Sabtu, 21 Januari 2017

HADIS & SUNNAH ( TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS & AKSIOLOGIS)



HADIS & SUNNAH
( TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS & AKSIOLOGIS)

oleh Hamsiati



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Dalam hidup dan kehidupan di muka bumi ini manusia membutuhkan pedoman. Sebagai seorang muslim tentulah berpedoman pada al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah:2
ذَلِكَ الْكِتَابُ لارَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين
 “(Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”[1].
           
            Untuk menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam kehidupan manusia, khususnya orang yang beriman dituntut memiliki pengalaman yang dalam dan bantuan penjelasan dari Nabi (sunnah). Sunnah menurut sebahagian ahli hadis sama dengan hadis yaitu segala sesuatu yang diajarkan oleh Nabi saw melalui perkataan, perbuatan, penetapan atau takrir dan akhlak serta sifat-sifatnya yang terpuji[2].
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umat Islam. Sebagai sumber hukum kedua, kita sebagai umat Islam wajib mempelajarinya. Terkhusus kepada para penuntut ilmu yang muslim.
As-Sunnah merupakan salah satu otoritas Islam kedua setelah al-Quran, sejumlah literature hadis memiliki pengaruh yang sangat menentukan dan menjadi sumber hukum dan isnpirasi agama.[3]
Hadis pada mulanya berkembang hanya melalui mulut ke mulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadis-hadis Nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hapalan para sahabat dan para tabi’in.
Seiring dengan perkembangan periwayatan hadis, telah muncul pula pemalsuan hadis yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab demi sebuah kepentingan, sehingga menambah dorongan para ulama hadis untuk lebih hati-hati dalam melakukan periwayatan hadis. Misalnya kehatian-hatian dalam menciptakan berbagai kaidah dan ilmu hadis baik berkenaan dengan matan maupun sanad. Maka suatu riwayat dapat diketahui apakah riwayat itu betul-betul hadis Nabi atau bukan, dengan menggunakan kaidah-kaidah tersebut.
Ilmu hadis membahas macam-macam masalah yang sangat banyak jumlahnya, sehingga juga menghasilkan banyak istilah. Tiap-tiap masalah dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri. Sebagaimana Ibn al-Shalāh dalam Muqaddimahnya menyebutkan 65 macam cabang ilmu untuk ilmu hadis.[4]
Salah satu pembahasan yang paling urgen untuk diketahui oleh para pengkaji hadis tentang keadaan hadis, kapan hadis tersebut bisa dijadikan Hujjah dan bagaimana kedudukan serta aplikasinya.

B.     RUMUSAN  MASALAH

1.      Apakah itu hadis  ( tinjauan ontologis) ?
2.      Bagaimana itu hadis ( tinjauan epistemologis ? dan,
3.      Apa realisasi dari hadis itu ( tinjauan aksiologis ) ?
C.    TUJUAN PENULISAN
Makalah ini bertujuan untuk:
1.      Menjelaskan tentang hadis dari segi ontologis.
2.      Menjelaskan bagaimana hadis itu dari segi epistemologis, dan
3.      Menjelaskan hadis dari segi aksiologis



























BAB II
HADIS & SUNNAH
( TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS & AKSIOLOGIS)
A.    TINJAUAN ONTOLOGIS
1.      Pengertian Hadis

Kata hadis sendiri secara etimologi (bahasa) bisa diartikan sebagai berikut:
a.       Jadi>d yang berarti baru, merupakan antonim dari kata qadi>m (lama).
b.      Qari>b yang berarti dekat, diambil dari kalimat hadis| al-‘ahdi bi al-isla>m yang berarti orang yang baru masuk Islam.
c.       Khabar yang berarti warta atau berita.
Sedangkan secara terminologi hadis adalah segala ucapan, perbuatan dan  ketetapan nabi Muhammad setelah beliau diangkat menjadi Nabi. 
Mahmud al-T}ahh}a>n mendefinisikan sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid Khon:
ما جاء عن النبى صلى الله عليه و سلم سواء كان قولا أو فعلا أو تقريرا.[5]
Segala sesuatu yang datang dari Nabi saw baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan. 
Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki> al-Hasani> mendifiniskan hadis:
ما أضيف للنبى صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير.[6]
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan.
Sedangkan Muhammad Ali Dawud mendefinisikan hadis adalah:
ما أضيف إلى الرسول صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة من صفاته.[7]
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan karakter.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil sebuah pengertian hadis adalah segala sesuatu hal yang berasal dari Nabi saw baik itu perkataan atau perbuatan, persetujuan, dan karakter sesudah diangkat menjadi nabi.
Contoh hadis Nabi yang berupa perkataan (qauli) misalnya perkataan Nabi saw:
صحيح البخارى
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِىُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِىُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رضى الله عنه - عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ».[8]
 
Contoh hadis berupa perbuatan (fi'li) ialah: 
صحيح البخارى
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ.[9]
 
Contoh hadis berupa ketetapan (taqri>ri) ialah: 
سنن أبى داود
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِى بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم- سَمْنًا وَأَضُبًّا وَأَقِطًا فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَمِنَ الأَقِطِ وَتَرَكَ الأَضُبَّ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم.[10]
 
Contoh hadis berupa sifat (was}fi) ialah 
سنن الترمذى
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِىُّ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَبْعَةً لَيْسَ بِالطَّوِيلِ وَلاَ بِالْقَصِيرِ حَسَنَ الْجِسْمِ أَسْمَرَ اللَّوْنِ وَكَانَ شَعْرُهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ وَلاَ سَبْطٍ إِذَا مَشَى يَتَكَفَّأُ. قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنْ عَائِشَةَ وَالْبَرَاءِ وَأَبِى هُرَيْرَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِى سَعِيدٍ وَجَابِرٍ وَوَائِلِ بْنِ حُجْرٍ وَأُمِّ هَانِئٍ.[11]

2.      Sinonim Hadis
Ada beberapa istilah yang merupakan sinonim dari hadis, yaitu Sunnah, Khabar, dan Atsar . berikut ini akan dibahas pengertian masing – masing, yaitu sebagai berikut:
a.      Sunnah
Adapun sunnah secara etimologi adalah jalan yang dilalui baik itu tercela maupun terpuji.[12] Sedangkan secara terminologi sunnah mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena ulama memberikan pengertian sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing.[13]
  1. Menurut ulama pakar hadis (muhaddis|u>n), adalah : semua hal yang berasal dari Nabi, baik yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Jadi, menurut pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik semisal tubuh, rambut, jenggot, maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat jadi rasul.[14] Mayoritas dari ulama pakar hadis (muhaddis|u>n) menetapkan bahwa sunnah dalam arti ini, menjadi mura>dif (sinonim) bagi perkataan hadis.[15] Dengan demikian pengertian hadis dan sunnah adalah sama menurut mereka.
  2. Sedangkan menurut ulama usul fikih, adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (selain al-Qur’an) berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan, namun mereka membatasinya hanya dengan yang bisa dijadikan sebagai acuan pengambilan hukum.[16] Hal ini disebabkan mereka memandang nabi Muhammad sebagai syari> (pembuat syariat) disamping Allah. Hanya saja ketika ulama usul fikih mengucapakan hadis secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah qau>liyyah. Karena sunnah menurut mereka mempunyai arti yang lebih luas dari hadis, yaitu mencakup semua hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum tidak hanya sebatas ucapan saja.[17]
  3. Menurut ulama fikih lain lagi, mereka memberikan pengertian bahwa sunnah adalah segala suatu hal dari Nabi yang tingkatanya tidak sampai pada tingkatan wajib atau fardhu, artinya mendapatkan pahala bila dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan.[18] Mereka memandang nabi Muhammad sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan perbuatanya mengandung hukum syara’.[19]
Akan tetapi menurut kami bahwa pendapat ini tidak relevan dan singkron dengan pengertian sunnah dalam ilmu hadis, sehingga pendefinisian tersebut perlu dikaji kembali relevansi dan singkronisasinya dengan istilah sunnah dalam ilmu hadis.

b.      Khabar
Menurut arti bahasa khabar ialah berita yang disampaikan.[20] Berdasarkan arti bahasa, khabar memiliki arti yang hampir sama dengan hadis, karena tahdi>s (pembicaraan) artinya tidak lain adalah ikhba>r (pemberitaan). Hadis Rasulullah adalah berita-berita yang disandarkan kepada Nabi saw. Menurut  istilah, ada beberapa versi definisi tentang khabar.
Diantaranya "hadis yang disandarkan pada sahabat", "segala berita yang diterima selain dari Nabi" dan lain sebagainya. Dalam permasalahan terminologi khabar, penulis lebih sepakat dengan definisi yang pertama-sebagaimana juga dikemukakan oleh ulama Khurasan yaitu khabar ialah hadis yang disandarkan pada sahabat (mauquf). Hanya saja hal ini dimaksud untuk memudahkan klasifikasi serta untuk membedakan antara khabar dengan hadis atau sunah.[21]
c.       Atsar
Secara etimologi ats\ar berarti bekas atau sisa. Sedangkan mengenai definisi  terminologis ats\ar ada dua pendapat. Pertama, sinonim dengan hadis. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat Nabi.[22] Pendapat yang kedua ini mungkin berdasarkan arti etimologisnya yaitu penjelasan bahwa perkataan sahabat merupakan sisa dari sabda Nabi. Sehingga perkataan sahabat disebut dengan atsar merupakan sesuatu yang wajar. 
Dari penjelasan tentang definisi hadis, sunah, khabar dan atsar di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan terminologi yang digunakan oleh para pakar hadis (muhaddis|u>n) terkait ruang lingkup dan sumber keempat definisi tersebut. Hadis atau sunnah memberikan pengertian bahwa perawi mengutip hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw (marfu>’). Sedang khabar tidak hanya mencakup hadis marfu’ saja, akan tetapi juga mengakomodasi yang mauqu>f  (perawi hanya bersumber dari sahabat saja tidak sampai pada Rasulullah). Bahkan juga yang hanya berhenti sampai tingkatan tabi’in (maqtu>’) saja. Sedangkan atsar oleh para pakar hadis lebih diidentikkan hanya pada hadis mau>qu>f atau maqtu>’ saja.[23]
Untuk memudahkan pengidentifikasian, maka lebih baik apabila istilah hadis, sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam pendefinisiannya. Hal ini dilakukan bukan untuk mendistorsi makna dari istilah tersebut, tetapi lebih dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi. Selain itu, diharapkan  lebih mempermudah dalam memahami struktur hadis. Sehingga pada akhirnya, menurut hemat penulis terminologi hadis dan sunnah dipergunakan untuk hadis marfu>’, dan khabar untuk hadis mau>qu>f serta atsar untuk hadis maqtu>’.
Berikut ini rangkuman perbedaan hadis dan sinonimnya.
Hadis dan sinonimnya
Sandaran
Aspek dan Spesifikasi
Sifatnya
Hadis
Nabi
Perkataan (qauli)
Perbuatan (fi’li)
Persetujuan (taqriri)
Lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali
Sunnah
Nabi dan para sahabat
Perbuatan (fi’li)
Menjadi tradisi
Khabar
Nabi dan selainnya
Perkataan (qauli)
Perbuatan (fi’li)
Lebih umum
Atsar
Sahabat dan tabi’in
Perkataan (qauli)
Perbuatan (fi’li )
Umum


3.      Perbedaan Pandangan Ulama tentang Hadis dan Sunnah
Sunnah pada dasarnya, tidak sama dengan hadis. Mengikuti arti bahasanya, sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi SAW. Yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Apabila hadis bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan – perbuatan beliau. Karena perbedaan dua pengertian ini, kadang – kadang kita mendapati ucapan ahli hadis : hadis menyalahi kiyas, sunnah dan ijma’ atau ucapan “imam dalam hadis”, “imam dalam sunnah”, “ imam dalam keduanya”. Yang lebih aneh lagi, kedua pengertian tersebut satu sama lain justru saling menguatkan, seakan – akan berbeda sama sekali, sehingga sah – sah saja bila ibnu Nadim menyebutkan satu kitab dengan judul : Kitab Sunan dengan Dalil Hadis .[24]
Ketika Islam member “jalan” dengan kata sunnah, orang – orang Arab tidak terkejut, mereka sudah mengenalnya dengan arti ini, sebgaimana mereka mengenal lawan katanya, bid’ah. Mereka paham sekali makna itu, sampai ketika disandarkan kepada asma Allah yang agung, seperti dalam firman-Nya: “sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang – orang yang telah terdahulu sebelumnya,” (QS.Al-Ahzab:62)
Adapun orang- orang yang mendengar lafadz sunnah dari hadis Nabi seperti dalam sabdanya : “ hendaknya kalian berpegang teguh kepada sunnah-ku”, maka pada saat itu mereka tidak ragu lagi bahwa maksud kata itu adalah jalan dan cara Nabi SAW. Dalam kehidupan beliau, baik yang bersifat khusus maupun umum.
4.      Perbedaan Hadis Nabi, Hadis Qudsi dan Al-Qur’an.
Pengertian hadis adalah sebagaimana penjelasan di atas, sedangkan kata qudsi itu dinisbahkan kepada al-quds secara etimologi menunjukkan arti kebersihan dan kesucian. Dengan demikian, hadis qudsi adalah hadis yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah swt. Dan secara terminologi, pengertian hadis qudsi terdapat dua versi. Pertama; hadis qudsi merupakan kalam Allah swt (baik dalam sturktur maupun substansi bahasanya), dan Nabi hanya sebagai penyampai.  Kedua hadis qudsi adalah perkataan dari Nabi, sedangkan isi dari perkataan tersebut berasal dari Allah SWT. Maka dalam redaksinya sering memakai قال الله تعالى.[25]
Dalam hal ini penulis lebih condong pada pengertian hadis qudsi yang kedua. Dengan alasan untuk membedakan antara al-Qur'an dan hadis qudsi dalam proses terjadinya. Contoh hadis Qudsi :
صحيح البخارى
حَدَّثَنِى بِشْرُ بْنُ مَرْحُومٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى سَعِيدٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ ، وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ».[26]
Perbedaan antara al-Qur’an dengan hadis dan hadis Qudsi  adalah sebagai berikut:[27]
a.       Al-Qur’an secara struktur dan substansi bahasanya berasal dari Allah. Hadis Qudsi struktur bahasanya berasal dari Nabi sedangkan substansi bahasanya berasal dari Allah.
b.      Redaksi yang digunakan oleh Nabi pada al-Qur’an adalah Allah telah berfirman, sedangkan dalam hadis Qudsi redaksi yang digunakan adalah Allah telah meriwayatkan kepadaku.
c.       Al-Qur’an merupakan mukjizat sedangkan hadis Qudsi tidak.
d.      Al-Qur’an hanya diturunkan melalui perantara malaikat Jibril, sedangkan hadis Qudsi bisa dengan melalui ilham maupun mimpi.
Perbedaan antara hadis Qudsi dengan Hadis Nabi yang paling pokok adalah bahwa hadis Qudsi ada kaitannya dengan Allah (ada nisbat) meskipun hanya dalam substansi bahasanya. Hal ini berbeda dengan hadis Nabi yang mana struktur maupun bahasanya berasal dari Nabi.[28] Meskipun demikian bukan berarti apa yang dikatakan oleh nabi merupakan sesuatu yang berasal dari nafsu belaka. Akan tetapi mempunyai pengertian hadis Nabi dalam proses terungkapkannya oleh nabi tidak harus menunggu wahyu dari Allah.
B.     TINJAUAN EPISTEMOLOGIS
1.      Unsur – Unsur Hadis
Unsur – unsur hadis dapat kita lihat sebagai berikut :
a.      Sanad
Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”[29] atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karna hadis bersandar kepadanya.[30]
Menurut terminologi, sanad adalah:
سلسلة الرواة الذى نقلوا المتن عن مصدر الأول
“Rangkaian para periwayat hadis yang mengutip matan hadis dari sumber awal (Rasulullah saw.)”[31]
Menurut al-Badru bin Jama’ah dan al-Tiby sanad adalah:
الإخبار عن طريق المتن
“pemberitahuan dengan cara penyampaian melalui matan”.
Ada juga yang menyebutkan:
سلسلة الرجال الموصل الي المتن
“silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan hadis”.[32]
Jikalau kita mencermati beberapa pengertian diatas, maka kita dapat menyimak  kesamaan persefsi para ulama' tentang pengertian sanad secara terminology, begitupun keterkaitan yang terjadi antara makna etimologi dan terminoloinya, bahwa sanad sangat berperan penting untuk membawa kita menuju kepada matan Hadis, karena sanad adalah sandaran dari pada matan itu sendiri.
Contoh Sanad
عن أبي الزناد عن الاعرج عن أبي هريرة أن رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول
b.      Matan
Menurut bahasa kata “matan” berasal dari bahasa Arab, “matana” yang berarti punggung jalan atau muka jalan,[33] secara etimologi berarti “ma irtafa’ min al_ard” (tanah yang meninggi). Sedangkan menurut terminology adalah:[34]
ما ينتهي اليه السند من الكلام
“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”[35]
Contoh Matan
أن رسول الله صلي الله عليه و سلم قال اذا قلت لصاحبك أنصت والإمام يخطب يوم الجمعة ققد لغوت...
c.       Rawi
Kata “Rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadis (naqil al-hadis)
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadis dalam tiap tingkatannya, juga disebut sebagai rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadis. Akan tetapi yang membedakan antara rawi dan sanad, adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadis. Kedudukan sanad dalam riwayat hadis sangat penting sehingga suatu berita dapat dinyatakan sebagai hadis, sebaliknya apabila suatu hadis tidak bersanad sama sekali maka berita ini tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah hadis.[36] Orang yang menerima hadis dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab disebut dengan perawi.[37]
Contoh Rawi
(رواه البخاري) أو (رواه المسلم) أو (المتفق عليه)
d.      Mukharrij
Mukharrij secara bahasa adala orang yang mengeluarkan. Kaitannya dengan hadis, mukharrij adalah orang yang telah menukil atau mencatat hadis pada kitabnya, seperti kitab al-Bukhari.
Memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang lain lalu membukukannya dalam kitab disebut mukharrij. Oleh sebab itu, semua perawi hadis yang membukukan hadis yang diriwayatkannya disebut mukharrij seperti para penyusun al-kutub al-tis’ah (kitab sembilan). contoh:  
 البخاري أخرجه : dikeluarkan oleh Bukhari. (HR. Al- Bukhari)
رواه المسلم :  diriwayatkan oleh Muslim . (HR. Muslim).
2.      Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitas
Periwayatan hadis pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. pada satu sisi, perhatian sahabat masih terpokus pada  pemeliharaan al-Quran dan berusaha membatasi periwayatan hadis tersebut. Khawatir akan terjadi kekeliruan bercampurnya al-Quran dengan Hadis.[38] Begitu juga pada masa tabi’n. selanjutnya, pada abad ketiga hadis mulai kodifikasi dan pembukuan serta munculnya cabang ilmu yang khusus mengkaji hadis. Ketelitian serta kehati-hatian ulama dalam menyapaikan hadis sehingga ulama membuat klasifikasi hadis, diantaranya klasifikasi dari segi kuantitas dan kwlaitas hadis, tujuannya untuk mengetahui ciri dan bentuk hadis yang semestinya kita pedomani.
1.        Tinjauan Hadis dari Segi Kuantitas
Yang dimaksud Hadis ditinjau dari segi kuantitasnya adalah  tinjauan jumlah sanad atau yang dilalui oleh matan Hadis tersebut, hingga sampai pada rawi atau musnid yang meriwayatkan atau yang membukukan Hadis tersebut, yang selanjutnya sampai kepada kita sekarang ini. Para ulama’ Hadis ketika meneliti hal ini, maka ditemukannya, ada dua macam bentuk Hadis apabila ditinjau dari segi kuantitasnya.
a.    Hadis Mutawatir
1). Pengertian Hadis Mutawatir
Kata mutawatir, secara etimologi, merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang bermakna al-tatabu’ (berturut-turut) atau majiu al-syai’ yatlu ba’dahu ba’dan min gaeri takhallul (datangnya sesuatu secara berturut-turut dan bergantian tanpa ada yang menyela). Hadis mutawatir bias juga diartikan sebagai suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.[39] Hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.[40] Dalam bahasa arab dikatakan: tawatara al-matru (hujan turun secara terus menerus)
Secara terminology, mutawatir adalah :
ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
Sesuatu yang di riwayatkan dengan jumlah yang banyak dan mustahil begi mereka untuk bersepakat dalam kebohongan”
Maksud defenisi tersebut, adalah hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang banyak pada tiap thabaqat (tingkatan/generasi) sanadnya yang menurut aqal dan adat kebiasaan mustahil para periwayat itu sepakat untuk membuat hadis yang bersangkutan.[41]
Adapun hadis yang tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.[42]
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.[43]
2). Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Beranjak dari pengertian diatas maka kami dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwasanya Hadis mutawatir itu memiliki standar syarat sehingga bisa di sebut sebagai Hadis mutawatir.
·         Diriwayatkan oleh banyak sanad, namun dalam hal ini ulama’ berbeda dalam batasa jumlah banyaknya periwayat, namun penulis memilih bahwasanya minimal 10 sanad dalam satu tabaqat (tingkatan/generasi)[44]
·         Periwayat yang banyak ini terdapat dalam setiap tabaqat (tingkatan/generasi)
·         Mustahil bagi mereka untuk sepakat dalam kebohongan
·         Para sanad disyaratkan mesti bersentuhan (bertemu lansung), hal ini bisa dilihat dari kata-kata penyampaian yang di pergunakan, seperti sami’na (telah kami dengar), ra’ayna (telah kami lihat) dan lain sebagainya.[45]
3). Macam-macam Hadis Mutawatir
Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi tiga macam yaitu; hadis mutawatir lafdzi, hadis mutawatir maknawi dan hadis mutawatir amali.[46]
a. Mutawatir Lafdzi
Adalah apa yang mutawatir periwayatannya pada setiap rawi dengan menggunakan lafdz yang sama.
Contoh Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِى حَصِينٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ  مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ».[47]


