HADIS
& SUNNAH
(
TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS & AKSIOLOGIS)
oleh Hamsiati
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam hidup dan kehidupan di muka
bumi ini manusia membutuhkan pedoman. Sebagai seorang muslim tentulah
berpedoman pada al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah:2
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لارَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين
“(Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”[1].
Untuk menjadikan
al-Qur’an sebagai pedoman dalam kehidupan manusia, khususnya orang yang beriman
dituntut memiliki pengalaman yang dalam dan bantuan penjelasan dari Nabi
(sunnah). Sunnah menurut sebahagian ahli hadis sama dengan hadis yaitu segala
sesuatu yang diajarkan oleh Nabi saw melalui perkataan, perbuatan, penetapan
atau takrir dan akhlak serta sifat-sifatnya yang terpuji[2].
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua
setelah al-Qur’an yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umat Islam.
Sebagai sumber hukum kedua, kita sebagai umat Islam wajib mempelajarinya.
Terkhusus kepada para penuntut ilmu yang muslim.
As-Sunnah merupakan salah satu otoritas Islam
kedua setelah al-Quran, sejumlah literature hadis memiliki pengaruh yang sangat
menentukan dan menjadi sumber hukum dan isnpirasi agama.[3]
Hadis pada mulanya berkembang hanya melalui mulut ke mulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum
mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadis-hadis Nabi yang bertebaran. Mereka
merasa cukup dengan menyimpan dalam hapalan para sahabat dan para tabi’in.
Seiring dengan perkembangan periwayatan hadis, telah muncul pula
pemalsuan hadis yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab demi sebuah kepentingan, sehingga menambah dorongan para ulama hadis
untuk lebih hati-hati dalam melakukan periwayatan hadis. Misalnya
kehatian-hatian dalam menciptakan berbagai kaidah dan ilmu hadis baik berkenaan
dengan matan maupun sanad. Maka suatu riwayat dapat diketahui apakah riwayat
itu betul-betul hadis Nabi atau bukan, dengan menggunakan kaidah-kaidah
tersebut.
Ilmu hadis membahas macam-macam masalah yang sangat banyak
jumlahnya, sehingga juga menghasilkan banyak istilah. Tiap-tiap masalah
dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri. Sebagaimana Ibn al-Shalāh dalam
Muqaddimahnya menyebutkan 65 macam cabang ilmu untuk ilmu hadis.[4]
Salah satu pembahasan yang paling urgen untuk diketahui oleh para
pengkaji hadis tentang keadaan hadis, kapan hadis tersebut bisa dijadikan
Hujjah dan bagaimana kedudukan serta aplikasinya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah itu
hadis ( tinjauan ontologis) ?
2.
Bagaimana itu
hadis ( tinjauan epistemologis ? dan,
3.
Apa realisasi
dari hadis itu ( tinjauan aksiologis ) ?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Makalah ini bertujuan untuk:
1.
Menjelaskan
tentang hadis dari segi ontologis.
2.
Menjelaskan
bagaimana hadis itu dari segi epistemologis, dan
3.
Menjelaskan
hadis dari segi aksiologis
BAB II
HADIS & SUNNAH
( TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS & AKSIOLOGIS)
A.
TINJAUAN ONTOLOGIS
1.
Pengertian Hadis
Kata hadis sendiri secara
etimologi (bahasa) bisa diartikan sebagai berikut:
a. Jadi>d yang berarti baru, merupakan antonim dari kata qadi>m (lama).
b.
Qari>b yang berarti dekat, diambil dari kalimat hadis| al-‘ahdi bi al-isla>m yang
berarti orang yang baru masuk Islam.
c. Khabar yang berarti warta atau
berita.
Sedangkan secara
terminologi hadis adalah segala ucapan, perbuatan dan ketetapan nabi Muhammad setelah beliau
diangkat menjadi Nabi.
Mahmud al-T}ahh}a>n
mendefinisikan sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid Khon:
ما جاء عن النبى صلى الله عليه و سلم سواء كان قولا أو فعلا أو تقريرا.[5]
Segala sesuatu yang datang dari Nabi saw baik berupa perkataan atau perbuatan
dan atau persetujuan.
Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki>
al-Hasani> mendifiniskan hadis:
ما أضيف للنبى صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير.[6]
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw berupa perkataan,
perbuatan, dan persetujuan.
Sedangkan Muhammad Ali
Dawud mendefinisikan hadis adalah:
ما أضيف إلى الرسول صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة من
صفاته.[7]
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan dan karakter.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil sebuah pengertian
hadis adalah segala sesuatu hal yang berasal dari Nabi saw baik itu perkataan
atau perbuatan, persetujuan, dan karakter sesudah diangkat menjadi nabi.
Contoh hadis Nabi yang berupa perkataan (qauli) misalnya perkataan Nabi saw:
صحيح البخارى
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِىُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِىُّ قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمَّدُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِىُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىَّ
يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رضى الله عنه - عَلَى الْمِنْبَرِ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ».[8]
Contoh hadis berupa perbuatan (fi'li) ialah:
صحيح البخارى
حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى
جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ
وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ.[9]
Contoh hadis berupa ketetapan (taqri>ri) ialah:
سنن أبى داود
حَدَّثَنَا حَفْصُ
بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِى بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم- سَمْنًا وَأَضُبًّا
وَأَقِطًا فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَمِنَ الأَقِطِ وَتَرَكَ الأَضُبَّ تَقَذُّرًا
وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ
رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم.[10]
Contoh hadis berupa sifat (was}fi) ialah
سنن الترمذى
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ
بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِىُّ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ
أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَبْعَةً لَيْسَ
بِالطَّوِيلِ وَلاَ بِالْقَصِيرِ حَسَنَ الْجِسْمِ أَسْمَرَ اللَّوْنِ وَكَانَ
شَعْرُهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ وَلاَ سَبْطٍ إِذَا مَشَى يَتَكَفَّأُ. قَالَ وَفِى
الْبَابِ عَنْ عَائِشَةَ وَالْبَرَاءِ وَأَبِى هُرَيْرَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ
وَأَبِى سَعِيدٍ وَجَابِرٍ وَوَائِلِ بْنِ حُجْرٍ وَأُمِّ هَانِئٍ.[11]
2. Sinonim
Hadis
Ada beberapa istilah yang merupakan sinonim dari hadis, yaitu Sunnah,
Khabar, dan Atsar . berikut ini akan dibahas pengertian masing –
masing, yaitu sebagai berikut:
a. Sunnah
Adapun sunnah secara etimologi adalah jalan yang
dilalui baik itu tercela maupun terpuji.[12] Sedangkan secara
terminologi sunnah mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena ulama
memberikan pengertian sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing.[13]
- Menurut ulama pakar hadis (muhaddis|u>n), adalah : semua hal yang berasal dari Nabi, baik yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Jadi, menurut pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik semisal tubuh, rambut, jenggot, maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat jadi rasul.[14] Mayoritas dari ulama pakar hadis (muhaddis|u>n) menetapkan bahwa sunnah dalam arti ini, menjadi mura>dif (sinonim) bagi perkataan hadis.[15] Dengan demikian pengertian hadis dan sunnah adalah sama menurut mereka.
- Sedangkan menurut ulama usul fikih, adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (selain al-Qur’an) berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan, namun mereka membatasinya hanya dengan yang bisa dijadikan sebagai acuan pengambilan hukum.[16] Hal ini disebabkan mereka memandang nabi Muhammad sebagai syari> (pembuat syariat) disamping Allah. Hanya saja ketika ulama usul fikih mengucapakan hadis secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah qau>liyyah. Karena sunnah menurut mereka mempunyai arti yang lebih luas dari hadis, yaitu mencakup semua hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum tidak hanya sebatas ucapan saja.[17]
- Menurut ulama fikih lain lagi, mereka memberikan pengertian bahwa sunnah adalah segala suatu hal dari Nabi yang tingkatanya tidak sampai pada tingkatan wajib atau fardhu, artinya mendapatkan pahala bila dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan.[18] Mereka memandang nabi Muhammad sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan perbuatanya mengandung hukum syara’.[19]
Akan tetapi menurut kami
bahwa pendapat ini tidak relevan dan singkron dengan pengertian sunnah dalam
ilmu hadis, sehingga pendefinisian tersebut perlu dikaji kembali relevansi dan
singkronisasinya dengan istilah sunnah dalam ilmu hadis.
b. Khabar
Menurut arti bahasa khabar
ialah berita yang disampaikan.[20] Berdasarkan arti bahasa,
khabar memiliki arti yang hampir sama dengan hadis, karena tahdi>s
(pembicaraan) artinya tidak lain adalah ikhba>r (pemberitaan). Hadis
Rasulullah adalah berita-berita yang disandarkan kepada Nabi saw. Menurut istilah, ada beberapa versi definisi tentang khabar.
Diantaranya "hadis
yang disandarkan pada sahabat", "segala berita yang diterima selain
dari Nabi" dan lain sebagainya. Dalam permasalahan terminologi khabar,
penulis lebih sepakat dengan definisi yang pertama-sebagaimana juga dikemukakan
oleh ulama Khurasan yaitu khabar ialah hadis yang disandarkan pada sahabat
(mauquf). Hanya saja hal ini dimaksud untuk memudahkan klasifikasi serta untuk
membedakan antara khabar dengan hadis atau sunah.[21]
c.
Atsar
Secara etimologi ats\ar
berarti bekas atau sisa. Sedangkan mengenai definisi terminologis ats\ar ada dua pendapat.
Pertama, sinonim dengan hadis. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan
ketetapan sahabat Nabi.[22] Pendapat yang kedua
ini mungkin berdasarkan arti etimologisnya yaitu penjelasan bahwa perkataan
sahabat merupakan sisa dari sabda Nabi. Sehingga perkataan sahabat disebut
dengan atsar merupakan sesuatu yang wajar.
Dari penjelasan tentang
definisi hadis, sunah, khabar
dan atsar di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan terminologi yang digunakan
oleh para pakar hadis (muhaddis|u>n) terkait ruang lingkup dan sumber
keempat definisi tersebut. Hadis atau sunnah memberikan pengertian bahwa perawi
mengutip hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw (marfu>’).
Sedang khabar tidak hanya mencakup hadis marfu’ saja, akan tetapi juga
mengakomodasi yang mauqu>f
(perawi hanya bersumber dari sahabat saja tidak sampai pada Rasulullah).
Bahkan juga yang hanya berhenti sampai tingkatan tabi’in (maqtu>’)
saja. Sedangkan atsar oleh para pakar hadis lebih diidentikkan hanya pada hadis
mau>qu>f atau maqtu>’ saja.[23]
Untuk memudahkan pengidentifikasian, maka
lebih baik apabila istilah hadis, sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam
pendefinisiannya. Hal ini dilakukan bukan untuk mendistorsi makna dari istilah
tersebut, tetapi lebih dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi. Selain itu,
diharapkan lebih mempermudah dalam
memahami struktur hadis. Sehingga pada akhirnya, menurut hemat penulis
terminologi hadis dan sunnah dipergunakan untuk hadis marfu>’, dan khabar
untuk hadis mau>qu>f serta atsar untuk hadis maqtu>’.
Berikut ini rangkuman perbedaan hadis dan
sinonimnya.
Hadis dan sinonimnya
|
Sandaran
|
Aspek dan Spesifikasi
|
Sifatnya
|
Hadis
|
Nabi
|
Perkataan (qauli)
Perbuatan (fi’li)
Persetujuan (taqriri)
|
Lebih khusus dan sekalipun dilakukan
sekali
|
Sunnah
|
Nabi dan para sahabat
|
Perbuatan (fi’li)
|
Menjadi tradisi
|
Khabar
|
Nabi dan selainnya
|
Perkataan (qauli)
Perbuatan (fi’li)
|
Lebih umum
|
Atsar
|
Sahabat dan tabi’in
|
Perkataan (qauli)
Perbuatan (fi’li )
|
Umum
|
3. Perbedaan
Pandangan Ulama tentang Hadis dan Sunnah
Sunnah pada dasarnya, tidak sama dengan hadis. Mengikuti arti bahasanya,
sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi SAW. Yang tercermin dalam
perilakunya yang suci. Apabila hadis bersifat umum, meliputi sabda dan
perbuatan Nabi, maka sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan – perbuatan
beliau. Karena perbedaan dua pengertian ini, kadang – kadang kita mendapati
ucapan ahli hadis : hadis menyalahi kiyas, sunnah dan ijma’ atau ucapan “imam
dalam hadis”, “imam dalam sunnah”, “ imam dalam keduanya”. Yang lebih aneh
lagi, kedua pengertian tersebut satu sama lain justru saling menguatkan, seakan
– akan berbeda sama sekali, sehingga sah – sah saja bila ibnu Nadim menyebutkan
satu kitab dengan judul : Kitab Sunan dengan Dalil Hadis .[24]
Ketika Islam member “jalan” dengan kata sunnah, orang – orang Arab tidak
terkejut, mereka sudah mengenalnya dengan arti ini, sebgaimana mereka mengenal
lawan katanya, bid’ah. Mereka paham sekali makna itu, sampai ketika disandarkan
kepada asma Allah yang agung, seperti dalam firman-Nya: “sebagai sunnah Allah
yang berlaku atas orang – orang yang telah terdahulu sebelumnya,”
(QS.Al-Ahzab:62)
Adapun orang- orang yang mendengar lafadz sunnah dari hadis Nabi seperti
dalam sabdanya : “ hendaknya kalian berpegang teguh kepada sunnah-ku”, maka
pada saat itu mereka tidak ragu lagi bahwa maksud kata itu adalah jalan dan
cara Nabi SAW. Dalam kehidupan beliau, baik yang bersifat khusus maupun umum.
4. Perbedaan
Hadis Nabi, Hadis Qudsi dan Al-Qur’an.
Pengertian hadis adalah
sebagaimana penjelasan di atas, sedangkan kata qudsi itu dinisbahkan kepada al-quds
secara etimologi menunjukkan arti kebersihan dan kesucian. Dengan demikian,
hadis qudsi adalah hadis yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu
Allah swt. Dan secara terminologi, pengertian hadis qudsi terdapat dua versi.
Pertama; hadis qudsi merupakan kalam Allah swt (baik dalam sturktur maupun
substansi bahasanya), dan Nabi hanya sebagai penyampai.
Kedua hadis qudsi adalah perkataan dari Nabi, sedangkan isi dari
perkataan tersebut berasal dari Allah SWT. Maka dalam redaksinya sering memakai
قال الله
تعالى.[25]
Dalam hal ini penulis lebih condong pada
pengertian hadis qudsi yang kedua. Dengan alasan untuk membedakan antara
al-Qur'an dan hadis qudsi dalam proses terjadinya. Contoh hadis Qudsi :
صحيح البخارى
حَدَّثَنِى بِشْرُ
بْنُ مَرْحُومٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ
أُمَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى سَعِيدٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه
- عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « قَالَ اللَّهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا
خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، رَجُلٌ أَعْطَى بِى ثُمَّ غَدَرَ ، وَرَجُلٌ
بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى
مِنْهُ ، وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ ».[26]
Perbedaan antara
al-Qur’an dengan hadis dan hadis Qudsi
adalah sebagai berikut:[27]
a. Al-Qur’an secara struktur dan substansi bahasanya berasal
dari Allah. Hadis Qudsi struktur bahasanya berasal dari Nabi sedangkan
substansi bahasanya berasal dari Allah.
b.
Redaksi yang digunakan
oleh Nabi pada al-Qur’an adalah Allah telah berfirman, sedangkan dalam hadis
Qudsi redaksi yang digunakan adalah Allah telah meriwayatkan kepadaku.
c.
Al-Qur’an merupakan
mukjizat sedangkan hadis Qudsi tidak.
d.
Al-Qur’an hanya
diturunkan melalui perantara malaikat Jibril, sedangkan hadis Qudsi bisa dengan
melalui ilham maupun mimpi.
Perbedaan antara hadis Qudsi dengan Hadis Nabi
yang paling pokok adalah bahwa hadis Qudsi ada kaitannya dengan Allah (ada
nisbat) meskipun hanya dalam substansi bahasanya. Hal ini berbeda dengan hadis
Nabi yang mana struktur maupun bahasanya berasal dari Nabi.[28]
Meskipun demikian bukan berarti apa yang dikatakan oleh nabi merupakan sesuatu
yang berasal dari nafsu belaka. Akan tetapi mempunyai pengertian hadis Nabi
dalam proses terungkapkannya oleh nabi tidak harus menunggu wahyu dari Allah.
B.
TINJAUAN EPISTEMOLOGIS
1.
Unsur – Unsur Hadis
Unsur – unsur
hadis dapat kita lihat sebagai berikut :
a. Sanad
Kata
“Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”[29]
atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karna hadis
bersandar kepadanya.[30]
Menurut
terminologi, sanad adalah:
سلسلة الرواة الذى نقلوا المتن عن مصدر الأول
“Rangkaian
para periwayat hadis yang mengutip matan hadis dari sumber awal (Rasulullah
saw.)”[31]
Menurut al-Badru bin Jama’ah dan al-Tiby sanad adalah:
الإخبار عن طريق المتن
“pemberitahuan dengan cara penyampaian melalui matan”.
Ada juga yang menyebutkan:
سلسلة الرجال
الموصل الي المتن
“silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang
menyampaikannya kepada matan hadis”.[32]
Jikalau kita mencermati beberapa pengertian diatas,
maka kita dapat menyimak kesamaan
persefsi para ulama' tentang pengertian sanad secara terminology, begitupun
keterkaitan yang terjadi antara makna etimologi dan terminoloinya, bahwa sanad
sangat berperan penting untuk membawa kita menuju kepada matan Hadis, karena
sanad adalah sandaran dari pada matan itu sendiri.
Contoh Sanad
عن أبي الزناد عن الاعرج عن أبي هريرة أن
رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول
b. Matan
Menurut bahasa kata “matan” berasal dari bahasa
Arab, “matana” yang berarti punggung jalan atau muka jalan,[33]
secara etimologi berarti “ma irtafa’ min al_ard” (tanah yang meninggi).
Sedangkan menurut terminology adalah:[34]
ما ينتهي اليه السند من الكلام
“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”[35]
Contoh Matan
أن رسول الله صلي الله عليه و سلم قال اذا
قلت لصاحبك أنصت والإمام يخطب يوم الجمعة ققد لغوت...
c. Rawi
Kata “Rawi” berarti orang yang meriwayatkan
atau memberitakan hadis (naqil al-hadis)
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua
istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadis dalam tiap tingkatannya,
juga disebut sebagai rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang
meriwayatkan dan memindahkan hadis. Akan tetapi yang membedakan antara rawi dan
sanad, adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadis. Kedudukan sanad dalam riwayat hadis sangat penting sehingga
suatu berita dapat dinyatakan sebagai hadis, sebaliknya apabila suatu hadis
tidak bersanad sama sekali maka berita ini tidak dapat dikategorikan
sebagai sebuah hadis.[36] Orang yang menerima hadis dan kemudian
menghimpunnya dalam suatu kitab disebut dengan perawi.[37]
Contoh Rawi
(رواه
البخاري) أو (رواه المسلم) أو (المتفق عليه)
d. Mukharrij
Mukharrij secara bahasa adala orang yang mengeluarkan. Kaitannya dengan
hadis, mukharrij adalah orang yang telah menukil atau mencatat hadis pada
kitabnya, seperti kitab al-Bukhari.
Memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang lain lalu membukukannya
dalam kitab disebut mukharrij. Oleh sebab itu, semua perawi hadis yang
membukukan hadis yang diriwayatkannya disebut mukharrij seperti para
penyusun al-kutub al-tis’ah (kitab sembilan). contoh:
البخاري أخرجه : dikeluarkan oleh Bukhari. (HR. Al- Bukhari)
رواه المسلم : diriwayatkan oleh
Muslim . (HR. Muslim).
2.
Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas dan
Kualitas
Periwayatan hadis pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’
al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. pada
satu sisi, perhatian sahabat masih terpokus pada pemeliharaan al-Quran dan berusaha membatasi
periwayatan hadis tersebut. Khawatir akan terjadi kekeliruan bercampurnya
al-Quran dengan Hadis.[38]
Begitu juga pada masa tabi’n. selanjutnya, pada abad ketiga hadis mulai
kodifikasi dan pembukuan serta munculnya cabang ilmu yang khusus mengkaji
hadis. Ketelitian serta kehati-hatian ulama dalam menyapaikan hadis sehingga
ulama membuat klasifikasi hadis, diantaranya klasifikasi dari segi kuantitas
dan kwlaitas hadis, tujuannya untuk mengetahui ciri dan bentuk hadis yang
semestinya kita pedomani.
1.
Tinjauan Hadis dari Segi Kuantitas
Yang dimaksud Hadis ditinjau dari segi kuantitasnya
adalah tinjauan jumlah sanad atau yang
dilalui oleh matan Hadis tersebut, hingga sampai pada rawi atau musnid yang
meriwayatkan atau yang membukukan Hadis tersebut, yang selanjutnya sampai
kepada kita sekarang ini. Para ulama’ Hadis ketika meneliti hal ini, maka
ditemukannya, ada dua macam bentuk Hadis apabila ditinjau dari segi
kuantitasnya.
a. Hadis Mutawatir
1). Pengertian Hadis Mutawatir
Kata mutawatir, secara etimologi, merupakan isim
fa’il dari kata al-tawatur yang bermakna al-tatabu’
(berturut-turut) atau majiu al-syai’ yatlu ba’dahu ba’dan min gaeri
takhallul (datangnya sesuatu secara berturut-turut dan bergantian tanpa ada
yang menyela). Hadis mutawatir bias juga diartikan sebagai suatu hasil
hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang
menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.[39] Hal tersebut seimbang dari permulaan sanad
hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.[40]
Dalam bahasa arab dikatakan: tawatara al-matru (hujan turun secara terus
menerus)
Secara terminology, mutawatir adalah :
ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم علي
الكذب
“Sesuatu yang di riwayatkan
dengan jumlah yang banyak dan mustahil begi mereka untuk bersepakat dalam
kebohongan”
Maksud defenisi tersebut, adalah hadis yang
diriwayatkan oleh para periwayat yang banyak pada tiap thabaqat
(tingkatan/generasi) sanadnya yang menurut aqal dan adat kebiasaan mustahil
para periwayat itu sepakat untuk membuat hadis yang bersangkutan.[41]
Adapun hadis yang tidak dapat dikategorikan dalam
hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar
pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang
terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang
banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita
secara dusta.[42]
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu
perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu
langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau
orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang
kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara
perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada
pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz
diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau
sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang
secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.[43]
2). Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Beranjak dari pengertian diatas maka kami dapat
menarik sebuah kesimpulan, bahwasanya Hadis mutawatir itu memiliki standar
syarat sehingga bisa di sebut sebagai Hadis mutawatir.
·
Diriwayatkan oleh banyak sanad, namun dalam
hal ini ulama’ berbeda dalam batasa jumlah banyaknya periwayat, namun penulis
memilih bahwasanya minimal 10 sanad dalam satu tabaqat (tingkatan/generasi)[44]
·
Periwayat yang banyak ini terdapat dalam
setiap tabaqat (tingkatan/generasi)
·
Mustahil bagi mereka untuk sepakat dalam
kebohongan
·
Para sanad disyaratkan mesti bersentuhan
(bertemu lansung), hal ini bisa dilihat dari kata-kata penyampaian yang di
pergunakan, seperti sami’na (telah kami dengar), ra’ayna (telah
kami lihat) dan lain sebagainya.[45]
3). Macam-macam Hadis Mutawatir
Para ulama membagi hadis mutawatir menjadi tiga macam yaitu; hadis
mutawatir lafdzi, hadis mutawatir maknawi dan hadis mutawatir amali.[46]
a. Mutawatir Lafdzi
Adalah apa yang mutawatir periwayatannya pada setiap
rawi dengan menggunakan lafdz yang sama.
Contoh Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim :
وَحَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِى
حَصِينٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ».[47]
b. Mutawatir Maknawi
Mutawatir
maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun
redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh pada
Hadis yang menyangkut masalah mengangkat tangan ketika berdo’a, telah di
sebutkan oleh Rasulullah sekitar seratus riwayat Hadis dengan lafadz yang
berbeda-beda.[48]
b. Mutawatir Amali
Hadis mutawatir amali adalah Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal
itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi
melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.
Contoh: Kita melihat dimana saja bahwa salat
Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu
bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai
sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya
demikian.
b.
Hadis Ahad
1) Pengertian Hadis Ahad
Kata ahad (احاد) jamak dari
ahad (أحد) yang
berarti satu. Secara etimologi hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh
satu orang saja. Menurut istilah ahli hadis hadis ahad antara lain adalah Suatu hadis
(khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis
mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima
orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa
hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir. [49]Adapun menurut terminology ulama hadis,
hadis ahad adalah:
هو مالم
يجتمع فيه شروط المتواتر
“hadis
yang tidak memenuhi salah satu syarat-syarat hadis mutawatir”[50]
Dari sini bisa kita lihat bahwa kualitas hadis mutawatir lebih diatas
daripada hadis ahad
2) Macam-Macam Hadis Ahad
a. Hadis Masyhur
Dalam pengertian bahasa masyhur bisa berarti sesuatu
yang terkenal atau yang popular di kalangan manusia.[51]
Adapun Hadis masyhur menurut terminology
ulama hadis yaitu apa yang diriwayatkan minimal tiga perawi atau lebih dalam
setiap tabaqat tapi tidak sampai pada peringkat mutawatir.[52]
Contoh : Hadis yang diriwayatkan oleh An-Nas’i
حدثنا أيوب ويحيى بن سعيد عن هشام بن عروة عن
أبيه عن عبد الله بن عمرو بن العاص قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله
لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه...[53]
b. Aziz
Kata ‘aziz dalam bahasa arab As-Syafief (yang
mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul
ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh) berarti sedikit atau jarang,[54]
sedangkan menurut ulama hadis, hadis ‘Azis adalah hadis yang tidak kurang dari
dua perawinya dari setiap tabaqat sanad. Mahmud al-Tahhan menambahkan, bahwa
sekalipun dalam sebagian tabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih,
tidak ada masalah, asalkan dari sekian tabaqat terdapat satu tabaqat yang
jumlah perwainya hanya dua orang.[55]
Contoh Hadis Rasulullah saw. Yang diriwayatkan oleh
Imam An-Nasa’I :
أخبرنا حميد
بن مسعدة قال حدثنا بشر يعني بن المفضل قال حدثنا شعبة عن قتادة أنه سمع أنسا يقول
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده
والناس أجمعين...[56]
a. Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa adalah ba’idun ‘anil
wathani (yang jauh dari tanah) dan kalimat yang sukar dipahami.[57]
Gharib secara etimologi berarti menyendiri. Adapun secara terminology hadis
gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi saja, baik dalam
sebahagian tabaqat ataupun pada setiap tabaqat bahkan meski hanya pada satu tabaqat
saja.
Contoh, Hadis yang diriwayatka oleh Imam Bukhari :
عن محمد بن إبراهيم التيمي، عن علقمة بن
وَقّاص الليثي، عن عمر بن الخطاب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى.
Hadis tersebut pada tabaqat pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar
bin khattab, begitupun tabaqat kedua hanya diriwayatkan oleh al-Qamah,
pada tabawat ketiga hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim at-Taimi.[58]
2. Tinjauan Hadis dari Segi Kualitas
Setelah kita mengetahui hadis dari segi kuantitasnya maka yang sangat
urgen juga mengetahui hadis dari segi kualitasnya Aritnya Hadis itu ditinjau
dari segi maqbul “diterima” atau mardud
“ditolak”.
a. Hadis Maqbul
Dalam cakupan ini, Hadis maqbul terbagi kepada beberapa bagian yaitu:
1. Shahih Lizatihi
a) Pengertian
Shahih menurut bahasa berarti sehat, selamat, benar dan sempurna. Adalah
lawan kata dari sakit.[59]
Shahih menurut ibn Hajar al-Asqalani:
ما رواه عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ
“hadis yang diriwayatkan oleh orang yang
‘adil sempurna ke-dabit-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak
ber-syadz”.[60]
Dari defenisi diatas kita bisa menyimpulkan syarat-syarat hadis shahih.
b) Syarat-Syarat
·
Bersambung sanadnya
·
Pe-rawi-nya adil (baik dari segi hafalan
ataupun tulisan)
·
Pe-rawi-nya Dabit (mereka yang kuat
hapalannya)
·
Tidak bersifat syaz (riwayat
tersebut tidak berbeda dengan periwayatan yang lebih kuat darinya)
·
Tidak memiliki kecacatan, baik dari segi
sanadnya, matannya, ataupun perawinya.[61]
2). Shahih Lighairih
Yaitu hadis yang tidak memenuhi secara
sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadis maqbul. Misalnya saja
perawinya sudah diketahui ‘adil tapi dari sisi ke-dabit-annya,
dinilai kurang.[62]
Sehingga derajatnya turun yang tadinya sahih li dzatihi menjadi sahih
li gairihi.
2). Hasan
Lizatih
Hasan secara bahasa bisa berarti " ما تميل إليه النفس وترتاح إليه
" yang
dirindui nafsu dan yang disenanginya.
Secara istilah terdapat perbedaan ulama’ tentang
pengertian ini, hal ini disebabkan karena kedudukannya berada pada pertengahan
antara Hadis shahih dan Hadis dha’if.
·
Menurut ibn hajar dalam nukhba al-Fikr, hasan
lizatih adalah hadis yang dinukilkan oleh orang yang adil, kurang kuat
hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat serta tidak ada keganjilan
didalamnya.
·
Menurut
at-Turmudzi, hasan lizatih adalah yang selamat dari syadz (tidak menyalahi
hadis yang lebih kuat), tidak tertuduh berbohong dan diriwayatkan dengan banyak
jalan.[63]
·
Setelah meninjau secara seksama maka penulis lebih
condong pada pengertian menurut Ibnu Hajar karena kelemahan pada dhabt adalah
cirri khas dari Hadis hasan tersebut, sedangkan pengertian yang di paparkan
oleh Turmizi, beliau hanya memandang Hadis hasan dari satu sisi, yaitu Hasan
lighairih saja.
3). Hasan
Lighairih
Adalah Hadis yang asalnya dha’if namun karena terdapat
periwayatan yang lain yang sejalan dengannya.[64]
a.
Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”,
sedangkan menurut istilah adalah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau
sebagian syarat hadis maqbul.[65]
Sebagian ulama’ telah membagi Hadis mardud
kepada banyak bahagian dan memiliki nama-nama khusus, namun sebahagian ulama’
juga hanya menggaris besarkan Hadis mardud ini kepada satu bentuk yaitu, Hadis Ad-Da’if.
C. TINJAUAN AKSIOLOGIS
1. Otoritas Nabi Muhammad
SAW.
Para ulama sepakat bahwa otoritas al-Qur’an mengikat seluruh
muslim. Otoritas Nabi Muhammad saw bukan hanya berasal dari penerimaan umat
terhadapnya sebagai pribadi yang punya otoritas, melainkan diekspresikan
melalui kehendak Ilahi. Allah melukiskan kedudukan Rasul-Nya dalam al-Qur’an
sebagai berikut:
a.
Penjelas al-Qur’an
Nabi merupakan
penjelas al-Qur’an yang diangkat oleh Allah, sebagaimana Allah berfirman “kami
turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka” (QS.An-Nahl:44). Misalnya: Al-Qur’an
memerintahkan mendirikan shalat dalam sejumlah ayat, tapi tidak dirinci
bagaimana cara melakukannya dan tugas Nabi adalah menunjukkan cara melakukan
shalat.
b.
Pembuat Hukum
Allat swt
menyebut kekuasaan Nabi Muhammad saw sebagai pembuat hukum, sebagaiman
firmanNya: “Ia akan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk, dan membuang bagi mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka.”(QS. Al-A’raf:157). Dalam ayat ini
otoritas membuat hukum dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, jadi beliau
bertindak sebagai penetap hukum bagi masyarakat. Nabi Muhammad saw memprakarsai
hal-hal tertentu yang kemudian dinyatakan al-Qur’an sebagai praktek masyarakat
yang baku. Misalnya menetapkan suatu kehalalan makanan diluar yang disebutkan
al-Qur’an. Seperti menghalalkan makan daging babi.
c.
Model Perilaku Masyarakat Muslim
Perilaku
masyarakat muslim tentunya selalu berpola pada perilaku kehidupan Nabi Muhammad
saw sebagaiman dalam Al-Qur’an (al-Ahzab: 21). Jika kita menganggap Nabi saw
sebagai model bagi rakyat, maka masyarakat muslim harus mengikuti/meneladaninya
dengan menjalankan atau menerima apa yang datang darinya dan meninggalkan apa
yang dilarangnya, apalagi masyarakat muslim secara khusus telah diperintahkan
oleh Allah untuk itu.
d.
Yang ditaati Secara Total
Di dalam
al-Qur’an telah dijelaskan bahwa hanya perintah Allah dan Nabi yang sah mengikat
seorang muslim, ia haruslah taat kepada keduanya. Dalam kehidupan Nabi Muhammad
saw secara keseluruhan merupakan contoh yang baik bagi seluruh muslim dan patut
diteladani karena seorang muslim tidak boleh ragu dalam menjalankan perintah
Nabi saw. Dengan demikian ketaatan disini adalah ketaatan penuh bukan
penyerahan setengah-setengah. Firman Allah: ”Dan Kami tidak mengutus seorang
Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah” (QS. An-Nisa: 64). Dalam surah
lain pun dijelaskan bahwa: ”Katakanlah, taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu
berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”(QS. Ali
Imran:32).[66]
Dijelaskan pula dalam al-Qur’an surah Al-Hasyr:7 ” Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
Ketiga ayat di
atas merupakan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan tentang
otoritas Nabi Muhammad saw, dan menekankan bahwa seluruh hidup, keputusan,
ketetapan dan perintahnya memiliki otoritas yang mengikat dan patut diikuti
dalam seluruh segi kehidupan oleh individu dan masyarakat muslim. Seluruh
aktifitas Nabi Muhammad saw dicakup oleh sunnah atau sunnah nabi yang telah,
masih dan akan tetap menjadi salah satu sumber utama Hukum Islam, yaitu kedua
setelah al-Qur’an.
2. Kedudukan dan Fungsi
Hadis
a. Kedudukan
Hadits
Sebagaimana telah dipaparkan di awal
makalah ini, bahwa hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Al-Qur’an dan Hadis memiki kaitan yang sangat erat sehingga untuk memahaminya
dan mengamalkannya tidak bisa dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri. Ada
beberapa dalil naqli yang menunjukkan bahwa hadis adalah sumber ajaran
Islam, yaitu: Surah Ali Imran ayat 32, Surah An-Nisa ayat 59, Surat Al-Haysr
ayat 7.
b.
Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman
hidup, sumber hukum dan ajaran Islam yang tidak dapat dipisahkan antara satu
dan lainnya. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama yang memuat ajaran-ajaran
bersifat umum dan global. Sedangkan hadis sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk
Allah swt sebagaimana dalam al-Qur’an surah An-Nahl:44
......وأنزلنا إِليك الزكر
لتبين للناس .....
“……. dan kami turunkan kepadamu az-Zikr
(al-Qur’an) kepadam, agar engkau menerangkan kepada manusia…..”[67]
Allah swt menurunkan al-Z}ikir,
yaitu al-Qur’an bagi umat manusia agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh
manusia, maka Allah swt memerintahkan Rasulullah saw untuk menjelaskannya.
Hadis sebagai penjelas atau bayan al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam
fungsi:
1)
Baya>n al-Takrir
Baya>n al-Takrir
disebut juga bayan al-Ta’kid dan bayan al-Is\ba>t. Yang
dimaksud dengan bayan adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan dalam al-Qur’an. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Ibnu Umar, sebagai berikut:
إِذا رايتموه فصوموا وإِذا رايتموه فافطروا (رواه البخارى)
”Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan maka berpuasalah, juga
apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR. Bukhari)
Hadis ini men-takrir ayat al-Qur’an surah
al-Baqarah:185
.......فمن شهد منكم الشهر
فليصمه .......
“…… maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan
hendaklah ia berpuasa”......
Sebagai contoh lain
kita bisa lihat pada hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Hurairah sebagai berikut:
قل رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقبل صلاة من احدث حتى يتوضاء
”Rasulullah saw bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang
berhadas sebelum ia berwudhu”.(HR. Bukhari dan Abu Hurairah)
2)
Baya>n Al-Tafsi>r
Bayan at-Tafsir
adalah membicaran perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal
yang memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
masih mutlak dan memberikan tahsi>s (penentuan khusus)
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum. Contoh ayat-ayat al-Qur’an yang
masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat,
disyariatkan jual-beli, pernikahan, qiya>s, hudud dan sebagainya.
Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah tersebut bersifat mujmal baik
mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya ataupun
halangan-halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah saw melalui hadisnya
menafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dan
Muslim yang berbunyi:
صلوا كما رايتمونى أصلى (رواه البخارى عن ابى هريرة)
”Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihat saya shalat”.
Hadis ini
menerangkan tata cara menjalankan shalat, sebagaimana firman Allah swt dalam
al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 43
وأقيمواالصلوة وءاتوا الزكوة واركعوا مع الراكعين[68]
”Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta dengan
orang-orang yang ruku’".
Adapun hadis yang mentaqyidkan ayat-ayat
al-Qur’an yang bersifat mutlak adalah sebagaimana sabda Rasulullah berikut ini:
أتى بسارق فقطع يده من مقصلى الكف
”Rasulullah saw didatangi seseorang yang membawa pencuri maka
beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”.
Hadis ini mentaqyidkan ayat al-Qur’an surah al-Maidah ayat 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ .....[69]
”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah …..”
3)
Baya>n al-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan al-Tasyri’
adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam
al-Qur’an, bayan ini disebut juga bayan zai’d ala al-Kitab al-Karim.
Hadis Rasulullah saw dalam segala bentuknya baik yang qauli, fi’li maupun
taqrir berusaha menunjukkan kepastian hukum terhadap berbagai persoalan
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Beliau berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat yang tidak mereka ketahui
dengan memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya.
Ada beberapa hadis
Rasulullah saw yang termasuk dalam kelompok ini, diantaranya adalah penetapan
haramnya mengumpulkan 2 wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya). Hukum syuf’ah,
hukum merajam wanita pezina yang masih perawan dan hukum tentang hak waris
seorang anak.
Hadis yang termasuk bayan al-tasyri’ sebagai berikut:
إِن
رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعامن
غراوصاعامن شعير على كل حراوعبد زكر أوأنشى من المسلمين
”Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada umat Islam pada
bulan ramadhan satu sukat (sha’a) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik
merdeka ataupun hamba laki-laki atau perempuan”.
Hadis ini wajib
diamalkan seperti hadis-hadis lain, Ibnu al-Qayyim berkata bahwa hadis-hadis
Rasulullah yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an harus ditaati dan tidak
boleh menolak atau mengingkarinya. Ini bukanlah sikap (Rasulullah saw)
mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintahnya.
Perlu diketahui bahwa
ketiga bayan di atas yang telah diuraikan, dan telah disepakati oleh para ulama
namun bayan yang ke tiga masih sedikit dipersoalkan. Sementara itu untuk bayan
lainnya, seperti bayan al-Naskh terjadi perbedaan pendapat, ada yang
mengakui dan menerima fungsi al-Qur’an sebagai Nasikh dan ada pula yang
menolaknya.
4)
Bayan al-Naskh
Kata al-Nashk
memiliki bermacam arti, yaitu al-Is\ba>l (membatalkan) atau al-Ija>lah
(menghilangkan) atau al-Tagyi>r (mengubah). Para Ulama mengartikan bayan
an-Nashk ini melalui pendekatan bahasa, sehingga terjadi perbedaan pendapat
diantara mereka dalam menta’rifkannya. Hal ini juga terjadi pada ulama mutaqaddimin.
Yang dimaksud dengan menashk ialah adanya dalil syara’ (yang dapat menghapus
ketentuan yang telah ada) karena datangnya kemudian.
Berdasarkan
pengertian di atas, maka jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dari
al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan dan isi al-Qur’an, demikinlah
menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan al-Nashk. Imam Hanafi
membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadis yang muthawatir dan masyhur,
sedangkan hadis ahad ia menolaknya. Salah satu contoh yang biasa dibahas
oleh para ulama ialah hadis sebagai berikut:
لا وصية لوارث
”Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Hadis ini menurut mereka
me-nasakh isi al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 180 sebagai berikut:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ
تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِين[70]
”Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, wasiat untuk ibu
bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertaqwa.
3. Ingkar Sunnah
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau
paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah
sebagai sumber kedua hukum Islam.[71]
Pada zaman Nabi Muhammad saw, umat Islam telah menyepakati bahwa sunnah merupakan
salah satu sumber ajaran Islam disamping al-Qur’an. Belum atau tidak ada bukti
sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad saw ada dari kalangan
umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan
pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661M) dan Bani Umayyah (661-750 M) belum
terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai
salah satu sumber ajaran Islam.
Sikap penampikan
atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen
pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa
Abbasiyah.[72]
Di Indonesia, pada
dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang berpandangan
tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad saw dan tidak menggunakannya
sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok
tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama,
misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda,
dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan
al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah
akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama[73].
Hal ini dapat
dipahami dari uraian al-Syafi’i dalam kitabnya “Al-Umm”, mereka itu oleh
al-Syafi’i dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
1.
Golongan yang menolak seluruh sunnah Nabi saw
2.
Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan
dengan petunjuk al-Qur’an.
3.
Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad dan hanya
menerima sunnah yang berstatus Mutawatir.[74]
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kelompok pertama dan kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa
mereka tidak menjadikan sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok
ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.
·
Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara totalitas
Banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung
pendiriannya, baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan
yang berdasarkan rasio. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan mereka
sebagai alasan menolak sunnah secara total adalah surat an-Nahl ayat 89 :
ونزلنا عليك الكتاب تبينا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين[75]
“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab
(al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”
Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang
berbunyi:
...ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ
ﺷﺊ....
“…Tidaklah
kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…”
Menurut mereka
kepada ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu
yang berkenaan dengan ketentuan agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah.
Bagi mereka perintah shalat lima waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya
surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat 78 dan lain-lain.[76]
Adapun alasan lain
adalah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik dan tentunya
al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.
·
Argumen
kelompok yang menolak hadis ahad dan hanya menerima hadis Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat
al-Qur’an sebagai dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
“…Sesungguhnya
persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.
Berdasarkan ayat
di atas, mereka berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan
hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama
harus didasarkan pada dalil yang qath’i yang diyakini dan disepakati
bersama kebenarannya. Oleh karena itu hanya al-Qur’an dan hadis mutawatir
saja yang dapat dijadikan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam.
Tokoh- tokoh
kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah
Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir, Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad
Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad
mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang
tergolong pengingkar sunnah secara keseluruhan. Argumen yang mereka keluarkan
pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah pada periode klasik.
Tokoh-tokoh “ Ingkar Sunnah “ yang tercatat di
Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang
Setio Groho (karyawan Inilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf
Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor Departemen Agama Padang
Panjang).[77]
Sebagaimana
kelompok ingkar sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli
maupun aqli untuk menguatkan pendapat mereka, begitu juga kelompok
ingkar sunnah Indonesia.[78]
Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87
:
ﻮَﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ
Menurut mereka
arti ayat tersebut adalah “Siapakah yang
benar haditsnya dari pada
Allah”.
Kemudian surat al-Jatsiayh ayat 6:
ﻓﺒﺄﻱ ﺤﺪﻴﺚ ﺒﻌﺪ ﺍﷲ ﻮﺍﻴﺎﺗﻪ ﻴﺆﻤﻨﻮﻦ
Menurut mereka
arti ayat tersebut adalah “Maka kepada
hadits yang manakah selain
firman Allah dan ayat-ayatnya mereka mau percaya”.
Selain kedua ayat
di atas, mereka juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul kepada umat manusia
hanyalah al-Qur’an dan jika Rasul berani membuat hadis selain dari ayat-ayat
al-Qur’an akan dicabut oleh Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik
jamulnya, jamul pendusta dan yang durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak berhak
untuk menerangkan ayat-ayat al-Qur’an, Nabi Hanya bertugas menyampaikan.
Ternyata argumen
yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi para pengingkar sunnah memiliki
banyak kelemahan, misalnya :
1.
Pada umumnya pemahaman ayat tersebut diselewengkan maksudnya sesuai
dengan kepentingan mereka. Surat an-Nahl ayat 89 yang merupakan salah satu
landasan bagi kelompok ingkar sunnah untuk maenolak sunnah secara keseluruhan.
Menurut al-Syafi’i ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang
sifatnya global, seperti dalam kewajiban shalat, dalam hal ini fungsi hadis
adalah menerangkan secara teknis tata cara pelaksanaannya. Dengan demikian
surat an-Nahl sama sekali tidak menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran.
Bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadis.
2.
Surat Yunus ayat 36 yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak
hadis ahad sebagai hujjan dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
istilah zhanni adalah tentang keyakinan yang menyekutukan Tuhan.
Keyakinan itu berdasarkan khayalan belaka dan tidak dapat dibuktikan
kebenarannya secara ilmiah. Keyakinan yang dinyatakan sebagai zhanni
pada ayat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak ada kesamaannya
dengan tingkat kebenaran hasil penelitian kualitas hadis. Keshahihan hadis ahad
bukan didasarkan pada khayalan melainkan didasarkan pada metodologi yang dapat
dipertanggung-jawabkan.[79]
Kelemahan
argument-argumen yang mereka kemukakan di atas disebabkan oleh beberapa faktor:
1.
Sebagian dari para pengikar sunnah itu meyakini bahwa bahwa Nabi Muhammad
saw tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan al-Qur’an kepada umatnya. Nabi
Muhammad saw hanyalah bertugas menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada
pengikutnya, di luar hal itu Nabi Muhammad saw tidak memiliki wewenang.
Sedangkan dalam al-qur’an surah al-Nahl: 44 dan al-Hasyr:7 telah menjelaskan
bahwa Nabi Muhammad diberi kewenangan untuk menjelaskan al-Qur’an dan orang
yang beriman diwajibkan untuk mematuhi Allah dan mematuhi Nabi Muhammad.
2.
Sebagian dari pengingkar sunnah tidak memiliki pengetahuan bahsa
Arab yang cukup, sejarah Islam, sejarah periwayatan dan pembinaan hadis,
berbagai kaidah, istilah dan ilmu hadis serta metodologi penelitian hadis.
3.
Sebagian dari pengingkar sunnah ingin memahami Islam secara
langsung dari al-Qur’an berdasarkan kemampuan rasio semata dan merasa enggan
untuk melibatkan diri pada pengkajian ilmu hadis dan metodologi penelitian
hadis yang memiliki karakteristik tersendiri. Sikap yang demikian itu timbul
mungkin disebabkan oleh keinginan untuk berfikir secara bebas tanpa terikat
oleh norma-norma tertentu, khususnya yang berkaitan dengan hadis Nabi.
Dalam al-Qur’an
dijelaskan pula bahwa orang-orang yang beriman tunduk dan patuh kepada
Rasulullah namun menurut para pengingkar sunnah hanyalah berlaku ketika Rasulullah
masih hidup, yakni ketika jabatan ulil amri masih berada di tangan
beliau. Setelah beliau wafat, maka jabatan sebagai ulil amri berpindah
kepada orang lain dan karenanya, kewajiban patuh orang-orang yang beriman
kepada Nabi Muhammad menjadi gugur.[80]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Hadis ialah Sesuatu yang datang dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan atau perbuatan atau
persetujuan, Sinonim dari
hadis, yaitu Sunnah, Khabar, dan Atsar, Sunnah pada
dasarnya, tidak sama dengan hadis. Mengikuti arti bahasanya, sunnah adalah
jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi SAW. Yang tercermin dalam perilakunya
yang suci. Apabila hadis bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka
sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan – perbuatan beliau. Perbedaan al- Qur’an dengan hadis dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Al-qur’an mukjizat Rasul, sedangkan hadis bukan mukjizat sekalipun
hadis qudsi.
b.
Al-qur’an terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian
tangan orang- orang jahil .sedangkan hadis tidak terpelihara seperti al-Qur’an
c.
Al-qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadis
tidak banyak diriwayatkan secara mutawatir..
d.
Kebenaran ayat- ayat al-Qur’an bersifat qath’i al- wurud (
pasti atau mutlak kebenarannya) dan kafir yang mengingkarinya. Sedangkan kebenaran
hadis kebanyakan bersifat zhanni al-wurud (relatif kebenarannya) kecuali
mutawatir.
e.
Al-Qur’an redaksi ( lafal) dan maknanya dari Allah dan hadis Qudsi
maknanya dari Allah redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedang
hadis nabawi berdasrkan wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu.
f.
Proses penyampaian al-Qur’an melalui wahyu yang tegas (jali) sedang
hadis qudsi melalui wahyu, atau ilham, atau mimpi dalam tidur.
g.
Kewahyuhan al-Qur’an disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang
dibacakan) sedangkan kewahyuan sunnah disebut wahyu ghair matluw ( wahyu
yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara jelas dan yakin
kemmudian diungkapkan Nabi dengan redaksinya sendiri.
h.
Membaca al-Qur’an dinilai sebagai ibadah setiap satu huruf pahalanya 10 kebaikan, sedang membaca hadis
sekalipun qudsi tidak dinilai ibadah.
i.
Diantara surah al-Qur’an wajib dibaca dalam shalat seperi membaca
surah al-Fatihah yang dibaca pada setiap raka’at. Sedangkan dalam hadis tidak
ada yang harus dibaca dalam shalat sekalipun qudsi, bahkan tidak sah shalat
seseorang yang menggantikan surah al-Qur’an dengan hadis qudsi.
2.
Dari segi epistemologi hadis meliputi: Unsur- unsur hadis terdiri
dari sanad, matan, rawi dan mukharrij, Kalsifikasi hadis dari segi kuantitas
perwinya yaitu mutawatir dan ahad, ( sebagian ulama berpendapat (mutawatir,
masyhur,dan ahad) sedangkan klasifikasi hadis dari segi kualitas sanad dan
matannya yaitu shahih, hasan dan dha’if.
3.
Dari segi aksiologis meliputi: Otoritas
Nabi saw tidak terletak pada persetujuan masyarakat atau pendapat para ulama
dan semacamnya melainkan telah ditegaskan dalam al-Qur’an sehingga dapat
diterima oleh masyarakat sejak awal.Otoritas membuat hukum dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad saw, beliau bertindak sebagai penetap hukum bagi masyarakat. Berdasarkan
al-Qur’an dan al-Hadis, para sahabat dan kaum muslimin hingga dewasa ini selalu
mengamalkan al-Hadis di samping mengamalkan al-Qur’an, karena hadis merupakan
sumber hukum, banyak ayat al-qur’an dan hadis yang menjelaskan bahwa hadis
merupakan salah satu sumber hukum Islam selain al-qur’an yang wajib diikuti.
Fungsi hadis terhadap al-qur’an: sebagai bayan at-Taqrir, sebagai bayan
at-Tafsir, sebagai bayan at-Tasyri’, sebagai bayan an-Naskh. dan adapun Ingkar as-sunnah adalah sebuah
sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya.
Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini
mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya. Munculnya
ingkar sunnah karena adanya kesalahan dalam menafsirkan atau memahami ayat-ayat
al-Qur’an, sehingga mereka menganggap bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya
pegangan atau pedoman bagi umat Islam. Ada tiga golongan yang termasuk inkar
al-Sunnah, yaitu:
a.
Golongan
yang menolak seluruh sunnah
b.
Golongan
yang menolak sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk
al-qur’an
c.
Golongan
yang menolak sunnah yang berstatus ahad, golongan ini hanya menerima sunnah
yang berstatus mutawatir.
B.
IMPLIKASI
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya
diharapkan dapat berimplikasi positif dan membangun terhadap para pembaca dalam
memahami tentang hadis dan sunnah. Terkhusus bagi para mahasiswa, penggiat,
penuntut ilmu yang sedang mengkaji tentang hadis. Dan lebih khusus lagi bagi
para pendidik yang mengajarkan Ilmu Hadis, sehingga bisa mengenalkan hadis
secara menyeluruh lewat ilmu hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam
a’bi ‘Amru, Utsman bin ‘Abd al-Rahman al-Syahrzuri, Muqaddima ibn Salah fi
ulum al-Hadis, Qahirah: dar al-Hadis, 2010.
al-Thahan Mahmud, Tafsir
Mushtalahul al-Hadis, Surabaya: Syarikat Bhulugul Indah,1998.
Amin
Kamaruddin, menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, Cet. 1;
Bandung: Penerbit Hikmah, 2009.
As- Shalih,
Subhi. Membahas Ilmu- Ilmu Hadis ; Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993.
Ash- shiddieqy,
M. Hasbi. Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jilid I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1958.
ath-Thahan
Mahmud,Tafsur Mushtalah al-Hadis
Cet. VIII; Riyadh:Maktabah al-Ma’arif,1987
Wahab Abul Abdul Latif, Tadribu Ar-Rawi Fi Syarhi At-Taqribu
An-Nawawi Lis-Suyuty, Cet. II, 1385.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Usul al-hadis
Ulumuhu wa Mustalahuhu. Cet. III, Beirut: dar al-Fikr, 1995.
Al-Qathan, Syaikh Manna. Mabahis fi Ulum
al-Hadis, alih Bahasa Mufidhal Abdurrahman, dengan judul ”Pengantar Studi
Hadits”, Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005.
As-Shalih,
Subhi. Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, diterjemahkan tim pustaka firdau
dengan judul “membahas Ilmu-ilmu Hadis”. Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997.
Azami, M.M., Study in Hadis Methodology and
Literature, diterjemahkan oleh Manadi dengan Judul “study penelitian hadis
dan sejarah”, Cet.I: Jakarta, Lentera, 1999.
Bisri, KH. Adib, KH. Munawir AF, Al-Bisri, Kamus
Indonesia-Arab Arab-Indonesia, Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Departemen Agama RI., Al-Quran dan
Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Alquran:
1979/1980.
Djamaluddin, M. Amin, Bahaya Ingkar Sunnah, Jakarta: Ma’had ad-Dirasati
al- Islamiyah, 1986.
Majid Khon,
Abdul. Ulumul Hadis; Jakarta: Amzah, 2010.
Ismail, Syuhudi, H.M. Prof. Dr. Hadis Nabi Menurut
Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insan Press, 1995.
-----------Pengantar Ilmu Hadits,
Bandung: Angkasa, 1991.
Mukhtasar,
Imam al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, alih bahasa Rafiq Saleh
Tahurid dengan judul,”apa itu alquran”, (Cet. IV; Jakarta: Gema Insani Press,
1991
Siba’i, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum
Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis
Majid, Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1993.
Sulaiman, Noor, Antologi
Ilmu Hadits, Cet. I, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, Cet. III;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Suyitno, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, Cet. I, IAIN Raden Fatah Press, Palembang,
2006
http://ulivinalfaris.blogspot.com/p/pembagian-hadits.html, diakses pada Senin 6 April 2015.
https://mubhar.wordpress.com/2009/12/29/unsur-unsur-hadis/, diakses
pada Senin 6 April 2015.
http://angga-hardianto1994.blogspot.com/2014/01/makalah-hadits-ingkar-sunnah.html, diakses pada Senin 6 April 2015.
[1] Departemen
Agama RI., Alquran dan Terjemahannya, diterjemahakan oleh Yayasan
Penyelenggara Penerjemah al-Quran,
Semarang: PT. Karya Toha Putra 2002, h.2.
[2] Imam
al-Suyuti, Mukhtasar al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, alih bahasa Rafiq Saleh
Tahurid dengan judul,”Apa itu al-Quran”, (Cet.IV; Jakarta: Gema Insani Press,
1991), h.86.
[3]Kamaruddin
Amin, menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, (cet. 1; Bandung:
Penerbit Hikmah, 2009), h. 1
[4]Al-Imam a’bi
‘Amru, Utsman bin ‘Abd al-Rahman al-Syahrzuri, Muqaddima ibn Salah fi ulum
al-Hadis, (Qahirah: dar al-Hadis, 2010), h. 15
[5]Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis, (Cet.I, Jakarta: Amzah, 2009),
h. 2.
[6]Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki> al-Hasani>, al-Manhal al-Lat}i>f fi> ‘Us}u>l
al-Hadi>s| al-Syari>f. (t.t, t.p, 1999), h. 48.
[13] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mus}t}alah}ah al-H}adi>s|,
(Cet. I; Bandung: Alma’arif, 1974), h. 20.
[14] Muhammad ‘Ujaj al-Khatib, ‘Us}ul
al-H}adi>s| ‘Ulu>muh wa Mus}t}alah}ahu, (Bairut: Dar al- Fikri,
1989), h. 19.
[15] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, et al., eds. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet.I, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h.
6.
[16] Definisi ini juga sama dengan yang dikemukakan oleh : Muhammad
al-Zafza>f , Al-Ta’ri>f bi
al-Qur’an wa al-Hadi>s|, (Cet.I, t.d), h. 194.
[18] Pengertian sunnah bahwa
“bila dikerjakan diganjar pahala dan tidak mengerjakannya tidak apa-apa”. Dalam
hal ini, sebaliknya penulis malah memandang hal itu tidak baik, cenderung
mendorong untuk tidak melakukannya, bukannya ajaran Islam itu selalu memotivasi
pengikutnya untuk meraih pahala kebaikan sebanyak-banyaknya?
[20] Muhammad Ali Rowad, Ulum al-Qur’an wa al-Hadis (Oman : Dar
al-Basyiah, 1984), h. 169. Bandingkan
dengan Muhammad bin 'Alawi> al-Ma>liki> al-Hasani>, h. 51.
[21] Muhammmad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa>’id al-Tahdi>s| min
Funu>n Mus}t}alaha al-Hadi>s|. (Bai>rut : Da>r al-Kutub
al-Isla>mi>, t.th) h. 61. lihat
juga Teungku M Hasbi ash-Shiddieqy, h.
21.
[23] 'Umar Abd al-Mun'im al-Sali>m, Tai>si>r al 'Ulu>m
al-Hadi>s|, (Kairo : Maktabah ibn Tai>miyah, 1997), h.12.
[27]Umar Hasyim, Qawa>id al-‘Usu>l al-Hadi>s|. (Bairut:
Da>r al-Fikr, t.th), h. 24. Lihat juga Muhammad ‘Ujja>j
al-Khati>b,, h. 29. Lihat juga Hasbi Ash- Sidiqiy, h. 22.
[29]Mahmud al-Thahan, Tafsir
Mushtalahul al-Hadis, (Surabaya: Syarikat Bhulugul Indah,1998), h. 16
[30]Munzier
Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 45
[31]Abustani Ilyas,
La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontology, Epistemology dan Aksiologi, (cet.1:
alauddin university press), h. 13
[32]Munzier
Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 45
[33]Abu al-Husain Ahmad ibn
Faris ibn Zakariyah, Maqayis
al-Lugah, ,( Jilid V;
Beirut: Ittihad al-kitab al-Arab 2002), h. 294
[34]Mahmud
ath-Thahhan,Tafsur Mushtalah al-Hadis
(Cet. VIII; Riyadh:Maktabah
al-Ma’arif,1987), h. 16
[35]Munzier
Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 46
[36] Mudasir. Ilmu Hadis (Cet. IV; Bandung: Pustaka Setia,
2008), h 61-63
[37]Munzier
Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 47
[38]Idri, studi
hadis, (cet. 1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h. 39
[39]Moh. Anwar, Ilmu Musthalahah Hadits,
(Cet I; Surabaya: AL-IKHLAS, 1981), h.16.
[40]Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul
Hadist. (Cet I; Bandung:PT Alma’arif, 1974), h. 86.
[41]Idri, studi
hadis, (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 131
[42]Moh. Anwar, Ilmu
Musthalahah., h.18.
[43]Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul
Hadist, h. 88.
[44]Abul Wahab Abdul Latif, Tadribu Ar-Rawi
Fi Syarhi At-Taqribu An-Nawawi Lis-Suyuty, (Cet. II, 1385 H), h. 177
[45]Nuruddin Ittir,
Nuzha al-Nazar fi tawdih nukhba al-Fikr, (Cet. I; al-Qahirah: dar
al-Basair, 2011), h. 43
[46]Fatchur Rahman, Ikhtisar
Musthalahul, h. 90-95.
[47]Nuruddin
‘ittir, manhaj al-Naqd fi ulum al-hadis, (Cet. XXXII; Damsyik: dar el-fikr), h.
405
[48]Nuruddin
‘ittir, manhaj al-Naqd fi ulum al-hadis, (cet. 32; Damsyik: dar el-fikr), h.
406
[49]Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra 1999), h. 122.
[50]Idri, studi
hadis, (cet. 1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h.141
[51]Mudatsir, Ilmu Hadis, h. 127
[52]Idri, studi
hadis, (cet. 1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h. 142
[53]Ahmad bin Syu’aib Abdur Rahman An-Nasa’I, Sunan An-Nasa’I Kubra’, (Cet.I,
Beirut: Dar. Kutub Al-‘A͞lamiyah; 1411 H/ 1991 M), h. 455
[54]Sholahudin. Suryadi, Agus. Ulumul
Hadis. (Cet. I; Bandung : Pustaka Setia, 2009), h. 134
[55]Munzier
Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 116
[56]Munzier
Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 117
[57]Sholahudin. Suryadi, Agus. Ulumul Hadis,
h. 137
[58]Fatchur
Rahmman, ikhtishar mushthlahul-hadits, (cet. 1: PT al-ma’arif, 1974), h. 69
[59]Idri, studi
hadis, (cet. 1: Jakarta: kencana prenada media group, 2010), h. 157
[60]Nuruddin Ittir,
Nuzha al-Nazar fi tawdih nukhba al-Fikr, (cet. 1; al-Qahirah: dar al-Basair,
2011), h. 58
[61]Munzier
Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 130
[62]Munzier
Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 134
[63]M. hasbi ash dhiddieqy, pokok-poko ilmu dirayah hadits, (cet. Ketujuh;
Jakarta: bulan bintang, 1987), h. 162
[64]Nuruddin
‘ittir, manhaj al-Naqd fi ulum al-hadis, (cet. 32; Damsyik: dar el-fikr), h.
268
[65]Munzier
Saputra, ilmu hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 125
[68] Al-Qur’an
Alkarim
[69] Al-Qur’an
Alkarim
[71] Drs. Suyitno,
M.Ag, Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Cet.
I, IAIN Raden Fatah Press, Palembang,
2006), h. 275.
[72] H. M. Noor
Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits,
(Cet. I, Penerbit: Gaung Persada Press,
Jakarta, 2008), h. 277
[74] M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,
(Bandung: Angkasa 1991), h. 141
[76] Syuhudi
Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela,
Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h. 16.
[77] M. Amin
Djamaluddin, Bahaya Ingkar Sunnah,
(Jakarta: Ma’had ad-Dirasati al-Islamiyah, 1986), h. 1
[79] Mustafa
Siba’i, Sunnah dan Peranannya dalam
Penetapan Hukum Islam, diterjemahkan oleh Nurcholis Majid, (Jakarta:
Pustaka Pirdaus, 1993), h. 122-125.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar