BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Karya
sastra adalah kreasi seni berbahasa yang disampaikan secara komunikatif tentang
maksud penulis terutama untuk tujuan estetika. Karya sastra merupakan hasil
pemikiran dan cerminan dari budaya kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan
dan didalamnya banyak diceritakan tentang interaksi manusia dengan manusia
serta interaksi manusia dengan lingkungannya. [1]
Karya
sastra merupakan salah satu ungkapan rasa estetis dari seorang pengarang
terhadap alam sekitarnya. Karya sastra juga merupakan suatu karya imajinatif
yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya
seni. Karya sastra banyak memberikan gambaran kehidupan sebgaimana yang
dinginkan oleh pengarangnya sekaligu menunujukkan sosok manusia sebagai insan
seni yang berunsur estetis dominan.
Karya
sastra terlahir dari suatu proses penciptaan yang dilakukan manusia . karya
sastra adalah hasil kretivitas manusia. Sastra sendiri merupakan ekspresi dalam diri manusia sehingga sastra itu
cendrung bersifat bebas. Dalam dunia
sastra orang mempunyai hak untuk menyampaikan sesuatu. Tidak pelu ada
persetujuan orang lain untuk menyampaikan ekspresi melalui sastra. Artinya,
orang boleh mengungkapkan apa pun dalam sastra.
Karya
sastra sesungguhnya memiliki fungsi social. Fungsi social karya sastra
diwujudkan dengan cara memberikan respons terhadap fungsi-fungsi kekuasaan yang
dilakukan oleh para pemimpin. Respons yang diberikan karya sastra dalam bentuk
kritik social yang diarahkan kepada pemimpin yang tidak bersungguh-sungguh dalm
membela kepentingan rakyat. Pesan-pesan
yang disampaikan melalui karya sastra memberikan peringatan kepada orang-orang
yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Fungsi social karya sastra ini diharapkan dapat
memberikan penyadaran kepada manusia untuk melakukan perbutan yang bermanfaat
bagi kepentingan orang banyak.
Sastra
itu seni dan seni itu indah. Dengan demikian sastra itu selalu dihubungkan
dengan kreativitas yang berkaitan dengan keindahan. Meskipun sastra identic
dengan keindahan, dunia sastra tidak hanya berbicara tentang keindahan, makna
hidup, cinta, dan kasih saying. Banyak karya sastra berisi tentang gagasan
–gagasan perlawanan yang ditujukan kepada para pemimpin, pemerintah dan
realitas sosial yang dipandang tidak sesuai dengan harapan dan kepentingan
masyarakat. Ini bermakna bahwa di dalam keindahan karya sastra ada kekuatan
yang dapat digunakan untuk menyampaikan penolakan, kritikan, dan pemberontakan.
Penolakan tidak harus disampaikan dengan brutal, anarkis dan kasar.
Tetapi
penolakan juga bias disampaikan dengan bahasa
yang santun, indah, dan perlambangan. Kekuatan yang dipancarkan karya
sasta dalam menyampaikan kritikan seperti “mencubit tapi tidak sakit”. Kekuatan
“cubitan” karya sastra tidak menyakitkan tetapi dapat meresap ke dalam diri
manusia sehingga pelan-pelan ia dapat menyadarkan manusia. Kekuatan karya
sastra bermain dalam alam spiritual atau jiwa manusia sehingga pesan yang
disampaikannya akan lebih mengarah kepada hati nurani manusia. Bila ini
terjadi, kritikan yang disampaikan melalui karya sastra akan menyadarkan
manusia.
Bila
saluran resmi untuk menyampaikan pendapat, kritikan dan gagasan telah ditutup
maka karya sastra menjadi media alternatif untuk menyampaikan itu. Bila
berfikir logis tidak lagi dihargai, maka karya sastra menjadi media alternative
yang bersifat intuitif dan imajinatif dalam menyampaikan kebenaran dalm
kehidupan manusia. Bila para penguasa tidak peduli lagi dengan kritikan yang
disampaikan secara langsung, maka karya sastra menjadi media alternative untuk
menyampaikan kritik secara perlambangan. Dan bila mereka juga tidak peduli
dengan sindiran dan kritikan dengan bahasa perlambangan, berarti hati mereka
telah buta. Meskipun hati mereka buta, karya sastra menjalankan fungsi
sosialnya dengan menyampaikan kritik terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan
harapan masyarakat.
Melihat
banyaknya fungsi karya satra terhadap kehidupan sosial , maka selanjutnya dalam
makalah ini akan dibahas tetang
sosiologi sastra
A.
Latar Belakang
1.
Bagaimana hakikat sosiologi sastra?
2.
Bagaimana hubungan sastra, moral dan kekuasaan?
3.
Bagaimana dampak sastra terhadap masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Sosiologi Sastra
Sosiologi
sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata
sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan,
teman) dan logi (logosi berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan
berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat,
logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul
dan pertumbuhan (evolusi) masyrakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari
keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum,
rasional, dan empiris.[2]
Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunujuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi,
sastra bererti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran
yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih lebih spesifik sesudah terbentuk
menjadi kata jadian, yaitu kekuasaan, artinya kumpulan hasil karya yang baik.[3]
Sesungguhnya
kedua ilmu memiliki obyek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Meskipun
demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda, bahkan bertentangan
secara diametrical. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri
pada apa yang terjadi dewasa ini (das sein), bukan apa yang seharusnya
terjadi (das sollen). Sebaliknya, karya sastra jelas bersifat
evaluative, subjektif, dan imajinatif. Perbedaan antara sastra dan sosiologi
merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana
ditunujukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta.
Ada
sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan, dalam
rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat,
antara lain:
1.
Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek
kemasyarakatannya.
2.
Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3.
Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan
masyarakat yang melatarbelakanginya.
4.
Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan beberapa
jauh peranannya dalam mengubah struktur kemasyarakatan.
5.
Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya dalam membantu
perkembangan masyarakat.
6.
Analisis mengenai seberapa jauh kaitan langsung antara unsur-unsur masyarakat.
7.
Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung pengarang
sebagai anggota masyarakat.
8.
Sosiologi sastra adalah analisis intstitusi sastra.
9.
Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan
masyarakat.
10.
Sosiologi sastra adalah hubungan searah (positivistik) antara
sastra dengan masyarakat.
11.
Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra
dengan masyarakat.
12.
Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara
sastra dengan masyarakat.
13.
Pemahaman yang berkaitan dengan aktivitas kreatif sebagai
semata-mata proses sosiokultural.
14.
Pemahaman yang berkaitan dengan aspek-aspek penerbitan dan
pemasaran karya.
15.
Analisis yang berkaitan dengan sikap-sikap masyarakat pembaca.[4]
Diantara
15 definisi di atas, definisi nomor 1,2,3,11, dan 12, dianggap mewakili
keseimbangan kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat, dengan memberikan
prioritas pada definisi nomor 1. Alasannya, pertama, definisi nomor 1 bersifat
luas, fleksibel, dan tentatif. Kedua, secara implisit telah memberikan
intensitas terhadap peranan karya sastra. Dengan kalimat lain, definisi nomor 1
berbunyi: analisis terhadap unsur karya seni sebagai bagian integral unsur
sosiokiltural.
B.
Dampak Sastra terhadap Masyarakat
Sastra
dan masyarakat senantiasa beriringan. Sastra hidup dalam wacana kemasyarakatan.
Persoalan hidup bermasyarakat yang compang-camping, sering menjadi tumupuan
sastra.[5]
Menurut Sarjono sastrawan kita mulai bergeser dalam memandang masyarakat. Pada
era orde lama, persoalan politik masih menyulut kehadiran sastra. Namun setelah
era orde baru, yang konon sastrawan mulai memasuki surge di Taman Ismail
Marzuki, persoalan politik berangsur-angsur ditinggalkan.[6]
Pada bagian selanjutnya, Sarjono juga menyatakan bahwa kritik sastra sering
berujung pencekalan pengarang.
