Hubungan Data, Fakta, Definisi, Teori dan Paradigma
oleh Hamsiati
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia
sebagai mahluk rasional, memiliki dorongan rasa ingin tahu dan secara
terus-menerus mengadakan perenungan untuk menyingkap tabir-tabir misteri yang
ada disekelilingnya, tentang jagat raya, bahkan tentang dirinya sendiri.
Kegiatan berpikir yang dilakukan oleh manusia tersebut melahirkan
pengetahuan-pengetahuan.[1]
Ditinjau
dari aspek-aspek kebenaran dari pengetahuan manusia, secara sederhana dapat di
klasifikasikan kepada pengetahuan yang mempunyai nilai kebenaran yang intuitif
dan pengetahuan ayang mengandung kebenaran ilmiah[2].
Kebenaran
intuitif pada umumnya tidak dapat dirumuskan dengan premis dan kongklusi.
Pemahaman seperti ini diperoleh melalui kilatan cahaya, sehingga memberikan
kepadanya sifat suatu visi yang secara tiba-tiba tersingkap bagi pengamatan.
Istilah benar dan salah seringkali tidak dapat diterapkan kepada pemahaman
seperti itu.[3]
Sedang pengetahuan yang mengandung nilai kebenaran ilmiah mempunyai struktur
yang diskursif atau rasional, dapat diuji secara empiris dan bersifat sekuler.[4]
Untuk
mendapat pengetahuan yang bertaraf ilmiah,
selalu terkait dengan sejumlah susunan teoritis pada tingkat kesempurnaan yang
berbeda-beda, baik itu bersumber dari data, fakta,
definisi, teori, dan paradigma. Namun, terkadang kita tidak memahami arti sebenarnya dari kata – kata
itu, terkadang kita membolak – balikkan artinya satu sama lain.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian dan
hubungan dari data, fakta, definisi, teori dan paradigma itu.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang ada, maka masalah dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa pengertian data, fakta, definisi, teori dan
paradigma itu?
2. Bagaimana hubungan data, fakta, definisi, teori dan
paradigma itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Data
Data adalah catatan atas kumpulan fakta. Data
merupakan bentuk jamak dari datum yang berasal dari bahasa Latin yang
berarti “sesuatu yang diberikan”. Dalam penggunaan sehari – hari data berarti
suatu pernyataan yang diterima secara apa
adanya.[5]
Data dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian.
Data
adalah fakta mentah atau rincian peristiwa yang belum diolah, yang terkadang
tidak dapat diterima oleh akal pikiran dari penerima data tersebut, maka dari
itu data harus diolah terlebih dahulu menjadi informasi untuk dapat diterima
oleh penerima. Data dapat berupa angka, karakter, simbol, gambar, suara atau
tanda- tanda yang dapat digunakan untuk dijadikan suatu informasi.
Menurut
Arikunto data merupakan segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk
menyusun suatu informasi, sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang
dipakai untuk suatu keperluan.
2. Fakta
Fakta adalah pengamatan yang telah diverifikasi
secara empiris. Fakta dalam prosesnya kadangkala dapat menjadi sebuah ilmu
namun juga sebaliknya. Fakta tidak akan dapat menjadi sebuah ilmu manakala
dihasilkan secara random saja. Namun bila dikumpulkan secara sistematis dengan
beberama system serta dilakukan secara sekuensial, maka fakta tersebut mampu
melahirkan sebuah ilmu. Sebagai kunci bahwa fakta tidak akan memiliki arti
apa-apa tanpa sebuah teori.
Fakta adalah hal atau keadaan
yang merupakan kenyataan atau sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi. Fakta bersifat objektif.
Setiap orang akan memiliki kesamaan dalam pengamatan suatu fakta. Sebuah fakta
mempunyai kebenaran mutlak dan tida bisa dibantah.Kejadian yang bisa diterima
oleh akal sehat atau nalar tertentu saja disebut fakta.
Dalam penggunaannya fakta
memiliki dua sifat yaitu fakta yang bersifat umum dan fakta yang bersifat
khusus.
a.
Fakta umum yaitu fakta/ keadaan/
peristiwa yang dapat ditemukan atau terjadi secara umum, atau sudah merupakan
kelaziman.
Contoh:
- Matahari terbit dari timur dan terbenam di barat setiap hari.
- Semua mamalia menyusui anaknya.
b. Fakta khusus yaitu fakta/ keadaan/ peristiwa yang ditemukan atau terjadi secara khusus atau istimewa atau ada keadaan tertentu saja.
Contoh:
- Jumlah mahasiswa konsentrasi Bahasa dan sastra Arab Pascasarjana UIN Alauddin Makassar semester dua tahun 2016 sebanyak 5 orang. .
Contoh-contoh tersebut adalah contoh fakta yang hanya terjadi pada keadaan tertentu.
Contoh:
- Matahari terbit dari timur dan terbenam di barat setiap hari.
- Semua mamalia menyusui anaknya.
b. Fakta khusus yaitu fakta/ keadaan/ peristiwa yang ditemukan atau terjadi secara khusus atau istimewa atau ada keadaan tertentu saja.
Contoh:
- Jumlah mahasiswa konsentrasi Bahasa dan sastra Arab Pascasarjana UIN Alauddin Makassar semester dua tahun 2016 sebanyak 5 orang. .
Contoh-contoh tersebut adalah contoh fakta yang hanya terjadi pada keadaan tertentu.
3.
Definisi
Definisi adalah pengetahuan yang kita
butuhkan. Dalam keidupan ilmiah dan kehidupan sehari - hari kita banyak
berurusan dengan definisi. Sewaktu orang memasuki pembicaraan permulaan suatu
ilmu, ia akan bertemu dahulu dengan definisinya. Dalam kehidupan sehari – hari
tidak jarang kita diminta untuk menjelaskan pengertian kata yang kita gunakan.
Menjelaskan pengertian kata agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam
penggunaannya merupakan tugas definisi.
Mendifinisi adalah menyebut sekelompok
karakteristik suatu kata sehingga kita dapat mengetahui pengertiannya serta
dapat membedakan kata lain yang menunjuk obyek yang lain pula.[6]
Lalu, apakah karakteristik suatu kata itu? Karakteristik itu tidak lain adalah genera
(Jenis) dan differentia ( sifat pembeda). Jadi mendefinisi suatu
kata adalah menganalisis jenis dan sifat pembeda yang dikandungnya.[7]
Mengapa menyebut genera? Genera kita sebut untuk mendekatkan fikiran kita,
karena dengan genera suatu barang atau benda akan mudah dikenal, ia tercakup
dalam kelompok apa. Mengapa menyebut differentia? Setelah fikiran kita diantar
kepada genera, maka tahulah kita akan barang atau benda sejenis yang dicakup
oleh genera tadi. Dengan sekali menyebut differentianya, maka sampailah kepada
kata yang kita definisikan.
Jenis ( general) yang kita pilih adalah
adalah jenis terdekat, karena dengan menghadirkan sifat pembedanya (differentia)
kita langsung sampai pada pengertiannya. Jenis terdekat adalah nama umum yang
langsung mencakup barang atau benda yang kita definisikan. Jadi jika kita
hendak mendifinisikan “kursi” harus mulai dengan “tempat duduk” mendefinisi “
merpati” dengan burung, mendefinisi “dasi” dengan pakaian, setelah itu baru
kita hadirkan pembedanya.
Dengan prosedur itu ternyata ada beberapa kata
yang tidak dapat kita beri definisi. Pertama adalah kata yang tidak dapat kita
temukan generanya, maksudnya tidak bisa kita masukkan kedalam kelompok nama
umum apa. Termsuk dalam kelompok ini adalah kata yang menunujukkan pengertian
dasar yang universal, seperti: wujud dan waktu. Kedua adalah kata yang tidak
dapat ditemukkan differentianya. Kenyataan mental yang sederhana seperti:
marah, benci, kesal, senang dan sebagainya, tidak mungkin kita beri definisi,
demikian pula penangkapan indera atas obyek yang sederhana seperti kuning,
hijau, halus, kasar, wangi dan sebagainya. Kita mungkin dapat menemukan
generanya, tetapi apakah differentianya?
Juga tidak dapat diberi definisi karena alasan
yang sama yakni kata yang tidak dapat ditangkap maksudnya kecuali bila
dihubungkan dengan kata lain, seperti: atau, yang, daripada, meskipun dan
sebagainya.
4.
Teori
Pada
dasarnya suatu teori dirumuskan untuk memperjelas dan meramalkan fenomena yang
ada. Bangunan suatu teori yang merupakan abstrak dari sejumlah konsep yang
disepakatkan dalam defenisi-defenisi akan mengalami perkembangan, dan
perkembangan itu, terjadi apabila teori sudah tidak relevan dan kurang
berfungsi lagi untuk mengatasi masalah.
Kata
‘teori’ secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theoria yang
berarti melihat, theoros yang berarti pengamatan.[8]
Adapun
pengertian teori menurut teminologi memiliki beberapa pengertian yang
dikemukakan oleh ilmuan, diantaranya sebagai berikut:
Kerlinger
mengemukakan teori adalah
suatu kumpulan variabel yang saling berhubungan, defenisi-defenisi,
proposisi-proposisi yang memberikan pandangan yang sistimatis tentang fenomena
dengan memprefisifikasikan relasi-relasi yang ada diantarnya beragam variabel,
dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada.[9]
Teori
menurut Sugiono adalah alur
logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, defenisi, proposisi
yang disusun secara sistematis. Secara umum teori mempunyai tiga fungsi yaitu
untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan
pengendalian (control) suatu gejalah, fenomena.[10]
Berdasarkan
pengertian teori tersebut dapat kita kemukakan bahwa teori memiliki
komponen-komponen yang terdiri atas: Konsep, Fakta, Fenomena, Defenisi, Proposisi
dan Variabel.
5.
Paradigma
Kata
‘paradigma’ berasal dari bahasa Yunani yaitu paradeigma. Berasal dari dua kata, pere dan digm; pere (pra/pre)
yang berarti sesuatu yang mendahului,
digm (digma/dogma/doxa) berarti teori.
Kedua kata tersebut berarti contoh, tas}ri>f, model.[11]
Paradigma ini dapat pula berarti:
1) Cara memandang sesuatu, 2) Dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola,
ideal. Dari model-model ini fenomena yang dipandang diperjelas, 3) Totalitas premis-premis teoritis dan
metodelogis yang menentukan atau
mendefenisikan suatu studi ilmiah konkret, 4) Dasar untuk menyeleksi
problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[12]
Menurut Nasim Butt suatu paradigma merupakan teori-teori
yang berhasil secarah empiris[13], yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam
sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang
lebih proresif secara empiris.[14]
Di dalam penelitian diartikan sebagai pola pikir yang
menunjukkan hubungan antara variabel[15] yang diteliti yang sekaligus mencerminkan jenis dan
jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang
digunakan untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis, dan tehnik
analisis statistik yang akan digunakan.[16]
Menurut
Husain Heriyanto paradigma adalah seperangkat asumsi-asumsi teoritis umum dan
hukum-hukum serta tehnik-tehnik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para
anggota suatu komunitas ilmiah.[17]
Menurut
AF Saifuddin setiap paradigma mengandung teori-teori yang memiliki logika,
prosedur metodelogi dan implikasi teoritis sehingga tidak relevan bila suatu
paradigma diperbandingkan apalagi dipertentangkan dengan paradigma yang lain.
Kritik terhadap sutu paradigma harus berlangsung dalam paradigma itu sendiri, tidak dari pandangan
paradigma yang lain. Dalam bahasa awam, seekor ular tidak akan sama dengan
seekor harimau, maka tidak beralasan untuk memperbandingkan keduanya apalagi
mempertentangkan atau memperdebatkannya.
Istilah
paradigma pertama kali dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn dalam The Structure
of Scientific Revolutions
yang didefinisikan sebagai pandangan dunia (world view) yang dimiliki
oleh para ilmuan dalam suatu disiplin tertentu.
Bogdan
dan Biklen dalam Qualitative Research for Education: An
Introdiction to theory and Methods, memahami paradigma sebagai
kumpulan lepas dari asumsi, konsep, atau proposisi yang disatukan secara logis
yang mengarahkan pikiran dan jalannya penelitian.[18]
Baker dalam Paradigms: The Business of
Discovering the Future, mendifinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan
(tertulis atau tidak tertulis) yang melakukan dua hal: (1) hal itu membangun
atau mendefinisikan batas-batas; dan (2) hal itu menceritakan bagaimana
seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa berhasil.
Capra
mendefinisikan paradigma sebagai konstelasi konsep, nilai-nilai persepsi dan
praktek yang dialami bersama oleh masyarakat, yang membentuk visi khusus
tentang realitas sebagai dasar tentang cara mengorganisasikan dirinya.[19]
Jadi paradigma dapat diartikan sebagai pandangan dunia (world
view) yang dimiliki seorang peneliti yang dengan itu ia memiliki kerangka
berfikir (frame), asumsi, teori, atau preposisi dan konsep terhadap
suatu permasalahan penelitian yang dikaji.
B.
Hubungan
Data, Fakta, Definisi, Teori dan Paradigma
1.
Hubungan
Data, Fakta dan Teori
Hubungan
data dan fakta dapat dilihat dari pengertian data itu sendiri, data adalah catatan
atas kumpulan fakta. Jadi, antara data dan fakta, sesungguhnya
data lebih luas cakupannya di banding fakta. Tidak semua yang ada dalam data
bisa menjadi fakta.
Adapun hubungan fakta dan teori dapat
divisualisasikan sebagai berikut :
a.
Teori memprediksi fakta : Penyingkatan fakta-fakta
yang dilakukan oleh teori akan menghasilkan uniformitas dari
pengamatan-pengamatan. Dengan adanya uniformitas maka dapat dibuat prediksi
(ramalan) terhadap fakta-fakta yang akan datang dengan kata lain bahwa sebuah
fakta baru akan lahir berdasarkan pengamatan fenomena-fenomena sekarang/saat
ini.
b.
Teori memperkecil jangkauan: Fungsi utama dari
teori adalah memberikan batasan terhadap ilmu dengan cara memperkecil jangkauan
(range) dari fakta yang sedang dipelajari. Dalam dunia empiris banyak fenomena yang
dapat dijadikan bahan pencermatan namun untuk pendalaman dan penajaman tertentu
diperlukan batasan, sehingga teori berperan membatasi dalam lingkup (aspek)
tertentu.
c.
Teori meringkas fakta : Teori melakukan
perannya meringkas hasil penelitian . Melalui sebuah teori generalisasi
terhadap hasil penelitian mudah dilakukan. Teori dengan mudah memberikan
kemampuannya dalam memandu generalisasi-generalaisasi, bahkan teori mampu
meringkas hubungan antar generalisasi.
d.
Teori memperjelas celah kosong: Dengan kemampuannya
meringkas fakta – fakta saat ini dan melakukan prediksi, maka teori dapat
memberikan petunjuk dan memperjelas kawasan mana yang belum dijangkau ilmu
pengetahuan.
e.
Fakta memprakarsai teori : Terdapat berbagai
fakta yang kita dijumpai secara empiri yang mampu melahirkan sebuah teori baru,
karena secara tidak langsung fakta sebagai muara terciptanya sebuah teori.
f.
Fakta memformulasikan kembali teori yang ada.
Tidak semua fakta mampu dijadikan teori, tetapi fakta dari hasil pengamatan
dapat membuat teori lama menjadi teori baru /dikembangkan menjadi teori baru.
Teori harus disesuaikan dengan fakta dengan demikian fakta dapat mengadakan
reformulasi terhadap teori.
g.
Fakta dapat menolak teori : Jika banyak
diperoleh fakta yang menujukkan sebuah teori tidak dapat diformulasikan maka
fakta berhak menolak teori tersebut.
h.
Fakta memberi jalan mengubah teori : Fakta
mampu memperjelas teori dan mengajak seseorang untuk mengubah orientasi teori .
Dengan hadirnya orientasi baru dari teori akan bersekuensi logis pada penemuan
fakta-fakta baru.
2.
Hubungan Definisi, Teori dan Paradigma
Pada hakekatnya bahasan paradigma lebih luas
dibandingkan teori, dan teori lebih luas dibandingkan definisi, hal ini bisa
kita lihat dari pengertian teori dan paradigma. Teori adalah suatu kumpulan variabel yang saling
berhubungan, defenisi-defenisi, proposisi-proposisi yang memberikan pandangan
yang sistimatis tentang fenomena dengan memprefisifikasikan relasi-relasi yang
ada diantarnya beragam variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang
ada. Dan paradigma merupakan teori-teori yang berhasil secarah empiris[20],
yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian
sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih proresif secara empiris.[21] “definisi” ada dalam pengertian “teori”, dan “teori” ada
dalam pengertian “paradigma”.
Adapu teori dan paradigma dapat dilihat bahwa Paradigma
adalah cara pandang atau kerangka berfikir yang mampu memberi wacana temuan
ilmiah dan dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah atau
masyarakat. Sikap para ilmuan terhadap paradigma yang berlaku dapat saja
berubah jika dalam perjalanan kegiatan ilmiahnya atau penelitiannya terdapat
anomali, dengan demikian dapat menyebabkan perubahan paradigma.
Teori
adalah seperangkat konsep, defenisi dan proposisi yang disusun secara
sistematis untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Suatu teori akan
mengalami anomali apabila teori tersebut sudah tidak relevan dan kurang
berfungsi lagi untuk mengatasi masalah. Suatu teori diakui sebagai ilmiah
apabila cocok dengan teori-teori lain yang telah diakui sebelumnya.
Penerimaan
suatu teori dalam komunitas ilmiah tidak berarti bahwa teori tersebut memiliki
kebenaran mutlak, teori yang telah mapan dan digunakan oleh mayoritas ilmuan
dalam komunitas ilmiah dalam penelitian.
Paradigma merupakan elemen primer dalam
progress sains. Seorang ilmuan selalu
bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan
paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuan dapat memecahkan
kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu
banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga
menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Data merupakan segala fakta dan angka yang dapat
dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi. Sedangkan Fakta adalah pengamatan yang telah
diverifikasi secara empiris. Definisi adalah menyebut sekelompok karakteristik
suatu kata sehingga kita dapat mengetahui pengertiannya serta dapat membedakan
kata lain yang menunjuk obyek yang lain pula. Teori adalah
suatu kumpulan variabel yang saling berhubungan, defenisi-defenisi,
proposisi-proposisi yang memberikan pandangan yang sistimatis tentang fenomena
dengan memprefisifikasikan relasi-relasi yang ada diantarnya beragam variabel,
dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada. Dan paradigma merupakan
teori-teori yang berhasil secarah empiris.
Hubungan
data, fakta, definisi, teori dan paradigma adalah Hubungan data dan fakta dapat
dilihat dari pengertian data itu sendiri, data adalah catatan atas kumpulan fakta. Jadi,
antara data dan fakta, sesungguhnya data lebih luas cakupannya di banding
fakta. Tidak semua yang ada dalam data bisa menjadi fakta. Pada hakekatnya bahasan paradigma lebih luas
dibandingkan teori, dan teori lebih luas dibandingkan definisi, hal ini bisa
kita lihat dari pengertian teori dan paradigma, namun semuanya saling berkaitan
perananya dalam konsep keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M.
Sayuthi, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek.
Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, ed. I. Cet. III, Jakarta: Gramedia, 2002.
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Agama I, Jil. I. Cet.
I, Pemulang Timur Ciputat: Lolos Wacana Ilmu, 1997.
Drajat,
Amroeni, Filsafat Islam Buat yang Pengen
Tahu. Jakarta: Erlangga, 2006
HB.
Shah, Scientific Method diterjemahkan oleh Hasan Basri dengan judul
“Metodologi Ilmu Pengetahuan” ,Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia, 1986
Heriyanto,
Husain, Paradigma Holistik Dialog
Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Cet. Jakarta
Selatan: Teraju 2003.
J.
Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet.VIII; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997.
Komaruddin, Yooke Tjuparman.
S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis
Ilmiah. ed. I. Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aklamasi.
Cet. VIII, Bandung: Mizan, 1998.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivism
dan Post Modernisme. ed. II.
Cet.I, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001.
Mundiri, Logika,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994
Patrick, G.T.W, C.A. van
Peursen, Ayn Rend, et al., Apakah
Filsafat dan Filsafat Ilmu itu. Cet. I, Bandung: Pustaka Sutra, 2008.
Qadir, C.A, Philosphy and Science in the Islamic World, terj. Hasan Basari.
Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, ed.I. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
1989.
Soetrisno dan SRDM Rita
Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodelogi
Penelitian, ed.I. Yogyakarta: Cv. Andi Offset, 2007.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuntitatif, kualitatif dan
R&D. Cet. III; Bandung: Alfabeta, 2007.
TH. Huxley, The Method of
Scientific Investgation, Scince, Method and Meaning, New york; Washinthong Square Pres, 1964,
Wattimrnena, Reza AA, Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar.
Jakarta: PT. Grasindo, 2008.
http://karinadewi201431158.weblog.esaunggul.ac.id
[1]TH. Huxley, The Method of
Scientific Investgation, Scince, Method and Meaning, (New york; Washinthong Square Pres, 1964),h.2
[2]HB. Shah, Scientific Method diterjemahkan
oleh Hasan Basri dengan judul “Metodologi Ilmu Pengetahuan” (Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 1986), h. 26.
[3]HB. Shah, Scientific Method diterjemahkan
oleh Hasan Basri dengan judul “Metodologi Ilmu Pengetahuan”.
h.26
[4]HB. Shah, Scientific Method diterjemahkan
oleh Hasan Basri dengan judul “Metodologi Ilmu Pengetahuan”., h. 26-27.
[5] https://id.m.wikipedia.org
[6] Mundiri, Logika,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1994)hal.31
[7] Mundiri, Logika. Hal. 31
[8]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, ed. I., (Cet. III; Jakarta: 2002), h. 1097.
[9]Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains
Sebuah Pengantar (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 257.
[10]Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D (Cet. III; Bandung: Alfabeta, 2007), h. 173.
[11]Komaruddin,
Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, ed. I (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara,
2002), h. 173.
[12]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, ed. I
(Cet. III; Jakarta: 2002), h. 779.
[13]Empiris adalah apa yang berdasarkan pengalaman
dan penghayatan. Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan, Kamus Ilmiah dan Metodologi Penelitian, ed. I (Surabaya: Arkola,
t.th.), h. 148.
[14]Soetrisno dan Rita Hanafie, Filasafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, ed
I (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2007), h. 32.
[15]Variabel
adalah sesuatu dapat
beruabah, bervariasi, berbeda-beda harga, kualitas, mutu, dan sesuatu yang
dapat berubah. Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan. Kamus Ilmiah dan Metodologi Penelitian, ed. I (Surabaya: Arkola,
t.th.), h. 1797.
[16]Sugiono, Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Cet. III; Bandung: Alfabeta, 2007), h.
42.
[17]Husain Heriyanto, Paradigma Holoistik Dialog Filsafat, Sains
dan Kehidupan menurut Sandra dan Whitehead (Jakarta Selatan: Teraju, 2003),
h. 28.
[18]M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama:
Pendekatan Teori dan Praktek (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h.91.
[19]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif (Cet.VIII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), h.49.
[20]Empiris adalah apa yang berdasarkan pengalaman
dan penghayatan. Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan, Kamus Ilmiah dan Metodologi Penelitian, ed. I (Surabaya: Arkola,
t.th.), h. 148.
[21]Soetrisno dan Rita Hanafie, Filasafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, ed
I (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2007), h. 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar