Sabtu, 21 Januari 2017

SOSIOLOGI SASTRA



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Karya sastra adalah kreasi seni berbahasa yang disampaikan secara komunikatif tentang maksud penulis terutama untuk tujuan estetika. Karya sastra merupakan hasil pemikiran dan cerminan dari budaya kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan dan didalamnya banyak diceritakan tentang interaksi manusia dengan manusia serta interaksi manusia dengan lingkungannya. [1]
Karya sastra merupakan salah satu ungkapan rasa estetis dari seorang pengarang terhadap alam sekitarnya. Karya sastra juga merupakan suatu karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Karya sastra banyak memberikan gambaran kehidupan sebgaimana yang dinginkan oleh pengarangnya sekaligu menunujukkan sosok manusia sebagai insan seni yang berunsur estetis dominan.
Karya sastra terlahir dari suatu proses penciptaan yang dilakukan manusia . karya sastra adalah hasil kretivitas manusia. Sastra sendiri merupakan ekspresi  dalam diri manusia sehingga sastra itu cendrung  bersifat bebas. Dalam dunia sastra orang mempunyai hak untuk menyampaikan sesuatu. Tidak pelu ada persetujuan orang lain untuk menyampaikan ekspresi melalui sastra. Artinya, orang boleh mengungkapkan apa pun dalam sastra.
Karya sastra sesungguhnya memiliki fungsi social. Fungsi social karya sastra diwujudkan dengan cara memberikan respons terhadap fungsi-fungsi kekuasaan yang dilakukan oleh para pemimpin. Respons yang diberikan karya sastra dalam bentuk kritik social yang diarahkan kepada pemimpin yang tidak bersungguh-sungguh dalm membela kepentingan  rakyat. Pesan-pesan yang disampaikan melalui karya sastra memberikan peringatan kepada orang-orang yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Fungsi  social karya sastra ini diharapkan dapat memberikan penyadaran kepada manusia untuk melakukan perbutan yang bermanfaat bagi kepentingan orang banyak.
Sastra itu seni dan seni itu indah. Dengan demikian sastra itu selalu dihubungkan dengan kreativitas yang berkaitan dengan keindahan. Meskipun sastra identic dengan keindahan, dunia sastra tidak hanya berbicara tentang keindahan, makna hidup, cinta, dan kasih saying. Banyak karya sastra berisi tentang gagasan –gagasan perlawanan yang ditujukan kepada para pemimpin, pemerintah dan realitas sosial yang dipandang tidak sesuai dengan harapan dan kepentingan masyarakat. Ini bermakna bahwa di dalam keindahan karya sastra ada kekuatan yang dapat digunakan untuk menyampaikan penolakan, kritikan, dan pemberontakan. Penolakan tidak harus disampaikan dengan brutal, anarkis dan kasar.
Tetapi penolakan juga bias disampaikan dengan bahasa  yang santun, indah, dan perlambangan. Kekuatan yang dipancarkan karya sasta dalam menyampaikan kritikan seperti “mencubit tapi tidak sakit”. Kekuatan “cubitan” karya sastra tidak menyakitkan tetapi dapat meresap ke dalam diri manusia sehingga pelan-pelan ia dapat menyadarkan manusia. Kekuatan karya sastra bermain dalam alam spiritual atau jiwa manusia sehingga pesan yang disampaikannya akan lebih mengarah kepada hati nurani manusia. Bila ini terjadi, kritikan yang disampaikan melalui karya sastra akan menyadarkan manusia.
Bila saluran resmi untuk menyampaikan pendapat, kritikan dan gagasan telah ditutup maka karya sastra menjadi media alternatif untuk menyampaikan itu. Bila berfikir logis tidak lagi dihargai, maka karya sastra menjadi media alternative yang bersifat intuitif dan imajinatif dalam menyampaikan kebenaran dalm kehidupan manusia. Bila para penguasa tidak peduli lagi dengan kritikan yang disampaikan secara langsung, maka karya sastra menjadi media alternative untuk menyampaikan kritik secara perlambangan. Dan bila mereka juga tidak peduli dengan sindiran dan kritikan dengan bahasa perlambangan, berarti hati mereka telah buta. Meskipun hati mereka buta, karya sastra menjalankan fungsi sosialnya dengan menyampaikan kritik terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Melihat banyaknya fungsi karya satra terhadap kehidupan sosial , maka selanjutnya dalam makalah ini   akan dibahas tetang sosiologi sastra
A.    Latar Belakang
1.      Bagaimana hakikat sosiologi sastra?
2.      Bagaimana hubungan sastra, moral dan kekuasaan?
3.      Bagaimana dampak sastra terhadap masyarakat?















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logosi berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyrakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris.[2] Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunujuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra bererti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kekuasaan, artinya kumpulan hasil karya yang baik.[3]
Sesungguhnya kedua ilmu memiliki obyek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda, bahkan bertentangan secara diametrical. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sein), bukan apa yang seharusnya terjadi (das sollen). Sebaliknya, karya sastra jelas bersifat evaluative, subjektif, dan imajinatif. Perbedaan antara sastra dan sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana ditunujukkan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta.
Ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan, dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
1.      Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
2.      Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3.      Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya.
4.      Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan beberapa jauh peranannya dalam mengubah struktur kemasyarakatan.
5.      Analisis yang berkaitan dengan manfaat karya dalam membantu perkembangan masyarakat.
6.      Analisis mengenai seberapa jauh kaitan langsung antara unsur-unsur masyarakat.
7.      Analisis mengenai seberapa jauh keterlibatan langsung pengarang sebagai anggota masyarakat.
8.      Sosiologi sastra adalah analisis intstitusi sastra.
9.      Sosiologi sastra adalah kaitan langsung antara karya sastra dengan masyarakat.
10.  Sosiologi sastra adalah hubungan searah (positivistik) antara sastra dengan masyarakat.
11.  Sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.
12.  Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
13.  Pemahaman yang berkaitan dengan aktivitas kreatif sebagai semata-mata proses sosiokultural.
14.  Pemahaman yang berkaitan dengan aspek-aspek penerbitan dan pemasaran karya.
15.  Analisis yang berkaitan dengan sikap-sikap masyarakat pembaca.[4]
Diantara 15 definisi di atas, definisi nomor 1,2,3,11, dan 12, dianggap mewakili keseimbangan kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat, dengan memberikan prioritas pada definisi nomor 1. Alasannya, pertama, definisi nomor 1 bersifat luas, fleksibel, dan tentatif. Kedua, secara implisit telah memberikan intensitas terhadap peranan karya sastra. Dengan kalimat lain, definisi nomor 1 berbunyi: analisis terhadap unsur karya seni sebagai bagian integral unsur sosiokiltural.
B.     Dampak Sastra terhadap Masyarakat
Sastra dan masyarakat senantiasa beriringan. Sastra hidup dalam wacana kemasyarakatan. Persoalan hidup bermasyarakat yang compang-camping, sering menjadi tumupuan sastra.[5] Menurut Sarjono sastrawan kita mulai bergeser dalam memandang masyarakat. Pada era orde lama, persoalan politik masih menyulut kehadiran sastra. Namun setelah era orde baru, yang konon sastrawan mulai memasuki surge di Taman Ismail Marzuki, persoalan politik berangsur-angsur ditinggalkan.[6] Pada bagian selanjutnya, Sarjono juga menyatakan bahwa kritik sastra sering berujung pencekalan pengarang.
Menurut Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwana X ( 1990) dalam pembukaan Simposium Kritik Sastra, karya sastra tidak hanya dipandang sebagai seni yang unik sepi menyendiri, yang cendrung steril, melainkan sebagai seni yang hadir dalam situasi masyarakat-sosial budaya tertentu. Konteks ini menandai dua hal, yaitu, pertama, sastra itu lahir tidak dalam kekosongan sosial  budaya, kedua, sastra itu lahir mengusung pesan tertentu. Kedua hal ini jelas dapat dikaitkan dengan peran sastra dalam masyarakat.
Saran beliau terhadap kritikus, ketika menanggapi karya satra yang banyak konteks, harusnya luwes, mampu manjing ajur-ajer.[7] Maksudnya, kritikus dapat menyelami karya sastra dalam berbagai versi kehidupan masyarakat. Dalam menilai karya itu seorang kritikus pastilah tidak akan bertindak sembarangan. Dia akanmengatakan mengapa karya itu gagal, mengapa karya itu berhasil, lengkap dengan memberikan bukti-buktinya. Dia akan menunujukkan kemungkinan-kemungkinan bahasa yang manakah yang sudah berhasil atau belum berhasil digali oleh penulis yang karyanya dibicarakan itu. Dia akan mengatakan mengapa ungkapan-ungkapannya segar atau membosankan. Ia akan menganalisa pikiran yang tersembunyi di dalam karya itu dan kemudian dikatakannya dengan jujur dan tegas apakah pikiran-pikiran itu mendalam dan berat ataukah murahan dan dangkal saja. Ia akan meninjau latar belakang karya itu dan menguraikan karya itu hingga orang bias mengetahui apakah susunan dalam karya itu berhasil baik atau tidak.  Bukti-bukti yang diajukan sebagai tanda kegagalan atau berhasilnya sesuatu karya, tentu saja, didasarkan atau suatu prinsip dan pengertian sastra yang benar, prinsip dan pengertian penilaian yang jujur.
Seorang pengarang, baik prosa maupun puisi, biasanya baru yakin akan nilai dan efek karyanya terhadap masyarakat sesudah membaca wawasan kritikus- kritikus yang tahu akan sastra. Biasanya dia tidak sadar bahwa dengan bukunya itu telah menciptakan suatu karya yang merupakan sumbangan besar terhadap kehidupan sastra dan masyarakat. Seorang pengarang biasanya hanya mementingkan emosi dan kepuasan. Ia akan merasa puas karena telah bisa melahirkan sebuah sastra, telah bisa mencurahkan dorongan-dorongan yang mencengkam hidupnya. Ia tidak begitu memikirkan bahwa untuk meloloskan diri. Dari cengkraman  dorongan-dorongan itu ia membutuhkan seluruh tenaga dan waktu yang lama. Ia merasa lega karena dengan selesainya buku itu ia bisa membebaskan diri dari dorongan-dorongan yang selama itu terlalu menguasainya. Tetapi bahwa nilai dan harga karyanya itu sangat tinggi bagi perkembangan sastra baru diketahuinya secara wajar kemudian, yakni dengan munculnya wawasan kritikus sastra. Demikian pula bahwa ungkapan-ungkapan yang dirasanya paling tepat untuk melahirkan dorongan-doronganitu, ternyata sudah basi dan memuakkan atau memamg segar, baru ia ketahui lewat kritikus sastra. Begitu juga dengan masalah-masalah yang menimbulkan konflik di dalam karyanya itu baru ia sadari keasliannya atau kepalsuannya ( karena hanya mengekor, membeo, dan melagak), sesudah kritikus sastra menulis wawasan yang cukup meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, para pengarang dengan membaca wawasan kritikus sastra akan selalu dibangkitkan kesaadarannya karyanya sendiri dan hakikat karya-karya yang baik. Kesadaran tentang hakikat karya yang baik seperti yang digambarkan di dalam wawasan itu, di samping akan menimbulkan jawaban di dalam hati pengarang yang bersangkutan, sangat berfaedah bagi para pengarang pada umumnya yang kebetulan membaca wawasan itu. Dengan demikian, seorang pengarang bisa memperkaya pengalaman rohanimnya dengan membaca karya-karya yang baik, sesuai dengan petunjuk wawasan para kritikus.
Kalau kesadaran tersebut bisa menimbulkan suatu dialogia yang jujur di dalam hati setiap pengarang pastilah hasilnya akan mempengaruhi karya-karya yang selanjutnya. Maka dari itu, kalau terjadi seseorang pengarang setelah membaca wawasan seorang kritikus yang menunjukkan kekurangan-kekurangan di dalam karangannya, dapat menuliskan suatu karya yang lebih berhasil, tidaklah berarti bahwa sebagai pengarang dia  Cuma tanah liat yang bisa dibentuk semua kritikus sastra. Hal ini justru menunjukkan kesadarannya akn karya-karya sastra yang baik dan kesadaran bahwa untuk membentuk dan menemukan kepribadiannya sendiri dia membutuhkan factor-faktor yang bisa mematangkan pengalaman-pengalaman, yang mungkin selamanya selalu diterimanya secara mentah saja.
Dari dorongan- dorongan yang dimatangkan oleh pengalaman-pengalaman itulah masyarakat bisa mengharapkan karya-karya sastra memiliki wawasan matang dalam corak yang baru dan asli. Ke arah inilah letak jasa seorang kritikus terhadap perkembangan kepribadian seorang pengarang dan perkembangan sastra umumnya.
Masyarakat yang harus menerima sumbangan buku-buku sastra dari para pengarang tidak selalu tahu isi dan nilainya. Oleh karena itu tidak jarang suatu buku sastra justru dikutuk sdan disumpahi karena tidak dapat diketahui dengan mudah apa nilai dan kebaikannya.
Yang nampak hanyalah kekaburan, ketegangan-ketegangan konflik yang penyelesainnya tidak gampang atau bahkan kalau toh bisa ditangkap ternyata tidak memuaskan. Dan lagi, kerelaan masyarakat  dalam menyambut sumbangan-sumbangan itu pasti akan pudar, dan mungkin juga musnah, kalau ternyata setiap buku yang isinya isapan jempol melulu itu harus dikunyah dengan terlalu banyak makan tenaga, waktu dan pikiran. Sebaliknya, kerelaan itu pasti akan berangsur-angsur menjadi penghargaan dan penikmatan kalau sekalian buku yang disumbangkan kepada masyarakat itu jelas, menarik, dapat diserap manfaatnya, karena menyenangkan, praktis, dan tidak terlalu memakan banyak tenaga, waktu, dan pikiran. Tetapi di sini haruslah disadari bahwa kerelaan, penghargaan dan penikmatan itu sama sekali bukanlah ukuran bagi menilai mutu dan tidaknya buku sastra. Pengarang biasanya tidak begitu menghiraukan kerelaan, penghargaan dan penikmatan macam itu, sebab biasanya mereka menganggap setiap orang pembacanya nanti sama daya-daya jiwanya untuk menangkap nilai dan keindahan karya itu sebagaimana mereka sendiri menangkap nilai dan keindahan tersebut di dalam pengalaman jiwanya yang kemudian mereka alihkan dalam bentuk bahasa itu. Apabila para pengarang terlampau memperhitungkan dan memperhatikan kerelaan, penghargaan, dan penikmatan masyarakat pembaca, mereka biasanya lalu memanjakan pembaca, karya-karya mereka biasanya dibuat sedemikain rupa hingga dapat memuaskan hati pembaca. Bahayanya, tentu saja, adalah bahwa para pembaca tidak akan mencintai karya sastra tetapi justru terlalu mencintai dirinya sendiri. Pembaca hanya mau membaca buku-buku yang memuaskan keinginan dan kecendrungan-kecendrungan pribadinya. Di samping itu, membahayakan juga bagi kesungguhan para pengarang itu selanjutnya. Mereka tidak lagi berusaha menciptakan karya yang lebih bernilai. Hal sedemikian tentulah bertententangan dengan tugas pengarang yang harus mencari dan menemukan dunia baru, pengalaman baru, peristiwa-peristiwa baru di dalam kehidupan insani yang dari pihaknya sendiri sering kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Dan dalam pendidikan tentu saja wawasan sastra ini sangat penting, karena harus diusahakan adanya suatu kategori yang sesuai untuk macam-macam tingkatan pembaca. Dalam hal ini nilai moral kerap kali harus mendapat perhatian khusus, hingga dengan membaca karya-karya sastra itu para pembaca tidak semakin merosot melainkan selalu dipertinggi kebudayaannya. Karena kami yakin bahwa anak SMP, misalnya, akan mustahil disuruh mengambil manfaat dari buku-buku sastra yang sangat sukar, baik isi maupun bahasanya, yang seharusnya hanya bisa dibaca oleh para mahasiswa.

C.    Sastra, Moral dan Kekuasaan
Sastra dan kekuasaan selalu berjalan seiring. Melalui sosiologi sastra, hubungan timbal balik antara sastra dan kekuasaan dapat terungkap jelas. Dalam konteks ini, karya sastra dianggap sebagai tanggapan evaluatif terhadap segala sesuatu yang berlangsung di sekitarnya. Tanggapan tersebut akan memepertimbangkan seberapa jauh peran penguasa dan sebaliknya dalam proses sosial.
Ahli sosiologi sastra menegaskan bahwa sasrta, moral dan kekuasaan selalu hangat dibicarakan. Sastra yang mengabdi pada kekuasaan dan moral, adakalanya melupakan nilai estetis. Nilai etis dan kartasastra ( kekuasaan) yang dikedepankan. Joan Rockwell berpendapat sastra berkaitan dengan pelaksanaan standral moral. Sastra adalah bagian penting dari mesin social. Sebanyak lembaga dengan yang lain, dan telah begitu sejak zaman awal manusia memiliki bahasa. Bahasa tidak memperluas kemungkinan komunikasi. Masyarakat manusia, tidak seperti masyarakat hewan, mereka diindoktrinasi ke implus sastra.
Ada dua moral yang digambarkan dalam sastra, yaitu pertama, moral yang membangun etika sosila dalam kehidupan antar sesame. Moral semacam ini mengatur hubungan antar sesama. Sastra menyajikan hubungan antar manusia untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan tentang diakui dalam lintasan sosial, akan dipertahankan dalam hubungan sehari-hari, kedua moral yang mendorong kea rah mempertahankan diri dalam lingkungan social. Moral semacam ini, selalu dibumbui oleh faktor kepribadian. Kedua wajah moral demikian erring dimotori oleh penguasa, penguasa sengaja atau tidak berusaha menyisipkan pesan moral.
Kontribusi sastra dan kekuasaan dapat saja membangun moralitas bangsa. Lewat pemahaman sosiologis, sastra akan menjawab segala hal yang terkait dengan moral dan kekuasaan. Dalam kaitan ini, sosiologi terdiri dalam dua kontribusi. Pertama, penulis memiliki derjat kebebasan untuk menyelidiki dan memahami dunia social mereka. Karya-karya mereka memperlihatkan rujukan social dan dapat dipahamui melaui analisi tekstual. Dengan kata lain, sosiologi dapat merekonstruksi tindakan yang terlibat dalam perspektif tertentu. Jenis pendekatan dapat memanfaatkan pandangan Sartre tentang universal tunggal, dan itu, tentu saja, sama sekali tidak reduktif. Orang bisa memberikan konntribusi dalam menjelaskan sebuah karya.
Kedua, salah satu studi sosiologi yang ditawarkan, akan perhatian kita selanjutnya. Kelemahan kontribusi pertama adalah bahwa hal itu akan cendrung tidak mengarah pada generalisasi tingkat yang lebih tinggi; bekerja dengan baik mungkin pola penampilannya lebih besar pada pengalaman sosial. Lebih aman generalisasi tentang pengaruh sosial yang lebih besar dan tekanan pada mengasumsikan bahwa implus sastra dalam suatu masyarakat tertentu dapat diperoleh dengan membedakan antara konsep sastra dan masyarakat.
Dari peta kekuasaan, moral sengaja ditanamkan lewat sastra. Ide-ide dasar tentang moral, sebenarnya telah banyak mewarnai karya-karya sastrawam di Nusantara. Penyair-penyair Jawa seperti Turiyo Ragilputro, St. Lesmaniasita, Suripan Sadi Hutomo, Poer Adhie Prawoto, banyak menawarkan kekuasaan dan moral. Puisi Poer Adhie Prawoto berjudul Juwariyah Kembang Pelanyah, adalah potret moralitas wanita Jawa yang menyauarakan moralitas dan kekuasaan. Masalah keduanya perlu ditafsirkan lewat sosiologin sastra, agar ditemukan makna yang signifikan (tajam).


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sosiologi Sastra adalah  Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
Sastra dan masyarakat senantiasa beriringan. Sastra hidup dalam wacana kemasyarakatan. Persoalan hidup bermasyarakat yang compang-camping, sering menjadi tumupuan sastra. karya sastra tidak hanya dipandang sebagai seni yang unik sepi menyendiri, yang cendrung steril, melainkan sebagai seni yang hadir dalam situasi masyarakat-sosial budaya tertentu. Konteks ini menandai dua hal, yaitu, pertama, sastra itu lahir tidak dalam kekosongan sosial  budaya, kedua, sastra itu lahir mengusung pesan tertentu. Kedua hal ini jelas dapat dikaitkan dengan peran sastra dalam masyarakat.
Sastra dan kekuasaan selalu berjalan seiring. Melalui sosiologi sastra, hubungan timbal balik antara sastra dan kekuasaan dapat terungkap jelas. Dalam konteks ini, karya sastra dianggap sebagai tanggapan evaluatif terhadap segala sesuatu yang berlangsung di sekitarnya. Kontribusi sastra dan kekuasaan dapat saja membangun moralitas bangsa. Lewat pemahaman sosiologis, sastra akan menjawab segala hal yang terkait dengan moral dan kekuasaan.






DAFTAR PUSTAKA
Djoko Pradopo, Rachmat, Prinsip-Prinsip Kritik Sastra Teori & Penerapannya, Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1997
Endraswara, Suhardi, Sosiologi Sastra Studi, Teori & Intrepretasi, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013
Harjum Rahim, Mohamad, Menguak Tabir Estetika Kata Stalistika Sastra, Makassar: Alauddin University Press. 2011
Kutha Ratna, Nyoman, Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Mohamad, Goenawan, Kesusastraan & Kekuasaan, Jakarta: PT> Pustaka Firdaus, 1993.
Robert, Escarpit,. Sosiologi Sastra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Sugihastuti, Teori & Apresiasi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.




[1] Mohammad Harjum Rahim, Menguak Tabir Estetika Kata, (Makassar: Alauddin Uiversity Press,2011), h.19
[2]Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h.1
[3] Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, h.2
[4] Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, h.2-3
[5] Suwardi Endraswara, Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013),h. 188
[6] Suwardi Endraswara, Sosiologi Sastra,h. 188
[7]Suwardi Endraswara, Sosiologi Sastra, h.189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar