Sabtu, 21 Januari 2017

AL- FARABI dan IBNU SINA

AL- FARABI dan IBNU SINA

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Filsafat Islam memecahkan problematika-problematika besar tradisional –yakni, problematika Tuhan, alam dan manusia. Ia memberikan pandangan detail tentang semua ini dengan terpengaruh oleh lingkungan dan kondisi yang melingkupinya. Di samping memanfaatkan kajian-kajian filosofis sebelumnya yang sampai kepadanya, baik itu dari Timur maupun dari Barat. Ia sampai pada sekelompok pendapat yang jika berbeda dalam rinciannya disebabkan oleh perbedaan tokoh-tokohnya, karena ia bertemu dalam aliran universal dan teori-teori milik bersama.[1]
Sejalan dengan perkembangan sejarah agama Islam, pemikir-pemikir atau tokoh dalam Sejarah Islam mulai muncul antara lain al-Farabi, al-Kindi,. Pembahasan kedua tokoh tersebut mengenai riwayat hidup dan pandangan-pandangannya tentang emanasi, jiwa, nabi, wujud dan lain sebagainya. 
Berbicara tentang sejarah, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa sejarah bersifat filosofis, ilmiah dan kritis. Sejarah bukanlah sekedar narasi yang hanya mengungkapkan keberadaan raja-raja dan menghiburnya, tetapi lebih jauh merupakan pencerminan struktur politik, ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat di katakana bahwa sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau nrgara-negara tentang pasang surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kesatuan organik, tetapi juga menentukan sesuatu yang akan datang[2].
          Pemikiran-pemikiran Filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam, mengingat Islam bukan hanya sekedar agama tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat sudah barang tentu terpengaruh dengan kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya. Karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan[3].
Untuk memahami realitas di balik filsafat, manusia seharusnya menggunakan potensi akal pikirannya untuk memecahkan apa-apa yang ada dalam filsafat, dengan mengaitkan sebuah realitas dengan realitas lainnya, berdasar sebuah prinsip fundamental tentang kesatuan dan keseluruhan yang merupakan kunci dari setiap pemikiran dan tindakan dalam Islam. Dalam hal ini pemikiran merupakan keniscayaan dan suatu kewajiban[4].
Berdasarkan pendapat Ibn Miskawaih di atas, al-Farabi, al-Kindi maupun Ibn Sina termasuk tokoh-tokoh Filsafat Islam yang memiliki beraneka ragam pemikiran tentang kejadian-kejadian atau objek berbagai ilmu pengetahuan.
Al-Farabi menjadi besar di mata dunia, terutama di dunia Eropa. Bukan saja lantaran kemampuan di bidang filsafat, akan tetapi karena ilmu logika ( mantik ) dan metafisika, selain dari  itu, ia pun mempuyai aliran sendiri dalam ilmu filsafat politik.
Karangan “Tendensi Filsafat Plato dan Aristoteles” uraiannya tentang etika berjudul “al-Sirah al-Fasilah” yang merupakan sebagian dari hasil karyanya dan yang lebih luas dan lebih besar berjudul “Mabadi’ al-Maujudad”, memperlihatkan sifat inteleknya yang serba segi.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal begitu unik. Sedangkan di antara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu- satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.[5]
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu, menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.[6]
Pemikiran – pemikiran al- Farabi dan Ibn Sina tentang emanasi/ al-faydh, filsafat jiwa, filsafat kenabian, dan teori politik bagi al-Farabi dan teori wujud bagi Ibn Sina menarik kita kaji untuk menambah wawasan cakrawala berfikiran kita dalam pemikiran filsafat.
A.  Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, maka yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam makalah ini, adalah:
1.      Bagaimana biografi al-Farabi, pemikiran, dan apa saja karya-karyanya?
2.      Bagaimana biografi Ibn Sina, pemikiran, dan apa saja karya-karyanya?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    AL-FARABI
1.     Riwayat Hidup dan Karya-karya Al-Farabi
Nama lengkapnya ialah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan al-Uzdag ibn Awzalagh al-Farabi. Ia dilahirkan di desa Wasij, suatu distrik kota Farab, yang termasuk wilayah kekuasaan Turki, namun terletak di dekat perbatasan dengan Persi (Khurasan). Ayahnya menikah dengan wanita Turki dan merupakan seorang jendral komando tentara Mesir dan pernah menjadi seorang hakim dan ibunya berkebangsaan Turki. Kepribadian al-Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar dalam berolah kata, tutur bahasa, ia mempuyai kecakapan luar biasa.
Al-Farabi dilahirkan pada tahun 257 H (870 M) dan meninggal dalam usia 80 tahun, yaitu pada bulan Desember 950 M ketika dalam perjalanannya menuju Damaskus. Dalam bahasa latin ia dikenal dengan: Alfarabius atau Avennasar, seorang filosof Islam terbesar. Ia dijuluki sebagai “The Second Master” (Guru Kedua=al-Mu’allimus al-sani), sedangkan “The First Master” disandang oleh Aristoteles. Ibn Khaldun menempatkannya diatas Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Disebut Farabi karena kelahirannya di Farrab, yang juga di sebut kampung Utrar. Dahulu masuk daerah Iran, akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republik Uzbekistan, dalam daerah Turkistan, Rusia.[7]
Al-Farabi waktu masih mudanya, telah berjalan meninggalkan kampung halaman tercintanya yaitu Farrab demi mencari ilmu pengetahuan. Kemudian ia sampai di Baghdad. Di sana ia belajar tentang ilmu bahasa Arab, dan kemudian ia meneruskan pelajaran tentang ilmu logika pada Abu Basyar Matta, putra Yunus. Untuk memperoleh ilmu filsafat, ia pergi ke Harran, dan di sana ia menjadi murid Yuhahhan Ibn Khailan, ia juga sangat tertarik akan ilmu – ilmu Aristoteles, yang di berikan oleh Yuhanna, buku Anima dibacanya sampai dua ratus kali, berulang ulang dan buku Phisica, dibacanya sampai empat puluh kali.
Kemudian ia mengembara di sepanjang jalan raya Suria, Mesir dan akhirnya ia sampai ke Damaskus, dalam keadaan miskin. Di Damaskus, ia mendapatkan pekerjaan sebagai tukang jaga kebun, pada malam hari. Kemudia kesungguhan dan ketekunanya dalam belajar terdengar oleh pangeran Saiful Daulah. Sebagai pangeran Damaskus dikala itu, ia memberikan bantuan kepada al-Farabi empat dirham sehari. Al-Farabi merasa puas dengan bantuan yang sedikit ini dan dengan inilah ia belajar, mengajar, mengarang, dan lain–lain. Dalam dunia kesusastraan al-Farabi memperdalam semua ilmu yang telah di selidiki al–Kindi, Sehinga tidaklah heran jika paham filsafatnya tidak jauh berbeda dengan filsafatnya al-Kindi. Perbedaannya hanyalah, bila al-Farabi cenderung kepada sufi ( tasawwuf ) sedangkan Al-Kindi tidak. Al-Farabi menjadi besar di mata dunia, terutama di dunia Eropa. Bukan saja lantaran kemampuan di bidang filsafat, akan tetapi karena ilmu logika ( mantik ) dan metafisika, selain dari  itu, ia pun mempuyai aliran sendiri dalam ilmu filsafat politik.
Karangan “Tendensi Filsafat Plato dan Aristoteles” uraiannya tentang etika berjudul “al-Sirah al-Fasilah” yang merupakan sebagian dari hasil karyanya dan yang lebih luas dan lebih besar berjudul “Mabadi’ al-Maujudad”, memperlihatkan sifat inteleknya yang serba segi. Dan al-Farabi meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa karya–karyanya yang agung pada usia 80 tahun di damaskus pada bulan Desember 950 M.
Karya al-Farabi dituangkan dalam 60 karangan utuh, 17 komentar dan 25 risalah. Masalah yang dibahas menyangkut macam-macam cabang ilmu. 14 buah ilmu politik, 43 buah tentang ilmu logika, 11 buah tentang ilmu musik. 10 buah membicarakan ilmu fisika meliputi kimia dan kedokteran. Sedangkan 11 buah mengungkapkan tentang rahasia-rahasia ketuhanan/teologi. Menurut Ensiklopedia Britanica keahliannya dalam bidang matematika, fisika, kedokteran, filsafat dan tasawuf sama kuatnya dengan bidang ilmu budaya termasuk musik. Dalam hal ini penganutnya antara lain, Vincent of Beauvais (1190-1264 M), Jerome of Moravvia dan Raymond Lull, sebagaimana tersirat dalam bukunya Specu1um Doktrinal.
Beberapa karya Al-Farabi yang terkenal antara lain:
1. Maqalah fi Agradi ma Ba’da al-Tabi’ah
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi al-‘Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masa’il al-Mutafarriqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbah al-Mufarraqat
2.    Pemikiran – Pemikiran Al- Farabi
a.    Teori Emanasi (al-Faydh)
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori emanasi disebut juga teori urut-urutan wujud”[8]. Menurut teori emanasi al-Farabi disebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja. Emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Dzat-Nya satu, kalau apa yang keluar itu pun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.[9]
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal Pertama, mengandung dua segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (al-tabi’ah al-wahiyyah) yaitu wujud yang mumkin. Kedua segi lain yaitu wujudnya yang nyata yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang menjadikan. Sekalipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama. Dari pemikiran Akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh (al-sama’ al-ula ‘al­a al-a’la) dengan jiwanya sama sekali jiwa langit tersebut. Jadi dari dua obyek pengetahuan yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu bendanya benda langit dan jiwanya
Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-Kawakib al-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama.
Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (al-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (al-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya. Dari Akal Kesepuluh sesuai dengan dua seginya yaitu wajib al-wujud, karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya. Dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah empat unsur dengan perantaraan benda-benda langit. Dan di akal ke X ini dayanya sudah lemah sehingga sudah tidak bisa menghasilkan akal yang sejenisnya.
Jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh, hal ini sesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan di mana untuk tiap-tiap ­akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan.
Struktur Emanasi al-Faraby saat itu dipengaruhi oleh temuan saintis yang pada saat itu jumlah bintang adalah sembilan, karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al-Farabi menambah dua lagi yaitu benda yang terjauh (al-falak al-aqsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah), yang diambil dari Ptolomey (atau Caldius Ptolomaeus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad ke dua Masehi.
Demikianlah, maka jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya mengurus benda-benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh yaitu Bulan mengawasi dan mengurangi kehidupan di bumi. Akal-akal tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu obyek pemikiran yaitu Dzat-Nya, maka pada akal-akal tersebut terdapat dua obyek pemikiran, yaitu Dzat yang wajibul-wujud dan diri akal-akal itu senditi.[10]
Namun menurut hemat penulis, sekiranya al-Faraby hidup di jaman ini maka tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal, sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang.
Untuk lebih jelasnya penulis membuatkan tabel Teori Emanasi oleh al-Farabi:




Tabel Teori Emanasi oleh Al Faraby
(Subyek)
Akal yang ke-
Sifat
Berpikir Tentang
Keterangan
Allah Sebagai Wajib Al Wujud, Menghasilkan
Dirinya sendiri sebagai Mumkin Al Wujud, Menghasilkan

I
Mumkin Wujud
Akal    II
Langit Pertama
Masing-Masing akan mengurusi Satu Planet
II
Sda
Akal  III
Bintang-bintang
III
Sda
Akal  IV
Saturnus
IV
Sda
Akal    V
Yupiter
V
Sda
Akal  VI
Mars
VI
Sda
Akal VII
Matahari
VII
Sda
Akal VIII
Venus
VIII
Sda
Akal  IX
Merkurius
IX
Sda
Akal   X
Bulan
X
Sda


Bumi, Roh, Materi pertama yang menjadi keempat unsur: Udara, Air, Api, Tanah.
Akal ke X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya, Karena kekuatannya sudah lemah
b.     Filsafat Jiwa
Adapun tentang jiwa, al-Farabi dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan kebadan yang lain.
Jiwa manusia sebagaimana halnya materi asal memancar dari akal kesepuluh. kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda, dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang beruap, berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Jiwa–jiwa manusia mempuyai daya, sebagai berikut:
1. Daya gerak seperti makan, memelihara dan berkembang.
2. Daya mengetahui yaitu merasa, imaginasi.
3. Daya berfikir yakni: Akal praktis dan teoritis
Daya teoritis terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
  Akal Potensial; baru mempuyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti   atau bentuk–bentuk dari meterinya.
  Akal Aktual; telah dapat melepaskan arti–arti dari materinya, dan arti–arti itu telah mempuyai wujud akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk aktua.
  Akal Mustafad; telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal.
c.    Filsafat Kenabian
Dalam suasana penuh perdebatan tentang kenabian muncullah al-Farabi, ia merasa bahwa dirinya harus mengambil bagian, apalagi ia hidup semasa dengan Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakar ar-Razi. Sebagai hasil penggabungannya dengan filsafat yang merupakan kegiatan utama bagi filosof-filosof Islam, maka al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang membahas tentang kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain hampir tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak. Pada waktu membicarakan negeri utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.
Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua jalan, yaitu: jalan fikiran dan jalan imajinasi (penghayalan), atau dengan perkataan lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Sudah barang tentu tidak semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al-‘aql al-fa’āl. Melainkan hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama yang dikonsepsikannya itu, akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan dengan al-‘aql al-fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
Dengan demikian maka al-Farabi telah menyebutkan dua macam imajinasi, seperti yang disebutkan oleh sarjana-sarjana psikologi modern, yaitu imagination creatrice (imajinasi pencipta), dan imagination conservatrice (imajinasi penyimpang). Yang penting dalam hubungannya dengan soal kenabian ialah bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya sebab apabila soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutan-kelanjutannya bisa ditafsirkan pula sebagaimana dimaklumi.[11]
Orang yang melihat hal sedemikian itu mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kebesaran yang agung dan mengagumkan, dan ia melihat perkara-perkara ajaib yang tidak mungkin sama sekali terdapat pada alam maujud. Apabila kekuatan imajinasi seseorang telah mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada kalangannya pada waktu jaga untuk menerima dari al-‘aql al-fa’āl peristiwa-peristiwa sekarang atau peristiwa-peristiwa mendatang, atau obyek-obyek inderawi yang merupakan salinannya. Ia dapat pula menerima salinan-salinan dan obyek-obyek fikiran dan wujud-wujud lain yang mulia dan, melihatnya pula. Dengan adanya penerimaan-penerimaan itu maka orang tersebut mempunyai ramalan (Nubuwwah) terhadap perkara-perkara ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang basa dicapai oleh kekuatan imajianasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut Jadi ciri khas pertama seorang nabi menurut al-Farabi, ialah bahwa ia mempunyai daya imajinasi yang kuat dan memungkingkan dia dapat berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia jaga.
