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan atau binatang, dan jiwa manusia. Jiwa manusia
merupakan jiwa tertinggi dibanding dengan jiwa-jiwa yang lainnya, karena
apabila jiwa ini yang mengotrol atau mengendalikan jasad, maka manusia menjadi
mulia. Sebaliknya apabila jasad
dikontrol atau dikendalikan oleh
jiwa hewan atau tumbuh-tumbuhan, manusia akan menjadi hina layaknya seperti
binatang. Dalam konsep
kenabian, Ibnu Sina mengemukakan bahwa ada wujud yang berdiri sendiri dan ada
pula yang tidak berdiri sendiri dan wujud pada posisi pertama lebih unggul dari
pada posisi kedua. Lebih tegas ia menjelaskan bahwa keunggulan nabi dan rasul
serta ketinggian derajat mereka dibandingkan para filosof. Ibnu
Sina membagi wujud segala yang ada menjadi tiga tingkatan yaitu; wajib
al-wujud, mumkin al-wujud, dan mumtani’ al-wujud. Dengan dasar ini, Ibnu
Sina dalam membuktikan tentang adanya wujud Tuhan tidak membutuhkan dalil
dengan salah satu mahluk, tetapi cukup dengan dalil wajib al-wujud saja.
Menurut Ibnu Sina, semua wujud yang ada kecuali tuhan (Allah SWT) adalah
mumkin al-wujud dan mumtani’ al-wujud.
DAFTAR PUSTAKA
al-Farabi. Al-Da’awi al-Qalbiyyah. Haidarabad: Dar al-Ma’arif
al-Usmaniyah, 1349 H.
Al-Farabi, Ara
Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t.
Al-Jauharai, Imam Khanafi, Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban
Tuhan di Pentas Globa, Cet. I: Yogyakarta: ITTAQA Press, 1999
Bakar, Osman, Hirarki Ilmu Membangun Rangka Fikir Islamisasi Ilmu
Menurut al- Farabi, al-Ghazali Quthb al-din al-Syirazi. Bandung: Mizan,
1997.
Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid. III. Cet. IX; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Echols, Jonh dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1976.
Ghalib, Mustafa. Ibnu Sina. Tt. Dar
Maktabah wa al-Hilal, 1996.
Hana al-Fakhury dan Khalil al-Jarr. Tarikh
al Falsafah al-Arabiyyah. Cet. 2; Beirut: Mu’assasah li al-T}aba’at wa
al-Nasyr, 1963.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat
Islam. Cet. 6, Jakarta: Bulan Bintang , 1996
Hoesain, Oemar Amin. Filsafat Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1964.
Hossein Nasr, Seyyed, Islamic
Conception Of Intellectual Life,
Charles Scribner's Sons: New York, 1973-1974
Madkour, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyah
Manhaj wa Tatbiq, terj. Yudian Wahyudi Amin, Aliran dan Teori Filsafat
Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Nasr, Sayyid Husain. Theology,
Philososphy adn Sprituality. Terj. Suharsono,
Djamaluddin MZ, Intelektual Islam;
Teologi, Filsafat dan Gnosis. Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari
berbagai Aspeknya, jil. II, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
_______. Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet.
IV; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat
Islam, Bandung: Rosdakarya, 1988.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; ajaran,
sejarah dan pemikiran, Cet. V, Jakarta: UI Perss, 1993.
Syarif, M.M. Para Filosof Muslim.
Bandung: Mizan, 1994.
Sudarsono, Drs, SH, M.Si. Filsafat Islam.
Jakarta: PT. Rineka Cipta, tt.
---------- Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1976.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosuf & Filsafatnya.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2012
Artikel internet.
http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm#_ftn40 diakses pada 03 Mei 2015
http://annur01.wordpress.com/ .diakses pada 03 Mei 2015.
www. Google, Teori
Al-Kindi dalam Menemukan Filfafat dan Agama. diakses pada 03 Mei 2015.
[1]Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiq, terj.
Yudian Wahyudi Amin, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta:
Bumi Aksara, 1995), h. 244.
[4] Imam Khanafi al-Jauharai, Hermeneutika
Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global (Cet. I: Yogyakarta:
ITTAQA Press, 1999), h. 53
[5]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1994), h. 101.
[6]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, h. 101.
[8] Hana al-Fakhury dan Khalil al-Jarr, Tarikh
al-Falsafa>t al-‘Arabiyya>t
(Cet. II; Beirut: Mu’assasah li al-Thaba’a>t wa al-Nasyr, 1963), h.
384.
[10]. Sudarsono, Filsafat
Islam (Cet. II; Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2004). h. 137-139.
[13] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara;
ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss, 1993), hal. 51
[16] http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-ar-farabi-dan-pemikiran.html yang dikutip dalam Al-Farabi, Ara
Ahl al-Madinah al-Fadhilah, (Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t),
hlm. 74
[21]Sudarsono, Filsafat Islam (cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997),
h. 41.
[22] Sudarsono, Filsafat
Islam h. 40. Mengenai
waktu kelahiran beliau menjadi perdebatan para ahli sejarah. Pendapat yang
terkuat menyebutkan ia lahir pada bulan Safar 370 H.
[24]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (cet: IV; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005), h. 28.
[26]Sudarsono, filsafat Ilmu., h. 41. Bandingkan Hasyimsyah Nasution,
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam h. 28.
[27]Harun Nasution, Islam Rasional (Jakarta: Mizan, tt.h), h. 44.
[28]Al-Farabi, Al-Da’awi al-Qalbiyyah
(Haidarabad: Da>r al-Ma’a>rif al-Us\maniyah, 1349 H), h. 3-4.
[29]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jil. II
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), h. 60.
[30]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 34.
[31]Mustafa Galib, Ibnu Sina (tt.:Dar al-Maktabah wa al-Hilal, 1979),
h. 46.
[32]Hasyimsyah Nasution, hal. 28.
[38]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., h. 61-63.
[39]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., h. 61-63.
[41]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., h. 64.
[43]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 39.
[44] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme
dalam Islam, h. 40.
[45]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi
dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 42.
[46]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi
dalam Islam, h. 42.
[47]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi
dalam Islam, h. 42.. Lihat juga: http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm#_ftn40 (03/ 05/2015)
[48]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42.. Lihat
juga: http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm#_ftn40 (03/ 05/2015
[49]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42
[50]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42
[51]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42