b.      Mutawatir Maknawi
Mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh pada Hadis yang menyangkut masalah mengangkat tangan ketika berdo’a, telah di sebutkan oleh Rasulullah sekitar seratus riwayat Hadis dengan lafadz yang berbeda-beda.[48]
b.      Mutawatir Amali
Hadis mutawatir amali adalah Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.
Contoh: Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
b.        Hadis Ahad
1)      Pengertian Hadis Ahad
Kata ahad (احاد) jamak dari ahad (أحد) yang berarti satu. Secara etimologi hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Menurut istilah ahli hadis hadis ahad antara lain adalah Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir. [49]Adapun menurut terminology ulama hadis, hadis ahad adalah:
هو مالم يجتمع فيه شروط المتواتر
“hadis yang tidak memenuhi salah satu syarat-syarat hadis mutawatir”[50]
Dari sini bisa kita lihat bahwa kualitas hadis mutawatir lebih diatas daripada hadis ahad
2)      Macam-Macam Hadis Ahad
a.      Hadis Masyhur
Dalam pengertian bahasa masyhur bisa berarti sesuatu yang terkenal atau yang popular di kalangan manusia.[51] Adapun  Hadis masyhur menurut terminology ulama hadis yaitu apa yang diriwayatkan minimal tiga perawi atau lebih dalam setiap tabaqat tapi tidak sampai pada peringkat mutawatir.[52]
Contoh : Hadis yang diriwayatkan oleh An-Nas’i
حدثنا أيوب ويحيى بن سعيد عن هشام بن عروة عن أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه...[53]



b.      Aziz
Kata ‘aziz dalam bahasa arab As-Syafief (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh) berarti sedikit atau jarang,[54] sedangkan menurut ulama hadis, hadis ‘Azis adalah hadis yang tidak kurang dari dua perawinya dari setiap tabaqat sanad. Mahmud al-Tahhan menambahkan, bahwa sekalipun dalam sebagian tabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asalkan dari sekian tabaqat terdapat satu tabaqat yang jumlah perwainya hanya dua orang.[55]
Contoh Hadis Rasulullah saw. Yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’I :
أخبرنا حميد بن مسعدة قال حدثنا بشر يعني بن المفضل قال حدثنا شعبة عن قتادة أنه سمع أنسا يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين...[56]

a.       Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa adalah ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari tanah) dan kalimat yang sukar dipahami.[57] Gharib secara etimologi berarti menyendiri. Adapun secara terminology hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi saja, baik dalam sebahagian tabaqat ataupun pada setiap tabaqat  bahkan meski hanya pada satu tabaqat saja.
Contoh, Hadis yang diriwayatka oleh Imam Bukhari :
عن محمد بن إبراهيم التيمي، عن علقمة بن وَقّاص الليثي، عن عمر بن الخطاب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى.

Hadis tersebut pada tabaqat pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar bin khattab, begitupun tabaqat kedua hanya diriwayatkan oleh al-Qamah, pada tabawat ketiga hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim at-Taimi.[58]
2.      Tinjauan Hadis dari Segi Kualitas
Setelah kita mengetahui hadis dari segi kuantitasnya maka yang sangat urgen juga mengetahui hadis dari segi kualitasnya Aritnya Hadis itu ditinjau dari segi  maqbul “diterima” atau mardud “ditolak”.
a.       Hadis Maqbul
Dalam cakupan ini, Hadis maqbul terbagi kepada beberapa bagian yaitu:
1. Shahih Lizatihi
a)      Pengertian
Shahih menurut bahasa berarti sehat, selamat, benar dan sempurna. Adalah lawan kata dari sakit.[59] Shahih menurut ibn Hajar al-Asqalani:
ما رواه عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ
“hadis yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil sempurna ke-dabit-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak ber-syadz”.[60] Dari defenisi diatas kita bisa menyimpulkan syarat-syarat hadis shahih.
b)      Syarat-Syarat
·         Bersambung sanadnya
·         Pe-rawi-nya adil (baik dari segi hafalan ataupun tulisan)
·         Pe-rawi-nya Dabit (mereka yang kuat hapalannya)
·         Tidak bersifat syaz (riwayat tersebut tidak berbeda dengan periwayatan yang lebih kuat darinya)
·         Tidak memiliki kecacatan, baik dari segi sanadnya, matannya, ataupun perawinya.[61]
2). Shahih Lighairih
Yaitu hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadis maqbul. Misalnya saja perawinya sudah diketahui ‘adil tapi dari sisi ke-dabit-annya, dinilai kurang.[62] Sehingga derajatnya turun yang tadinya sahih li dzatihi menjadi sahih li gairihi.
2). Hasan Lizatih
Hasan secara bahasa bisa berarti " ما تميل إليه النفس وترتاح إليه " yang dirindui nafsu dan yang disenanginya.
Secara istilah terdapat perbedaan ulama’ tentang pengertian ini, hal ini disebabkan karena kedudukannya berada pada pertengahan antara Hadis shahih dan Hadis dha’if.
·         Menurut ibn hajar dalam nukhba al-Fikr, hasan lizatih adalah hadis yang dinukilkan oleh orang yang adil, kurang kuat hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat serta tidak ada keganjilan didalamnya.
·          Menurut at-Turmudzi, hasan lizatih adalah yang selamat dari syadz (tidak menyalahi hadis yang lebih kuat), tidak tertuduh berbohong dan diriwayatkan dengan banyak jalan.[63]
·         Setelah meninjau secara seksama maka penulis lebih condong pada pengertian menurut Ibnu Hajar karena kelemahan pada dhabt adalah cirri khas dari Hadis hasan tersebut, sedangkan pengertian yang di paparkan oleh Turmizi, beliau hanya memandang Hadis hasan dari satu sisi, yaitu Hasan lighairih saja.
3). Hasan Lighairih
Adalah Hadis yang asalnya dha’if namun karena terdapat periwayatan yang lain yang sejalan dengannya.[64]
a.         Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”, sedangkan menurut istilah adalah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.[65]
Sebagian ulama’ telah membagi Hadis mardud kepada banyak bahagian dan memiliki nama-nama khusus, namun sebahagian ulama’ juga hanya menggaris besarkan Hadis mardud ini kepada satu bentuk yaitu, Hadis Ad-Da’if.

C.    TINJAUAN AKSIOLOGIS
1.      Otoritas Nabi Muhammad SAW.
Para ulama sepakat bahwa otoritas al-Qur’an mengikat seluruh muslim. Otoritas Nabi Muhammad saw bukan hanya berasal dari penerimaan umat terhadapnya sebagai pribadi yang punya otoritas, melainkan diekspresikan melalui kehendak Ilahi. Allah melukiskan kedudukan Rasul-Nya dalam al-Qur’an sebagai berikut:
a.       Penjelas al-Qur’an
             Nabi merupakan penjelas al-Qur’an yang diangkat oleh Allah, sebagaimana Allah berfirman “kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (QS.An-Nahl:44). Misalnya: Al-Qur’an memerintahkan mendirikan shalat dalam sejumlah ayat, tapi tidak dirinci bagaimana cara melakukannya dan tugas Nabi adalah menunjukkan cara melakukan shalat.
b.      Pembuat Hukum
             Allat swt menyebut kekuasaan Nabi Muhammad saw sebagai pembuat hukum, sebagaiman firmanNya: “Ia akan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang bagi mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.”(QS. Al-A’raf:157). Dalam ayat ini otoritas membuat hukum dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, jadi beliau bertindak sebagai penetap hukum bagi masyarakat. Nabi Muhammad saw memprakarsai hal-hal tertentu yang kemudian dinyatakan al-Qur’an sebagai praktek masyarakat yang baku. Misalnya menetapkan suatu kehalalan makanan diluar yang disebutkan al-Qur’an. Seperti menghalalkan makan daging babi.