Menurut
Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwana X ( 1990) dalam pembukaan Simposium
Kritik Sastra, karya sastra tidak hanya dipandang sebagai seni yang unik
sepi menyendiri, yang cendrung steril, melainkan sebagai seni yang hadir dalam
situasi masyarakat-sosial budaya tertentu. Konteks ini menandai dua hal, yaitu,
pertama, sastra itu lahir tidak dalam kekosongan sosial budaya, kedua, sastra itu lahir mengusung
pesan tertentu. Kedua hal ini jelas dapat dikaitkan dengan peran sastra dalam
masyarakat.
Saran
beliau terhadap kritikus, ketika menanggapi karya satra yang banyak konteks,
harusnya luwes, mampu manjing ajur-ajer.[7]
Maksudnya, kritikus dapat menyelami karya sastra dalam berbagai versi kehidupan
masyarakat. Dalam menilai karya itu seorang kritikus pastilah tidak akan
bertindak sembarangan. Dia akanmengatakan mengapa karya itu gagal, mengapa
karya itu berhasil, lengkap dengan memberikan bukti-buktinya. Dia akan
menunujukkan kemungkinan-kemungkinan bahasa yang manakah yang sudah berhasil
atau belum berhasil digali oleh penulis yang karyanya dibicarakan itu. Dia akan
mengatakan mengapa ungkapan-ungkapannya segar atau membosankan. Ia akan
menganalisa pikiran yang tersembunyi di dalam karya itu dan kemudian
dikatakannya dengan jujur dan tegas apakah pikiran-pikiran itu mendalam dan
berat ataukah murahan dan dangkal saja. Ia akan meninjau latar belakang karya
itu dan menguraikan karya itu hingga orang bias mengetahui apakah susunan dalam
karya itu berhasil baik atau tidak.
Bukti-bukti yang diajukan sebagai tanda kegagalan atau berhasilnya
sesuatu karya, tentu saja, didasarkan atau suatu prinsip dan pengertian sastra
yang benar, prinsip dan pengertian penilaian yang jujur.
Seorang
pengarang, baik prosa maupun puisi, biasanya baru yakin akan nilai dan efek
karyanya terhadap masyarakat sesudah membaca wawasan kritikus- kritikus yang
tahu akan sastra. Biasanya dia tidak sadar bahwa dengan bukunya itu telah
menciptakan suatu karya yang merupakan sumbangan besar terhadap kehidupan
sastra dan masyarakat. Seorang pengarang biasanya hanya mementingkan emosi dan
kepuasan. Ia akan merasa puas karena telah bisa melahirkan sebuah sastra, telah
bisa mencurahkan dorongan-dorongan yang mencengkam hidupnya. Ia tidak begitu
memikirkan bahwa untuk meloloskan diri. Dari cengkraman dorongan-dorongan itu ia membutuhkan seluruh
tenaga dan waktu yang lama. Ia merasa lega karena dengan selesainya buku itu ia
bisa membebaskan diri dari dorongan-dorongan yang selama itu terlalu
menguasainya. Tetapi bahwa nilai dan harga karyanya itu sangat tinggi bagi
perkembangan sastra baru diketahuinya secara wajar kemudian, yakni dengan
munculnya wawasan kritikus sastra. Demikian pula bahwa ungkapan-ungkapan yang
dirasanya paling tepat untuk melahirkan dorongan-doronganitu, ternyata sudah
basi dan memuakkan atau memamg segar, baru ia ketahui lewat kritikus sastra.
Begitu juga dengan masalah-masalah yang menimbulkan konflik di dalam karyanya
itu baru ia sadari keasliannya atau kepalsuannya ( karena hanya mengekor,
membeo, dan melagak), sesudah kritikus sastra menulis wawasan yang cukup
meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan
demikian, para pengarang dengan membaca wawasan kritikus sastra akan selalu
dibangkitkan kesaadarannya karyanya sendiri dan hakikat karya-karya yang baik.
Kesadaran tentang hakikat karya yang baik seperti yang digambarkan di dalam
wawasan itu, di samping akan menimbulkan jawaban di dalam hati pengarang yang
bersangkutan, sangat berfaedah bagi para pengarang pada umumnya yang kebetulan
membaca wawasan itu. Dengan demikian, seorang pengarang bisa memperkaya
pengalaman rohanimnya dengan membaca karya-karya yang baik, sesuai dengan
petunjuk wawasan para kritikus.
Kalau
kesadaran tersebut bisa menimbulkan suatu dialogia yang jujur di dalam hati
setiap pengarang pastilah hasilnya akan mempengaruhi karya-karya yang
selanjutnya. Maka dari itu, kalau terjadi seseorang pengarang setelah membaca
wawasan seorang kritikus yang menunjukkan kekurangan-kekurangan di dalam
karangannya, dapat menuliskan suatu karya yang lebih berhasil, tidaklah berarti
bahwa sebagai pengarang dia Cuma tanah
liat yang bisa dibentuk semua kritikus sastra. Hal ini justru menunjukkan
kesadarannya akn karya-karya sastra yang baik dan kesadaran bahwa untuk
membentuk dan menemukan kepribadiannya sendiri dia membutuhkan factor-faktor
yang bisa mematangkan pengalaman-pengalaman, yang mungkin selamanya selalu
diterimanya secara mentah saja.
Dari
dorongan- dorongan yang dimatangkan oleh pengalaman-pengalaman itulah
masyarakat bisa mengharapkan karya-karya sastra memiliki wawasan matang dalam
corak yang baru dan asli. Ke arah inilah letak jasa seorang kritikus terhadap
perkembangan kepribadian seorang pengarang dan perkembangan sastra umumnya.
Masyarakat
yang harus menerima sumbangan buku-buku sastra dari para pengarang tidak selalu
tahu isi dan nilainya. Oleh karena itu tidak jarang suatu buku sastra justru
dikutuk sdan disumpahi karena tidak dapat diketahui dengan mudah apa nilai dan
kebaikannya.
Yang
nampak hanyalah kekaburan, ketegangan-ketegangan konflik yang penyelesainnya
tidak gampang atau bahkan kalau toh bisa ditangkap ternyata tidak memuaskan.
Dan lagi, kerelaan masyarakat dalam
menyambut sumbangan-sumbangan itu pasti akan pudar, dan mungkin juga musnah,
kalau ternyata setiap buku yang isinya isapan jempol melulu itu harus dikunyah
dengan terlalu banyak makan tenaga, waktu dan pikiran. Sebaliknya, kerelaan itu
pasti akan berangsur-angsur menjadi penghargaan dan penikmatan kalau sekalian
buku yang disumbangkan kepada masyarakat itu jelas, menarik, dapat diserap
manfaatnya, karena menyenangkan, praktis, dan tidak terlalu memakan banyak
tenaga, waktu, dan pikiran. Tetapi di sini haruslah disadari bahwa kerelaan,
penghargaan dan penikmatan itu sama sekali bukanlah ukuran bagi menilai mutu
dan tidaknya buku sastra. Pengarang biasanya tidak begitu menghiraukan
kerelaan, penghargaan dan penikmatan macam itu, sebab biasanya mereka menganggap
setiap orang pembacanya nanti sama daya-daya jiwanya untuk menangkap nilai dan
keindahan karya itu sebagaimana mereka sendiri menangkap nilai dan keindahan
tersebut di dalam pengalaman jiwanya yang kemudian mereka alihkan dalam bentuk
bahasa itu. Apabila para pengarang terlampau memperhitungkan dan memperhatikan
kerelaan, penghargaan, dan penikmatan masyarakat pembaca, mereka biasanya lalu
memanjakan pembaca, karya-karya mereka biasanya dibuat sedemikain rupa hingga
dapat memuaskan hati pembaca. Bahayanya, tentu saja, adalah bahwa para pembaca
tidak akan mencintai karya sastra tetapi justru terlalu mencintai dirinya
sendiri. Pembaca hanya mau membaca buku-buku yang memuaskan keinginan dan
kecendrungan-kecendrungan pribadinya. Di samping itu, membahayakan juga bagi
kesungguhan para pengarang itu selanjutnya. Mereka tidak lagi berusaha
menciptakan karya yang lebih bernilai. Hal sedemikian tentulah bertententangan
dengan tugas pengarang yang harus mencari dan menemukan dunia baru, pengalaman
baru, peristiwa-peristiwa baru di dalam kehidupan insani yang dari pihaknya
sendiri sering kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Dan
dalam pendidikan tentu saja wawasan sastra ini sangat penting, karena harus
diusahakan adanya suatu kategori yang sesuai untuk macam-macam tingkatan
pembaca. Dalam hal ini nilai moral kerap kali harus mendapat perhatian khusus,
hingga dengan membaca karya-karya sastra itu para pembaca tidak semakin merosot
melainkan selalu dipertinggi kebudayaannya. Karena kami yakin bahwa anak SMP,
misalnya, akan mustahil disuruh mengambil manfaat dari buku-buku sastra yang
sangat sukar, baik isi maupun bahasanya, yang seharusnya hanya bisa dibaca oleh
para mahasiswa.
C.
Sastra, Moral dan Kekuasaan
Sastra
dan kekuasaan selalu berjalan seiring. Melalui sosiologi sastra, hubungan
timbal balik antara sastra dan kekuasaan dapat terungkap jelas. Dalam konteks
ini, karya sastra dianggap sebagai tanggapan evaluatif terhadap segala sesuatu
yang berlangsung di sekitarnya. Tanggapan tersebut akan memepertimbangkan
seberapa jauh peran penguasa dan sebaliknya dalam proses sosial.
Ahli
sosiologi sastra menegaskan bahwa sasrta, moral dan kekuasaan selalu hangat
dibicarakan. Sastra yang mengabdi pada kekuasaan dan moral, adakalanya
melupakan nilai estetis. Nilai etis dan kartasastra ( kekuasaan) yang
dikedepankan. Joan Rockwell berpendapat sastra berkaitan dengan pelaksanaan
standral moral. Sastra adalah bagian penting dari mesin social. Sebanyak
lembaga dengan yang lain, dan telah begitu sejak zaman awal manusia memiliki
bahasa. Bahasa tidak memperluas kemungkinan komunikasi. Masyarakat manusia,
tidak seperti masyarakat hewan, mereka diindoktrinasi ke implus sastra.
Ada
dua moral yang digambarkan dalam sastra, yaitu pertama, moral yang membangun
etika sosila dalam kehidupan antar sesame. Moral semacam ini mengatur hubungan
antar sesama. Sastra menyajikan hubungan antar manusia untuk memenuhi
kebutuhan. Kebutuhan tentang diakui dalam lintasan sosial, akan dipertahankan
dalam hubungan sehari-hari, kedua moral yang mendorong kea rah mempertahankan
diri dalam lingkungan social. Moral semacam ini, selalu dibumbui oleh faktor
kepribadian. Kedua wajah moral demikian erring dimotori oleh penguasa, penguasa
sengaja atau tidak berusaha menyisipkan pesan moral.
Kontribusi
sastra dan kekuasaan dapat saja membangun moralitas bangsa. Lewat pemahaman
sosiologis, sastra akan menjawab segala hal yang terkait dengan moral dan
kekuasaan. Dalam kaitan ini, sosiologi terdiri dalam dua kontribusi. Pertama,
penulis memiliki derjat kebebasan untuk menyelidiki dan memahami dunia social
mereka. Karya-karya mereka memperlihatkan rujukan social dan dapat dipahamui
melaui analisi tekstual. Dengan kata lain, sosiologi dapat merekonstruksi
tindakan yang terlibat dalam perspektif tertentu. Jenis pendekatan dapat
memanfaatkan pandangan Sartre tentang universal tunggal, dan itu, tentu saja,
sama sekali tidak reduktif. Orang bisa memberikan konntribusi dalam menjelaskan
sebuah karya.
Kedua,
salah satu studi sosiologi yang
ditawarkan, akan perhatian kita selanjutnya. Kelemahan kontribusi pertama
adalah bahwa hal itu akan cendrung tidak mengarah pada generalisasi tingkat
yang lebih tinggi; bekerja dengan baik mungkin pola penampilannya lebih besar
pada pengalaman sosial. Lebih aman generalisasi tentang pengaruh sosial yang
lebih besar dan tekanan pada mengasumsikan bahwa implus sastra dalam suatu
masyarakat tertentu dapat diperoleh dengan membedakan antara konsep sastra dan
masyarakat.
Dari
peta kekuasaan, moral sengaja ditanamkan lewat sastra. Ide-ide dasar tentang
moral, sebenarnya telah banyak mewarnai karya-karya sastrawam di Nusantara.
Penyair-penyair Jawa seperti Turiyo Ragilputro, St. Lesmaniasita, Suripan Sadi
Hutomo, Poer Adhie Prawoto, banyak menawarkan kekuasaan dan moral. Puisi Poer
Adhie Prawoto berjudul Juwariyah Kembang Pelanyah, adalah potret moralitas
wanita Jawa yang menyauarakan moralitas dan kekuasaan. Masalah keduanya perlu
ditafsirkan lewat sosiologin sastra, agar ditemukan makna yang signifikan
(tajam).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sosiologi
Sastra adalah Pemahaman terhadap karya
sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
Sastra
dan masyarakat senantiasa beriringan. Sastra hidup dalam wacana kemasyarakatan.
Persoalan hidup bermasyarakat yang compang-camping, sering menjadi tumupuan
sastra. karya sastra tidak hanya dipandang sebagai seni yang unik sepi
menyendiri, yang cendrung steril, melainkan sebagai seni yang hadir dalam
situasi masyarakat-sosial budaya tertentu. Konteks ini menandai dua hal, yaitu,
pertama, sastra itu lahir tidak dalam kekosongan sosial budaya, kedua, sastra itu lahir mengusung
pesan tertentu. Kedua hal ini jelas dapat dikaitkan dengan peran sastra dalam
masyarakat.
Sastra
dan kekuasaan selalu berjalan seiring. Melalui sosiologi sastra, hubungan
timbal balik antara sastra dan kekuasaan dapat terungkap jelas. Dalam konteks
ini, karya sastra dianggap sebagai tanggapan evaluatif terhadap segala sesuatu
yang berlangsung di sekitarnya. Kontribusi sastra dan kekuasaan dapat saja
membangun moralitas bangsa. Lewat pemahaman sosiologis, sastra akan menjawab
segala hal yang terkait dengan moral dan kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Djoko Pradopo,
Rachmat, Prinsip-Prinsip Kritik Sastra Teori & Penerapannya, Yogyakarta:
Gadjahmada University Press, 1997
Endraswara, Suhardi,
Sosiologi Sastra Studi, Teori & Intrepretasi, Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2013
Harjum Rahim,
Mohamad, Menguak Tabir Estetika Kata Stalistika Sastra, Makassar:
Alauddin University Press. 2011
Kutha Ratna, Nyoman, Paradigma
Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Mohamad, Goenawan,
Kesusastraan & Kekuasaan, Jakarta: PT> Pustaka Firdaus, 1993.
Robert, Escarpit,. Sosiologi
Sastra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Sugihastuti, Teori
& Apresiasi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
[1] Mohammad Harjum Rahim, Menguak
Tabir Estetika Kata, (Makassar: Alauddin Uiversity Press,2011), h.19
[2]Nyoman Kutha Ratna,
Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h.1
[3] Nyoman Kutha Ratna,
Paradigma Sosiologi Sastra, h.2
[4] Nyoman Kutha Ratna,
Paradigma Sosiologi Sastra, h.2-3
[5] Suwardi Endraswara, Sosiologi
Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013),h. 188
[6] Suwardi Endraswara, Sosiologi
Sastra,h. 188
[7]Suwardi Endraswara, Sosiologi
Sastra, h.189
Tidak ada komentar:
Posting Komentar