 Dengan imajinasi tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Tuhan melalui al-‘aql al-fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl, kecuali pada waktu tidur, dan kadang-kadang mereka sukar untuk dapat mengutarakan apa yang diketahuinya.  Adapun orang awam, maka imajinsinya lemah sekali dan tidak sampai berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl baik di waktu malam maupun di waktu siang.[12]
Demikianlah teori kenabian-kenabian dari al-Farabi yang dipertalikan dengan soal-soal kemasyarakatan, dan kejiwaan, seperti yang dikemukakannya dalam bukunya ‘Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah Menurut al-Farabi, nabi dan filosof adalah orang-orang yang pantas mengepalai negeri utamanya, dimana kedua-duanya dapat berhubungan dengan al-‘aql al-fa’āl, yang menjadi sumber syariat dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan tersebut. Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah hubungan nabi melalui imajinasi maka hubungan filosof melalui pembahasan dan pemikiran.
d.    Teori Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai – nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.[13] Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
1.      Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah).
Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.[14] Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negarakota). [15]
2.      Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah).
Masyarakat yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.[16]
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan).  Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.[17]
Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat khayalan semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof belum akan merasa puas dalam membicarakan sesuatu sebelum sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat atau teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar manusia hidup dalam satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat pemerintahan al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia. [18]
Al-Farbi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara adalah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat.[19]
Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu. Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negera yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam: pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja. Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat, Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.[20]
B.   IBN SINA
1.    Riwayat Hidup Ibnu Sina
Ibnu Sina memiliki nama lengkap: Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina atau Avicenna. Pemakaian nama Avicenna berasal dari bahasa Latin dan diadopsi oleh Barat.[21]
Ia dilahirkan dalam masa kekacauan, di mana khilafat al-Abbasiyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafat tersebut, mulai melepaskan diri satu persatu. Kota Bagdad sendiri sebagai pusat pemerintahan khilafat al-Abbasiyah dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.[22]
Menurut penjelasannya sendiri, Ibnu Sina dilahirkan di desa Afsyanah, tidak jauh dari Bukhara, di Transoxiana (Persia Utara), di mana ayahnya yang hidup dalam berbagai kebudayaan, tinggal bersama keluarganya. Beberapa saat kemudian keluarga itu pindah ke Bukhara, tempat si pemuda Husain (Ibnu Sina) menerima pengajaran pribadi dalam hal membaca, menulis, aritmatika, yurisprudensi, dan logika. Di antara guru-gurunya Abu Abdullah al-Natili dan Ismail seorang zahid yang disebut namanya. Minat Ibnu Sina terhadap filsafat tampaknya telah berkembang sejak ia menyimak dan berdialog dengan guru mereka itu. Tetapi, studi sistematikanya tentang logika dan kedokteran dimulai beberapa saat kemudian.[23]
Ibnu Sina juga mahir dalam ilmu kedokteran. Ketika ia mencapai usia tujuh belas tahun. Nuh bin Mansur, pengusaha daerah Bukhara menderita sakit yang tidak bisa diobati oleh dokter-dokter pada masanya. Akan tetapi, setelah Ibnu Sina mengobatinya maka ia sembuh. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan yang baik sekali dari raja tersebut dan diberikan kesempatan mengunjungi perpustakaannya yang dipenuhi dengan buku-buku yang sukar untuk ditemukan. Pernah perpustakaan itu terbakar, dan orang-orang menuduh Ibnu Sina lah yang telah sengaja membakarnya agar orang lain tidak dapat mengambil manfaat dari sana.
Menjelang usia delapan belas tahun, ia telah menguasai logika, fisika, dan matematika, sehingga tidak ada lagi yang tersisa baginya kecuali metafisika. Setelah membaca metafisika Aristoteles sebanyak empat puluh kali, ia masih belum dapat memahami apa yang dimaksud pengarang. Sampai secara kebetulan ia menemukan sebuah salinan dari buku “Maksud-Maksud Metafisika Aristoteles”, yang seketika itu juga memberi petunjuk padanya apa yang dimaksud Aristoteles.
Dalam usia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya, sehingga dengan berat hati meniggalkan Bukhara. Sejak itu, dia sering melakukan perjalan ke beberapa daerah seperti Jurjan, Hamdzan, dan Ishfahan.[24] 
Ibnu Sina telah banyak mengarang buku antara lain: Al-Syifa’; al-Najat; al-Isyarat wat Tanbihat; al-H}ikmat al-Syirgiyyah; dan al-Qanun atau Canon of Mediciul.[25]
Pada akhir hayatnya ia menjadi guru filsafat dan dokter di Ishfahan. Ia  hidup penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang, hingga kesenangan dan kepahitan hidup ia telah alami. Boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.[26]
2.    Pemikiran-Pemikiran Ibnu Sina
a.    Tentang Emanasi
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid berangkat ke peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt., maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, berangkat melalui  paham emanasi atau al-faid}. Lebih dari Mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat paham tauhid tidak murni lagi.[27]
Menurut al-Farabi, Allah swt. menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang zat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt. tentang zat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa Ia-lah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada.[28] Berfikirnya Allah swt. tentang zat-Nya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahui-Nya.
Untuk menjauhkan Tuhan dari arti banyak, al-Farabi sebagai Plotinus, berpendapat bahwa alam ini memancar dari Tuhan dengan melalui akal-akal yang jumlahnya sepuluh. Antara alam materi dan Tuhan terdapat pengantara. Sedikit berbeda dengan al-Farabi, Ibnu Sina juga memiliki filsafat Emanasi yang sama, namun bagi Ibnu Sina akal-akal itu melekat, dan akal Kesepuluh yang mengatur bumi adalah Jibril.[29]
Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dari-Nya-lah memancar segala yang ada. Ia berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujud-nya sebagai pancaran dari Allah swt., dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, diri-Nya sebagai wajib wujud-Nya, dan diri-Nya sebagai mumkin wujud-Nya.[30] Dari pemkiran tentang Tuhan, timbul akal-akal. Dari pemikiran tentang diri-Nya sebagai wajib wujud-Nya, timbul jiwa-jiwa. Dari pemikiran tentang diri-Nya sebagai mumkin wujud-Nya timbul lagit-langit.[31]
Dari Akal Pertama memancar Akal Kedua, jiwa, dan Langit Pertama; dst. hingga Akal Kesepuluh, jiwa, dan bumi. Dari akal kesepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan, termasuk jiwa manusia. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril.[32]
b.    Filsafat Jiwa
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengajukan beberapa argumen, yakni (1) argumen psikofsik, (2) argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis, (3) argumen kontinuitas, dan (4) argumen manusia terbang di udara.[33]
Untuk pembuktian pertama, Ibnu Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong unsur luar, dan gerak tidak terpaksa. Gerak tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah, ada juga yang menentang hukum alam, seperti manusia berjalan di kulit bumi ini. Menurut hukum alam manusia harus diam di tempat karena mempunyai berat badan sama benda padat. Gerak yang menetang hukum alam ini tentu ada penggerak tertentu di luar unsur tubuh itu sendiri. Inilah yang dinamakan jiwa oleh Ibnu Sina.[34]
Untuk pembuktian yang kedua, Ibnu Sina membedakan aku sebagai jiwa, badan sebagai alat. Ketika seorang berkata, dia akan tidur, bukan ia pergi ke tempat tidur atau memejamkan mata dan tidak menggerakkan anggota badan, tetapi adalah seluruh pribadi yang merupakan aku. Aku dalam pandangan Ibnu Sina bukanlah fenomena fisik, tetapi adalah jiwa dan kekuatannya. Kekuatan jiwa itu menimbulkan fenomena yang berbeda-beda, seperti benci-cinta, susah-gembira, menolak-menerima. Semua fenomena itu merupakan satu kesatuan, sebab kalau saling bermusuhan tidak akan timbul keharmonisan. Karena itu, perlu jiwa untuk mempersatukan fenomena jiwa yang berbeda tersebut supaya tinggal keserasian. Kalau kesatuan itu lemah, lemah juga kehidupan, dan begitu juga sebaliknya. Bila kesatuan fenomena psikologis mengharuskan adanya asal sebagai sumbernya, tentu tidak bisa dielakkan bahwa jiwa itua ada.[35]
Dalam pembuktian ketiga, Ibnu Sina mengatakan bahwa hidup rohaniah kita hari ini berkaitan dengan hidup kita kemarin tanpa ada tidur atau kekosongan. Jadi, hidup itu adalah berubah dalam satu untaian yang tidak putus-putus. Untuk membuktikan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan daya ingat manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik merupakan tingkah laku maupun merupakan hal-ihwal sekelilingnya. Sebagai contoh Ibnu Sina membandingkan antara jiwa dan badan. Badan kalau tidak diberi makan dalam waktu tertentu akan berkurang beratnya karena badan mengalami penyusutan, sedangkan jiwa tetap berubah. Dengan demikian jiwa berbeda dengan badan.[36]
Adapun pembuktian keempat, Ibnu Sina mengatakan: andaikata ada seorang lahir dibekali dengan kekuatan akal dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matanya sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa yang ada disekelilingnya. Kemudian ia diletakkan di udara dan diatur supaya tidak terjadi benturan dengan apa yang ada disekelilingnya. Tanpa ragu-ragu orang tersebut akan mengatakan dirinya ada. Pada saat itu boleh jadi ia tidak bisa menetapkan adanya badan dan anggota badan, maka wujud yang digambarkan itu tidak mempunyai tempat. Kalau dia saat melayang ia memperkirakan ada tangan atau kakinya, dia tidak mengira apakah itu tangan atau kakinya. Dengan demikian penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan dari sumber yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.[37]
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian, yaitu :
1.        Jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nabatiyah) dengan daya-daya :
a.       Makan (nutrition).
b.      Tumbuh (growth).
c.       Berkembang biak (reproduction).
2.        Jiwa binatang (al-hayawaniyah) dengan daya-daya :
a.       Gerak (locomotion).
b.      Menangkap (perception), dengan dua bagian :
1)        Menangkap dari luar dengan panca indera.
2)        Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam.
a)    Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
b)   Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
c)    Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi.
d)   Estimasi yang dapat menangkap hal-hal abstraks yang terlepas dari materi, umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
e)    Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3.        Jiwa manusia, dengan dua daya :
a)      Praktis yang hubungannya dengan badan dan materi.
b)      Teoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal yang abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
1)             Akal materil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
2)             Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
3)             Akal actuil, yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
4)             Akal mustafad} yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[38]
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berpikir.[39]
c.      Filsafat Kenabian
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.[40]
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil begitu besar, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi dan rasul.[41]
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Nabi juga harus mampu melontarkan suatu sistem sosial-politik. Dengan kualitas imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebanaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga mendorong untuk berbuat sesuatu.[42]
d.     Teori Wujud
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun dengan essensi sendiri. Essensi, dalam paham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu, wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisme dari filosof-filosof lain.[43]
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1.      Essensi yang tak dapat mempunyai wujud. Hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2.      Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.      Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al-wujud inilah yang mewujudkan mumkin al-wujud.[44]
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadis|) dan qadim. Karena dalil mereka tentang wujud Allah swt. didasarkan pada pembedaan-pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman, di mana Allah swt. tidak berbuat apa-apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah swt. pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah swt. tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak qadim dan tidak mesti wajib.[45] Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah swt. sejak qadim, sebelum zaman.[46]
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Sebagaimana yang disebutkan para mutakallimin antara qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya. Sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk di bawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim. “Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam empat (4) catatan sebagai berikut :[47]
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (gairu mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab Al-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata, “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terdapat wujud lain (wujud muntazar) dari wujud-Nya, bahkan semua yang mumkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru, dan tidak ada suatu sifat zat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah swt. telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah swt. sesudah diciptakan.[48]
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan-akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakikat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali. Ketiga, manakala perbuatan Allah swt. telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.[49]
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini, yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah swt. karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah swt. dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah swt. sesudah itu menjadi sia-sia, karena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih-lebih lagi pada zat-Nya. Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti: sudur (keluar), atau faid (melimpah), atau luzum (mesti), atau wujub ‘anhu (wajib darinya). Nama-nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan antara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama, dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah gaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi, sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.[50]
Dalam empat catatan tersebut, para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemungkinan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua makhluk merindukan Tuhan dan bergerak ke arah-Nya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.[51]












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Al- Farabi Nama lengkapnya ialah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan al-Uzdag ibn Awzalagh al-Farabi. Ia dilahirkan di desa Wasij, suatu distrik kota Farab, yang termasuk wilayah kekuasaan Turki, namun terletak di dekat perbatasan dengan Persi (Khurasan). Ayahnya menikah dengan wanita Turki dan merupakan seorang jendral komando tentara Mesir dan pernah menjadi seorang hakim dan ibunya berkebangsaan Turki. Kepribadian al-Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar dalam berolah kata, tutur bahasa, ia mempuyai kecakapan luar biasa.ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M) dan meninggal dalam usia 80 tahun. Al-Farabi dengan teori emanasinya mengemukakan bahwa alam ini terjadi karena limpahan yang esa dan wujud pertama, akal pertama pun melimpah sehingga muncul akal kedua, begitu seterusnya sampai pada akal kesepuluh. Al-Farabi memandang setiap spesies tumbuhan, binatang dan manusia memiliki jiwa dan dapat mengaktual menjadi daya-daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan melalui alat-alat tubuh dan jiwa manusia memiliki kelebihan yaitu potensi yang dapat mengaktual menjadi daya untuk berbuat tapi tidak dengan alat tubuh dan itulah akal.bila akal potensial telah ada secara aktual pada jiwa seseorang maka ia berarti sudah memiliki kesempurnaan pertama sebagai manusia. Teori kenabian al-farabi mengemukakan bahwa pengetahuan filosof tidak bertentangan dengan pengetahuan nabi karena keduanya bersumber dari akal fa’al yang sama berbeda dengan caranya. Kalau nabi berkomunikasi dengan akal fa’al dengan menggunakan kekuatan imajinasi sedangkan filosof dengan akal mustafad. Al-Madhinah al-fadhilah bagi al-farabi ibarat tubuh manusia yang sehat semua anggota badannya bekerja sama sesuai dengan tugasnya masng-masing yang berkordinasi secara rapi demi kesempurnaan hidup tubuh.
2.      Ibnu Sina memiliki nama lengkap: Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina atau Avicenna. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, tidak jauh dari Bukhara, di Transoxiana (Persia Utara), di mana ayahnya yang hidup dalam berbagai kebudayaan, tinggal bersama keluarganya. Beberapa saat kemudian keluarga itu pindah ke Bukhara, tempat si pemuda Husain (Ibnu Sina) menerima pengajaran pribadi dalam hal membaca, menulis, aritmatika, yurisprudensi, dan logika. Di antara guru-gurunya Abu Abdullah al-Natili dan Ismail seorang zahid yang disebut namanya. Minat Ibnu Sina terhadap filsafat tampaknya telah berkembang sejak ia menyimak dan berdialog dengan guru mereka itu. Tetapi, studi sistematikanya tentang logika dan kedokteran dimulai beberapa saat kemudian. Ibnu Sina sebagai filosof berkesimpulan bahwa alam semesta ini diciptakan Allah melalui dengan jalan emanasi (pancaran). Adapun proses penciptaan tersebut, ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai akal langsung memikirkan (bertaaqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini, memancar akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama. Demikian seterusnya samapai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya dapat menghasilkan jiwa ke sepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi ke empat unsur pokok yaitu, air, udara, api, dan tanah. Akal ke sepuluh ini dinamakan juga dengan  aktif  intelligence, yang langsung berkaitan dengan kejadian di bumi. Ia memproduksi materi pertama (bayula) yang pasif dan tidak berbentuk, tetapi ia menjadi basis dari empat elemen dari mana semua mahluk diciptakan. Sehingga Ibnu Sina berkesimpulan bahwa alam ini qadim dari segi zaman, namun baharu dari segi esensi. Menurut Ibnu Sina, antara jiwa/roh berbeda dengan jasad dan masing-masing mempunyai unit yang berdiri sendiri. Namun demikian, keduanya saling membutuhkan. Jiwa/roh berhajat kepada jasad dalam rangka mencapai kesempurnaannya, sementara jasad membutuhkan jiwa/roh untuk kelangsungan hidupnya. Jiwa menurut Ibnu Sina, terdiri atas tiga bagian yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan atau binatang, dan jiwa manusia. Jiwa manusia merupakan jiwa tertinggi dibanding dengan jiwa-jiwa yang lainnya, karena apabila jiwa ini yang mengotrol atau mengendalikan jasad, maka manusia menjadi mulia. Sebaliknya  apabila jasad dikontrol atau dikendalikan oleh jiwa hewan atau tumbuh-tumbuhan, manusia akan menjadi hina layaknya seperti binatang. Dalam konsep kenabian, Ibnu Sina mengemukakan bahwa ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri dan wujud pada posisi pertama lebih unggul dari pada posisi kedua. Lebih tegas ia menjelaskan bahwa keunggulan nabi dan rasul serta ketinggian derajat mereka dibandingkan para filosof. Ibnu Sina membagi wujud segala yang ada menjadi tiga tingkatan yaitu; wajib al-wujud, mumkin al-wujud, dan mumtani’ al-wujud. Dengan dasar ini, Ibnu Sina dalam membuktikan tentang adanya wujud Tuhan tidak membutuhkan dalil dengan salah satu mahluk, tetapi cukup dengan dalil wajib al-wujud saja. Menurut Ibnu Sina, semua wujud yang ada kecuali tuhan (Allah SWT) adalah mumkin al-wujud dan mumtani’ al-wujud.  












DAFTAR PUSTAKA
al-Farabi. Al-Da’awi al-Qalbiyyah. Haidarabad: Dar al-Ma’arif al-Usmaniyah, 1349 H.
 Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t.
Al-Jauharai, Imam Khanafi, Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Globa, Cet. I: Yogyakarta: ITTAQA Press, 1999
Bakar, Osman, Hirarki Ilmu Membangun Rangka Fikir Islamisasi Ilmu Menurut al- Farabi, al-Ghazali Quthb al-din al-Syirazi. Bandung: Mizan, 1997.
Daudy, Ahmad. Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid. III. Cet. IX; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Echols, Jonh dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1976.
Ghalib, Mustafa. Ibnu Sina. Tt. Dar Maktabah wa al-Hilal, 1996.
Hana al-Fakhury dan Khalil al-Jarr. Tarikh al Falsafah al-Arabiyyah. Cet. 2; Beirut: Mu’assasah li al-T}aba’at wa al-Nasyr, 1963.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam. Cet. 6, Jakarta: Bulan Bintang , 1996
Hoesain, Oemar Amin. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1964.
Hossein Nasr, Seyyed,  Islamic Conception Of Intellectual Life,  Charles Scribner's Sons: New York, 1973-1974
Madkour, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiq, terj. Yudian Wahyudi Amin, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Nasr, Sayyid Husain. Theology, Philososphy adn Sprituality. Terj. Suharsono, Djamaluddin MZ,  Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis. Cet. III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. 
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jil. II, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
_______. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet. IV; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Bandung: Rosdakarya, 1988.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, Jakarta: UI Perss, 1993.
Syarif, M.M. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, 1994.
Sudarsono, Drs, SH, M.Si. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta, tt.
---------- Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1976.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosuf & Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2012
Artikel internet.
http://annur01.wordpress.com/ .diakses pada 03 Mei 2015.
www. Google, Teori Al-Kindi dalam Menemukan Filfafat dan Agama. diakses pada 03 Mei 2015.



[1]Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiq, terj. Yudian Wahyudi Amin, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 244.
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 66

[3] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam. (Cet. 6, Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 11

[4] Imam Khanafi al-Jauharai, Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global (Cet. I: Yogyakarta: ITTAQA Press, 1999), h. 53

[5]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1994), h. 101.
[6]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, h. 101.
[7] Harun Nasution,  Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 19-20.
[8] Hana al-Fakhury dan Khalil al-Jarr, Tarikh al-Falsafa>t al-‘Arabiyya>t  (Cet. II; Beirut: Mu’assasah li al-Thaba’a>t wa al-Nasyr, 1963), h. 384.
[9] Hana al-Fakhury dan Khalil al-Jarr, Tarikh al-Falsafa>t al-‘Arabiyya>t  .h. 385.
[10]. Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. II; Jakarta:  PT. Rineka Cipta, 2004).  h. 137-139.
[11] Sudarsono, Filsafat Islam . h. 137-139.       
[12] Sudarsono, Filsafat Islam . h. 137-139.
[13] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss, 1993), hal. 51
[14] Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1988) , hal.138
[15] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran,... ,  hlm. 51-52
[16] http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-ar-farabi-dan-pemikiran.html yang dikutip dalam Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, (Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t), hlm. 74

[17] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 93
[18] Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah … , hlm. 71
[19] Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah … , hlm. 82
[20] Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah … , hlm. 84
[21]Sudarsono, Filsafat Islam (cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 41.
[22] Sudarsono, Filsafat Islam  h. 40. Mengenai waktu kelahiran beliau menjadi perdebatan para ahli sejarah. Pendapat yang terkuat menyebutkan ia lahir pada bulan Safar 370 H.
[23]Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. II; Jakarta:  PT. Rineka Cipta, 2004).  h. 40
[24]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (cet: IV; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 28.
[25]Sudarsono, filsafat Ilmu., h. 43.
[26]Sudarsono, filsafat Ilmu., h. 41. Bandingkan Hasyimsyah Nasution, Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam h. 28.

[27]Harun Nasution, Islam Rasional (Jakarta: Mizan, tt.h), h. 44.
[28]Al-Farabi, Al-Da’awi al-Qalbiyyah (Haidarabad: Da>r al-Ma’a>rif al-Us\maniyah, 1349 H), h. 3-4.
[29]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jil. II (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), h. 60.
[30]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 34.
[31]Mustafa Galib, Ibnu Sina (tt.:Dar al-Maktabah wa al-Hilal, 1979), h. 46.
[32]Hasyimsyah Nasution, hal. 28.
[33] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam., h. 71.
[34]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam., h. 71.
[35] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam., h. 71.
[36] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam., h. 72.
[37]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam., h. 72.
[38]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., h. 61-63.
[39]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., h. 61-63.
[40]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam., h. 75.
[41]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., h. 64.
[42]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam. h.75
[43]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 39.
[44] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 40.
[45]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 42.
[46]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42.
[47]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42.. Lihat juga: http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm#_ftn40 (03/ 05/2015)  
[48]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42.. Lihat juga: http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm#_ftn40 (03/ 05/2015
[49]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42
[50]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42
[51]Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 42