c.       Model Perilaku Masyarakat Muslim
             Perilaku masyarakat muslim tentunya selalu berpola pada perilaku kehidupan Nabi Muhammad saw sebagaiman dalam Al-Qur’an (al-Ahzab: 21). Jika kita menganggap Nabi saw sebagai model bagi rakyat, maka masyarakat muslim harus mengikuti/meneladaninya dengan menjalankan atau menerima apa yang datang darinya dan meninggalkan apa yang dilarangnya, apalagi masyarakat muslim secara khusus telah diperintahkan oleh Allah untuk itu.
d.      Yang ditaati Secara Total
             Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa hanya perintah Allah dan Nabi yang sah mengikat seorang muslim, ia haruslah taat kepada keduanya. Dalam kehidupan Nabi Muhammad saw secara keseluruhan merupakan contoh yang baik bagi seluruh muslim dan patut diteladani karena seorang muslim tidak boleh ragu dalam menjalankan perintah Nabi saw. Dengan demikian ketaatan disini adalah ketaatan penuh bukan penyerahan setengah-setengah. Firman Allah: ”Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah” (QS. An-Nisa: 64). Dalam surah lain pun dijelaskan bahwa: ”Katakanlah, taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”(QS. Ali Imran:32).[66] Dijelaskan pula dalam al-Qur’an surah Al-Hasyr:7 ” Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
             Ketiga ayat di atas merupakan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan tentang otoritas Nabi Muhammad saw, dan menekankan bahwa seluruh hidup, keputusan, ketetapan dan perintahnya memiliki otoritas yang mengikat dan patut diikuti dalam seluruh segi kehidupan oleh individu dan masyarakat muslim. Seluruh aktifitas Nabi Muhammad saw dicakup oleh sunnah atau sunnah nabi yang telah, masih dan akan tetap menjadi salah satu sumber utama Hukum Islam, yaitu kedua setelah al-Qur’an.

2.      Kedudukan dan Fungsi Hadis

a.       Kedudukan Hadits
            Sebagaimana telah dipaparkan di awal makalah ini, bahwa hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Al-Qur’an dan Hadis memiki kaitan yang sangat erat sehingga untuk memahaminya dan mengamalkannya tidak bisa dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri. Ada beberapa dalil naqli yang menunjukkan bahwa hadis adalah sumber ajaran Islam, yaitu: Surah Ali Imran ayat 32, Surah An-Nisa ayat 59, Surat Al-Haysr ayat 7.
b.      Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
            Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran Islam yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama yang memuat ajaran-ajaran bersifat umum dan global. Sedangkan hadis sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk Allah swt sebagaimana dalam al-Qur’an surah An-Nahl:44
......وأنزلنا إِليك الزكر لتبين للناس .....
 “……. dan kami turunkan kepadamu az-Zikr (al-Qur’an) kepadam, agar engkau menerangkan kepada manusia…..”[67]

            Allah swt menurunkan al-Z}ikir, yaitu al-Qur’an bagi umat manusia agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Allah swt memerintahkan Rasulullah saw untuk menjelaskannya. Hadis sebagai penjelas atau bayan al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam fungsi:
1)      Baya>n al-Takrir
         Baya>n al-Takrir disebut juga bayan al-Ta’kid dan bayan al-Is\ba>t. Yang dimaksud dengan bayan adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al-Qur’an. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Umar, sebagai berikut:
إِذا رايتموه فصوموا وإِذا رايتموه فافطروا (رواه البخارى)
”Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR. Bukhari)
          
      Hadis ini men-takrir ayat al-Qur’an surah al-Baqarah:185
.......فمن شهد منكم الشهر فليصمه .......
“…… maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan hendaklah ia berpuasa”......

          Sebagai contoh lain kita bisa lihat pada hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Hurairah sebagai berikut:
قل رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقبل صلاة من احدث حتى يتوضاء
”Rasulullah saw bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu”.(HR. Bukhari dan Abu Hurairah)

2)      Baya>n Al-Tafsi>r
            Bayan at-Tafsir adalah membicaran perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal yang memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak dan memberikan tahsi>s (penentuan khusus) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum. Contoh ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkan jual-beli, pernikahan, qiya>s, hudud dan sebagainya. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah tersebut bersifat mujmal baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya ataupun halangan-halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah saw melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi:
صلوا كما رايتمونى أصلى (رواه البخارى عن ابى هريرة)
”Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihat saya shalat”.
          Hadis ini menerangkan tata cara menjalankan shalat, sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 43
وأقيمواالصلوة وءاتوا الزكوة واركعوا مع الراكعين[68]
”Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta dengan orang-orang yang ruku’".

            Adapun hadis yang mentaqyidkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak adalah sebagaimana sabda Rasulullah berikut ini:
أتى بسارق فقطع يده من مقصلى الكف
”Rasulullah saw didatangi seseorang yang membawa pencuri maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”.

Hadis ini mentaqyidkan ayat al-Qur’an surah al-Maidah ayat 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ .....[69]
”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah …..”

3)      Baya>n al-Tasyri’
          Yang dimaksud dengan bayan al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, bayan ini disebut juga bayan zai’d ala al-Kitab al-Karim. Hadis Rasulullah saw dalam segala bentuknya baik yang qauli, fi’li maupun taqrir berusaha menunjukkan kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat yang tidak mereka ketahui dengan memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya.
         Ada beberapa hadis Rasulullah saw yang termasuk dalam kelompok ini, diantaranya adalah penetapan haramnya mengumpulkan 2 wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya). Hukum syuf’ah, hukum merajam wanita pezina yang masih perawan dan hukum tentang hak waris seorang anak.
Hadis yang termasuk bayan al-tasyri’ sebagai berikut:
إِن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعامن غراوصاعامن شعير على كل حراوعبد زكر أوأنشى من المسلمين

”Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’a) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka ataupun hamba laki-laki atau perempuan”.

         Hadis ini wajib diamalkan seperti hadis-hadis lain, Ibnu al-Qayyim berkata bahwa hadis-hadis Rasulullah yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an harus ditaati dan tidak boleh menolak atau mengingkarinya. Ini bukanlah sikap (Rasulullah saw) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintahnya.
         Perlu diketahui bahwa ketiga bayan di atas yang telah diuraikan, dan telah disepakati oleh para ulama namun bayan yang ke tiga masih sedikit dipersoalkan. Sementara itu untuk bayan lainnya, seperti bayan al-Naskh terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengakui dan menerima fungsi al-Qur’an sebagai Nasikh dan ada pula yang menolaknya.
4)      Bayan al-Naskh
         Kata al-Nashk memiliki bermacam arti, yaitu al-Is\ba>l (membatalkan) atau al-Ija>lah (menghilangkan) atau al-Tagyi>r (mengubah). Para Ulama mengartikan bayan an-Nashk ini melalui pendekatan bahasa, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka dalam menta’rifkannya. Hal ini juga terjadi pada ulama mutaqaddimin. Yang dimaksud dengan menashk ialah adanya dalil syara’ (yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada) karena datangnya kemudian.
         Berdasarkan pengertian di atas, maka jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dari al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan dan isi al-Qur’an, demikinlah menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan al-Nashk. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadis yang muthawatir dan masyhur, sedangkan hadis ahad ia menolaknya. Salah satu contoh yang biasa dibahas oleh para ulama ialah hadis sebagai berikut:
لا وصية لوارث
”Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Hadis ini menurut mereka  me-nasakh isi al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 180 sebagai berikut:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِين[70]  

”Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, wasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.

3.      Ingkar Sunnah
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam.[71] Pada zaman Nabi Muhammad saw, umat Islam telah menyepakati bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam disamping al-Qur’an. Belum atau tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad saw ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661M) dan Bani Umayyah (661-750 M) belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
            Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah.[72]
            Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad saw dan tidak menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama[73].
            Hal ini dapat dipahami dari uraian al-Syafi’i dalam kitabnya “Al-Umm”, mereka itu oleh al-Syafi’i dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
1.      Golongan yang menolak seluruh sunnah Nabi saw
2.      Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
3.      Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad dan hanya menerima sunnah yang berstatus Mutawatir.[74]
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.
·         Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara totalitas
Banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan rasio. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan mereka sebagai alasan menolak sunnah secara total adalah surat an-Nahl ayat 89 :
ونزلنا عليك الكتاب تبينا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين[75]
            “Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”
Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:
...ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ....
            “…Tidaklah kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…”
            Menurut mereka kepada ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah. Bagi mereka perintah shalat lima waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat 78 dan lain-lain.[76] 
            Adapun alasan lain adalah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik dan tentunya al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.
·         Argumen kelompok yang menolak hadis ahad dan hanya menerima hadis Mutawatir.

Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.
            Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus didasarkan pada dalil yang qath’i yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh karena itu hanya al-Qur’an dan hadis mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam.
            Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar sunnah secara keseluruhan. Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah pada periode klasik.
            Tokoh-tokoh “ Ingkar Sunnah “ yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan Inilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor Departemen Agama Padang Panjang).[77]
            Sebagaimana kelompok ingkar sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli maupun aqli untuk menguatkan pendapat mereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia.[78] Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87 :
            ﻮَﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ
            Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Siapakah yang benar haditsnya             dari pada Allah”.
Kemudian surat al-Jatsiayh ayat 6:
ﻓﺒﺄﻱ ﺤﺪﻴﺚ ﺒﻌﺪ ﺍﷲ ﻮﺍﻴﺎﺗﻪ ﻴﺆﻤﻨﻮﻦ
            Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Maka kepada hadits yang           manakah selain firman Allah dan ayat-ayatnya mereka mau percaya”.
            Selain kedua ayat di atas, mereka juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul kepada umat manusia hanyalah al-Qur’an dan jika Rasul berani membuat hadis selain dari ayat-ayat al-Qur’an akan dicabut oleh Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik jamulnya, jamul pendusta dan yang durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak berhak untuk menerangkan ayat-ayat al-Qur’an, Nabi Hanya bertugas menyampaikan.
            Ternyata argumen yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi para pengingkar sunnah memiliki banyak kelemahan, misalnya :
1.      Pada umumnya pemahaman ayat tersebut diselewengkan maksudnya sesuai dengan kepentingan mereka. Surat an-Nahl ayat 89 yang merupakan salah satu landasan bagi kelompok ingkar sunnah untuk maenolak sunnah secara keseluruhan. Menurut al-Syafi’i ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, seperti dalam kewajiban shalat, dalam hal ini fungsi hadis adalah menerangkan secara teknis tata cara pelaksanaannya. Dengan demikian surat an-Nahl sama sekali tidak menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran. Bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadis.
2.      Surat Yunus ayat 36 yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak hadis ahad sebagai hujjan dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah zhanni adalah tentang keyakinan yang menyekutukan Tuhan. Keyakinan itu berdasarkan khayalan belaka dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Keyakinan yang dinyatakan sebagai zhanni pada ayat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak ada kesamaannya dengan tingkat kebenaran hasil penelitian kualitas hadis. Keshahihan hadis ahad bukan didasarkan pada khayalan melainkan didasarkan pada metodologi yang dapat dipertanggung-jawabkan.[79]  
            Kelemahan argument-argumen yang mereka kemukakan di atas disebabkan oleh beberapa faktor:
1.      Sebagian dari para pengikar sunnah itu meyakini bahwa bahwa Nabi Muhammad saw tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan al-Qur’an kepada umatnya. Nabi Muhammad saw hanyalah bertugas menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada pengikutnya, di luar hal itu Nabi Muhammad saw tidak memiliki wewenang. Sedangkan dalam al-qur’an surah al-Nahl: 44 dan al-Hasyr:7 telah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diberi kewenangan untuk menjelaskan al-Qur’an dan orang yang beriman diwajibkan untuk mematuhi Allah dan mematuhi Nabi Muhammad.
2.      Sebagian dari pengingkar sunnah tidak memiliki pengetahuan bahsa Arab yang cukup, sejarah Islam, sejarah periwayatan dan pembinaan hadis, berbagai kaidah, istilah dan ilmu hadis serta metodologi penelitian hadis.
3.      Sebagian dari pengingkar sunnah ingin memahami Islam secara langsung dari al-Qur’an berdasarkan kemampuan rasio semata dan merasa enggan untuk melibatkan diri pada pengkajian ilmu hadis dan metodologi penelitian hadis yang memiliki karakteristik tersendiri. Sikap yang demikian itu timbul mungkin disebabkan oleh keinginan untuk berfikir secara bebas tanpa terikat oleh norma-norma tertentu, khususnya yang berkaitan dengan hadis Nabi.
            Dalam al-Qur’an dijelaskan pula bahwa orang-orang yang beriman tunduk dan patuh kepada Rasulullah namun menurut para pengingkar sunnah hanyalah berlaku ketika Rasulullah masih hidup, yakni ketika jabatan ulil amri masih berada di tangan beliau. Setelah beliau wafat, maka jabatan sebagai ulil amri berpindah kepada orang lain dan karenanya, kewajiban patuh orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad menjadi gugur.[80]



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Hadis ialah Sesuatu yang datang dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan, Sinonim dari hadis, yaitu Sunnah, Khabar, dan Atsar, Sunnah pada dasarnya, tidak sama dengan hadis. Mengikuti arti bahasanya, sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi SAW. Yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Apabila hadis bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan – perbuatan beliau. Perbedaan al- Qur’an dengan hadis dijelaskan sebagai berikut:
a.       Al-qur’an mukjizat Rasul, sedangkan hadis bukan mukjizat sekalipun hadis qudsi.
b.      Al-qur’an terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan orang- orang jahil .sedangkan hadis tidak terpelihara seperti al-Qur’an
c.       Al-qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadis tidak banyak diriwayatkan secara mutawatir..
d.      Kebenaran ayat- ayat al-Qur’an bersifat qath’i al- wurud ( pasti atau mutlak kebenarannya) dan kafir yang mengingkarinya. Sedangkan kebenaran hadis kebanyakan bersifat zhanni al-wurud (relatif kebenarannya) kecuali mutawatir.
e.       Al-Qur’an redaksi ( lafal) dan maknanya dari Allah dan hadis Qudsi maknanya dari Allah redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedang hadis nabawi berdasrkan wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu.
f.       Proses penyampaian al-Qur’an melalui wahyu yang tegas (jali) sedang hadis qudsi melalui wahyu, atau ilham, atau mimpi dalam tidur.
g.      Kewahyuhan al-Qur’an disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang dibacakan) sedangkan kewahyuan sunnah disebut wahyu ghair matluw ( wahyu yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara jelas dan yakin kemmudian diungkapkan Nabi dengan redaksinya sendiri.
h.      Membaca al-Qur’an dinilai sebagai ibadah setiap satu huruf  pahalanya 10 kebaikan, sedang membaca hadis sekalipun qudsi tidak dinilai ibadah.
i.        Diantara surah al-Qur’an wajib dibaca dalam shalat seperi membaca surah al-Fatihah yang dibaca pada setiap raka’at. Sedangkan dalam hadis tidak ada yang harus dibaca dalam shalat sekalipun qudsi, bahkan tidak sah shalat seseorang yang menggantikan surah al-Qur’an dengan hadis qudsi.
2.      Dari segi epistemologi hadis meliputi: Unsur- unsur hadis terdiri dari sanad, matan, rawi dan mukharrij, Kalsifikasi hadis dari segi kuantitas perwinya yaitu mutawatir dan ahad, ( sebagian ulama berpendapat (mutawatir, masyhur,dan ahad) sedangkan klasifikasi hadis dari segi kualitas sanad dan matannya yaitu shahih, hasan dan dha’if.
3.      Dari segi aksiologis meliputi: Otoritas Nabi saw tidak terletak pada persetujuan masyarakat atau pendapat para ulama dan semacamnya melainkan telah ditegaskan dalam al-Qur’an sehingga dapat diterima oleh masyarakat sejak awal.Otoritas membuat hukum dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, beliau bertindak sebagai penetap hukum bagi masyarakat. Berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis, para sahabat dan kaum muslimin hingga dewasa ini selalu mengamalkan al-Hadis di samping mengamalkan al-Qur’an, karena hadis merupakan sumber hukum, banyak ayat al-qur’an dan hadis yang menjelaskan bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam selain al-qur’an yang wajib diikuti. Fungsi hadis terhadap al-qur’an: sebagai bayan at-Taqrir, sebagai bayan at-Tafsir, sebagai bayan at-Tasyri’, sebagai bayan an-Naskh. dan adapun Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya. Munculnya ingkar sunnah karena adanya kesalahan dalam menafsirkan atau memahami ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mereka menganggap bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya pegangan atau pedoman bagi umat Islam. Ada tiga golongan yang termasuk inkar al-Sunnah, yaitu:
a.       Golongan yang menolak seluruh sunnah
b.      Golongan yang menolak sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk al-qur’an
c.       Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad, golongan ini hanya menerima sunnah yang berstatus mutawatir.
B.   IMPLIKASI
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya diharapkan dapat berimplikasi positif dan membangun terhadap para pembaca dalam memahami tentang hadis dan sunnah. Terkhusus bagi para mahasiswa, penggiat, penuntut ilmu yang sedang mengkaji tentang hadis. Dan lebih khusus lagi bagi para pendidik yang mengajarkan Ilmu Hadis, sehingga bisa mengenalkan hadis secara menyeluruh lewat ilmu hadis.













DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam a’bi ‘Amru, Utsman bin ‘Abd al-Rahman al-Syahrzuri, Muqaddima ibn Salah fi ulum al-Hadis, Qahirah: dar al-Hadis, 2010.
al-Thahan Mahmud, Tafsir Mushtalahul al-Hadis, Surabaya: Syarikat Bhulugul Indah,1998.
Amin Kamaruddin, menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, Cet. 1; Bandung: Penerbit Hikmah, 2009.
As- Shalih, Subhi. Membahas Ilmu- Ilmu Hadis ; Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993.
Ash- shiddieqy, M. Hasbi. Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jilid I; Jakarta: Bulan Bintang, 1958.
ath-Thahan Mahmud,Tafsur Mushtalah al-Hadis Cet. VIII; Riyadh:Maktabah al-Ma’arif,1987
Wahab Abul Abdul Latif, Tadribu Ar-Rawi Fi Syarhi At-Taqribu An-Nawawi Lis-Suyuty, Cet. II, 1385.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Usul al-hadis Ulumuhu wa Mustalahuhu. Cet. III, Beirut: dar al-Fikr, 1995.
Al-Qathan, Syaikh Manna. Mabahis fi Ulum al-Hadis, alih Bahasa Mufidhal Abdurrahman, dengan judul ”Pengantar Studi Hadits”, Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005.

As-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, diterjemahkan tim pustaka firdau dengan judul “membahas Ilmu-ilmu Hadis”. Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Azami, M.M., Study in Hadis Methodology and Literature, diterjemahkan oleh Manadi dengan Judul “study penelitian hadis dan sejarah”, Cet.I: Jakarta, Lentera, 1999.          
Bisri, KH. Adib, KH. Munawir AF, Al-Bisri, Kamus Indonesia-Arab Arab-Indonesia, Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Alquran: 1979/1980.
Djamaluddin, M. Amin, Bahaya Ingkar Sunnah, Jakarta: Ma’had ad-Dirasati al-     Islamiyah, 1986.
Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadis; Jakarta: Amzah, 2010.

Ismail, Syuhudi, H.M. Prof. Dr. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insan Press, 1995.
-----------Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.
Mukhtasar, Imam al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, alih bahasa Rafiq Saleh Tahurid dengan judul,”apa itu alquran”, (Cet. IV; Jakarta: Gema Insani Press, 1991
Siba’i, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam,    diterjemahkan oleh Nurcholis Majid, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993.

Sulaiman, Noor, Antologi Ilmu Hadits, Cet. I, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, Cet. I, IAIN Raden Fatah Press, Palembang, 2006
https://mubhar.wordpress.com/2009/12/29/unsur-unsur-hadis/, diakses pada Senin 6 April 2015.









[1] Departemen Agama RI., Alquran dan Terjemahannya, diterjemahakan oleh Yayasan Penyelenggara  Penerjemah al-Quran, Semarang: PT. Karya Toha Putra 2002, h.2.

[2] Imam al-Suyuti, Mukhtasar al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, alih bahasa Rafiq Saleh Tahurid dengan judul,”Apa itu al-Quran”, (Cet.IV; Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h.86.
[3]Kamaruddin Amin, menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, (cet. 1; Bandung: Penerbit Hikmah, 2009), h. 1
[4]Al-Imam a’bi ‘Amru, Utsman bin ‘Abd al-Rahman al-Syahrzuri, Muqaddima ibn Salah fi ulum al-Hadis, (Qahirah: dar al-Hadis, 2010), h. 15
[5]Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis, (Cet.I, Jakarta: Amzah, 2009), h. 2.
[6]Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki> al-Hasani>,  al-Manhal al-Lat}i>f fi> ‘Us}u>l al-Hadi>s| al-Syari>f. (t.t, t.p, 1999), h. 48.
[7]Muhammad Ali> Da>wud, ‘Ulu>m al-Qur’an wa al-Hadi>s, (t.t, t.p, 1984), h. 166
[8] Al-Bukhari, S}ahi>hu al-Bukhari, Al-Maktabah al-Sya>milah, [CD-ROM] Version 12 G.
[9] Al-Bukhari, S}ahi>hu al-Bukhari, Al-Maktabah al-Sya>milah, [CD-ROM] Version 12 G.
[10] Abu Dawud, Sunan Abi Da>wud, Al-Maktabah al-Sya>milah, [CD-ROM] Version 12 G.
[11] Al-Tirmidzi, Sunan al-Turmudzi, Al-Maktabah al-Sya>milah, [CD-ROM] Version 12 G.
[12] Ini berdasarkan hadis nabi    من سن فى الاسلام سنة حسنة فله اجرها...الخ (اخرجه الامام مسلم)  :
[13] Fatchur Rahman,  Ikhtisar Mus}t}alah}ah al-H}adi>s|, (Cet. I; Bandung: Alma’arif, 1974), h. 20.
[14] Muhammad ‘Ujaj al-Khatib, ‘Us}ul al-H}adi>s| ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}ahu, (Bairut: Dar al- Fikri, 1989), h. 19.
[15] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, et al., eds. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet.I, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 6.
[16] Definisi ini juga sama dengan yang dikemukakan oleh : Muhammad al-Zafza>f , Al-Ta’ri>f  bi al-Qur’an wa al-Hadi>s|, (Cet.I, t.d), h. 194.
[17] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, et al., eds. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 27.
[18] Pengertian sunnah bahwa “bila dikerjakan diganjar pahala dan tidak mengerjakannya tidak apa-apa”. Dalam hal ini, sebaliknya penulis malah memandang hal itu tidak baik, cenderung mendorong untuk tidak melakukannya, bukannya ajaran Islam itu selalu memotivasi pengikutnya untuk meraih pahala kebaikan sebanyak-banyaknya?
[19]Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki> al-Hasani>,,  h. 10.
[20] Muhammad Ali Rowad, Ulum al-Qur’an wa al-Hadis (Oman : Dar al-Basyiah, 1984), h.  169. Bandingkan dengan Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki> al-Hasani>,  h. 51.
[21] Muhammmad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa>’id al-Tahdi>s| min Funu>n Mus}t}alaha al-Hadi>s|. (Bai>rut : Da>r al-Kutub al-Isla>mi>, t.th) h.  61. lihat juga Teungku M Hasbi ash-Shiddieqy,  h. 21.
[22] Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki> al-Hasani>, h. 52.
[23] 'Umar Abd al-Mun'im al-Sali>m, Tai>si>r al 'Ulu>m al-Hadi>s|, (Kairo : Maktabah ibn Tai>miyah, 1997), h.12.
[24] Subhi As-shalih,  membahas Ilmu – Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) hal. 17
[25] Muhammad ‘Uja>j al-Khati>b, h. 28.
[26] Al-Bukhari, S}ahi>hu al-Bukhari, Al-Maktabah al-Sya>milah, [CD-ROM] Version 12 G.
[27]Umar Hasyim, Qawa>id al-‘Usu>l al-Hadi>s|. (Bairut: Da>r al-Fikr, t.th), h. 24. Lihat juga Muhammad ‘Ujja>j al-Khati>b,, h. 29. Lihat juga Hasbi Ash- Sidiqiy, h. 22.
[28] Muhammad ‘Ujja>j al-Khati>b, h. 30.
[29]Mahmud al-Thahan, Tafsir Mushtalahul al-Hadis, (Surabaya: Syarikat Bhulugul Indah,1998), h. 16
[30]Munzier Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 45
[31]Abustani Ilyas, La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontology, Epistemology dan Aksiologi, (cet.1: alauddin university press), h. 13
[32]Munzier Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 45
[33]Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah, Maqayis al-Lugah, ,( Jilid V; Beirut: Ittihad al-kitab al-Arab 2002), h. 294
[34]Mahmud ath-Thahhan,Tafsur Mushtalah al-Hadis (Cet. VIII; Riyadh:Maktabah al-Ma’arif,1987), h. 16
[35]Munzier Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 46
[36] Mudasir. Ilmu Hadis (Cet. IV; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h 61-63
[37]Munzier Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 47

[38]Idri, studi hadis, (cet. 1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h. 39
[39]Moh. Anwar, Ilmu Musthalahah Hadits, (Cet I; Surabaya: AL-IKHLAS, 1981), h.16.
[40]Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadist. (Cet I; Bandung:PT Alma’arif, 1974), h. 86.
[41]Idri, studi hadis, (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 131
[42]Moh. Anwar, Ilmu Musthalahah., h.18.
[43]Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadist, h. 88.
[44]Abul Wahab Abdul Latif, Tadribu Ar-Rawi Fi Syarhi At-Taqribu An-Nawawi Lis-Suyuty, (Cet. II, 1385 H), h. 177
[45]Nuruddin Ittir, Nuzha al-Nazar fi tawdih nukhba al-Fikr, (Cet. I; al-Qahirah: dar al-Basair, 2011), h. 43
[46]Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul, h. 90-95.
[47]Nuruddin ‘ittir, manhaj al-Naqd fi ulum al-hadis, (Cet. XXXII; Damsyik: dar el-fikr), h. 405
[48]Nuruddin ‘ittir, manhaj al-Naqd fi ulum al-hadis, (cet. 32; Damsyik: dar el-fikr), h. 406
[49]Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra 1999), h. 122.
[50]Idri, studi hadis, (cet. 1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h.141
[51]Mudatsir, Ilmu Hadis, h. 127
[52]Idri, studi hadis, (cet. 1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h. 142
[53]Ahmad bin Syu’aib Abdur Rahman An-Nasa’I, Sunan An-Nasa’I Kubra’, (Cet.I, Beirut: Dar. Kutub Al-‘A͞lamiyah; 1411 H/ 1991 M), h. 455
[54]Sholahudin. Suryadi, Agus. Ulumul Hadis.  (Cet. I; Bandung : Pustaka Setia, 2009), h. 134
[55]Munzier Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 116
[56]Munzier Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 117
[57]Sholahudin. Suryadi, Agus. Ulumul Hadis, h. 137
[58]Fatchur Rahmman, ikhtishar mushthlahul-hadits, (cet. 1: PT al-ma’arif, 1974), h. 69
[59]Idri, studi hadis, (cet. 1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h. 157
[60]Nuruddin Ittir, Nuzha al-Nazar fi tawdih nukhba al-Fikr, (cet. 1; al-Qahirah: dar al-Basair, 2011), h. 58
[61]Munzier Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 130
[62]Munzier Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 134
[63]M. hasbi ash dhiddieqy, pokok-poko ilmu dirayah hadits, (cet. Ketujuh; Jakarta: bulan bintang, 1987), h. 162
[64]Nuruddin ‘ittir, manhaj al-Naqd fi ulum al-hadis, (cet. 32; Damsyik: dar el-fikr), h. 268
[65]Munzier Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 125
                [66] Al-Qur’an  dan Terjemahannya h. 115 dan 67
                [67] Al-Qur’an  dan Terjemahannya, h. 370
[68] Al-Qur’an Alkarim

[69] Al-Qur’an Alkarim
                [70] Al-Qur’an Alkarim
[71] Drs. Suyitno, M.Ag, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Cet. I,  IAIN Raden Fatah Press, Palembang, 2006), h. 275.

[72] H. M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Cet. I,  Penerbit: Gaung Persada Press, Jakarta, 2008), h. 277

[73] H. M. Noor Sulaiman PL., h. 200

[74] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa 1991), h. 141

                [75] Al-Qur’an   Al-Karim
[76] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h. 16.
[77] M. Amin Djamaluddin, Bahaya Ingkar Sunnah, (Jakarta: Ma’had ad-Dirasati al-Islamiyah, 1986), h. 1

[78] M. Amin Djamaluddin, Bahaya Ingkar Sunnah, h. 45 dan 27.
[79] Mustafa Siba’i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis Majid, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993), h. 122-125.
                [80] H.M. Suhudi Ismail, h. 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar